Untuk apa partai politik didirikan? Jawaban normatif atas pertanyaan ini bisa kita temukan dalam puluhan atau bahkan ratusan buku yang membahas khusus tentang partai politik atau politik secara umum. Akan tetapi dalam praktik, selalu ada kerumitan untuk menjelaskannya, karena partai politik hadir tidak untuk mengisi ruang hampa.
Partai politik senantiasa hadir dalam realitas objektif yang pekat dengan pergumulan ideologi dan kepentingan dari berbagai aktor, individual maupun kolektif. Dalam masyarakat yang sistem demokrasinya sudah relatif mapan, yang di dalamnya berlaku prinsip transparansi dalam performanya yang optimal, kita akan dengan mudah membedakan mana ideologi yang bisa diterapkan dengan baik dan konstruktif bagi masyarakat dan mana yang tidak baik dan destruktif.
Dalam masyarakat yang demikian, setiap partai politik yang hadir pun akan bisa diidentifikasi dengan jelas ideologi dan kepentingan apa saja yang akan diusung dan diperjuangkannya. Dengan demikian, rakyat sebagai stakeholder dari partai politik akan dengan mudah pula menentukan partai politik mana yang akan dipilihnya pada saat musim pemilu tiba.
Tapi, dalam masyarakat yang sistem demokrasinya belum mapan seperti di Indonesia, setiap partai politik, terutama yang baru berdiri, masih meraba-raba ideologi dan kepentingan apa yang akan diperjuangkannya. Bahkan partai politik yang sudah lama pun bisa berubah kepentingan kapan saja–walau disertai klaim tetap berpegang teguh pada pendirian ideologinya.
Untung saja, dalam situasi demikian, ada metode yang bisa digunakan untuk mendeteksi apa yang diinginkan rakyat secara umum. Misalnya melalui metode survei dan jajak pendapat, partai politik bisa dengan relatif mudah mengetahui apa saja yang diinginkan rakyat, walau tentu dengan tetap menyisakan margin of error sebagai ruang kesalahan–baik disebabkan karena ketidaktepatan atau ketidakmampuan mendeteksi.
Selain ada margin of error, masih ada dua ruang lagi yang belum bisa dideteksi. Pertama, komponen indecided yang belum jelas bagaimana maunya dan apa pilihan politiknya, yakni mereka yang tidak mau menjawab atau yang belum menentukan pilihan; dan kedua, komponen pemilih pemula yang selalu bertambah setiap saat sejalan dengan bertambahnya penduduk yang memasuki batas minimal usia hak pilih (17 tahun).
Artinya, selain ada ketidakjelasan yang disebabkan sistem demokrasi yang belum berjalan maksimal, masih tersedia konstituen yang sangat terbuka untuk menjadi ruang kontestasi semua partai politik peserta pemilu, terutama bagi partai politik baru yang belum mempunyai modal suara (konstituen) pada pemilu sebelumnya.
Di antara partai politik baru yang akan ikut kontestasi memperebutkan konstituen pada pemilu yang akan datang adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Belum genap berusia satu tahun (didirikan 16 November 2014), partai yang dipimpin mantan presenter TV Grace Natalie ini sudah cukup menyita perhatian banyak kalangan, terutama para pegiat media sosial dan anak-anak muda.
Yang menarik, setiap momentum seperti hari-hari besar nasional, hari-hari besar keagamaan, dan hari-hari peringatan (nasional maupun internasional), selalu dimanfaatkan PSI untuk berkampanye melalui media sosial dengan menyebar flyer, leaflet, infografis, atau short movie yang berisi pesan-pesan ringkas mengenai solidaritas dan visi-misi PSI.
Selain itu, ada dua faktor yang menjadikan PSI tampil beda, yakni berusaha memutus hubungan dengan partai lama (yang sudah ada), dan (oleh karena itu) yang dibidik adalah komponen yang belum terkontaminasi politik, terutama anak-anak muda yang mayoritas akan menjadi pemilih pemula pada pemilu yang akan datang.
Kedua faktor ini memang layak dijadikan bahan kampanye, terutama di kalangan para juru berita yang selalu mengejar kebaruan dan sesuatu yang berbeda dari yang lainnya. Artinya, sebagai bahan selebrasi untuk meraih popularitas mungkin pengaruhnya sangat kuat. Namun, apakah dengan demikian akan kuat pula pengaruhnya untuk menarik dukungan rakyat?
Di sinilah masalahnya. Menarik jarak dengan partai yang sudah ada, dalam praktik bisa berarti mencabut anak-anak muda dari komunitas sosialnya. Karena wajah partai politik saat ini pada hakikatnya merupakan cermin yang memantulkan wajah masyarakat yang sesungguhnya. Apa yang dilakukan partai politik secara kelembagaan, juga dilakukan masyarakat pada umumnya.
Kontrol publik yang bertubi-tubi pada partai politik, juga pada aktor-aktor utamanya, membuat wajahnya seolah jauh lebih buruk dari masyarakat pada umumnya. Padahal masyarakat yang mengutuk partai politik bisa jadi pada hakikatnya seperti menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.
Dari mana para pemilih pemula mendapat referensi politik? Terutama dari keluarga dan teman sebaya, dua komponen yang juga menjadi bagian dari masyarakat. Faktor inilah yang membuat banyak partai politik yang bereksperimen secara khusus berupaya meraih suara pemilih pemula selalu gagal meraih suara signifikan, karena mereka lupa bahwa anak-anak muda adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunitas masyarakat.
Sekuat apa pun partai politik berupaya mempengaruhi anak-anak muda, pengaruh keluarga dan teman sebaya tetap jauh lebih kuat. Saya kira di sinilah letak titik kritis PSI sebagai ekperimen politik untuk meraih dukungan publik.