Kota Geulis. Berarti kota cantik, indah, rapih, tertib, bersih. Kota yang selalu memanjakan mata dan menyejukkan batin. Tak jarang, warga dibuat terpesona olehnya. Warga terpana: selalu ingin mendekat. Berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, tak mau beranjak darinya. Kota geulis sungguh mengikat asa dan rasa. Membekas dan tertanam dalam jiwa. Membuat warga betah; sampai kapan pun!
Kota Geulis. Bukan sekadar geulis kotanya (physical beauty), tapi juga geulis warganya (inner beauty). Warga geulis adalah warga yang selalu saling percaya, saling belajar, saling menghargai, saling mencintai. Tanpa prasangka. Tanpa curiga. Tanpa hoax. Tanpa kebencian.
Kota Geulis. Bukan sekadar kota sejahtera, tapi kota dengan indeks kebahagiaan tertinggi. Kota berbudaya. Compassionate City, kata Karen Amstrong, penulis The History of God, yang masyhur itu.
Kota Harmonis. Berarti kehidupan warga yang saling terhubung satu-sama-lain. Kehidupan yang ngefriend. Tak sekadar berkonotasi ngakrab, dekat, asyik, dan aman, tapi lebih dari itu mengandung makna keintiman (intimacy). Dalam peribahasa Sunda: Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salogak. Itu berarti: hidup rukun, lengket, lekat, bahagia, sehati, senasib, sepenanggungan meski berbeda-beda keyakinan.
Kota Harmonis. Karakter kota dinamis: bergerak, mengalir, interaktif, bergairah untuk maju (antusias), kemerdekaan ide (motekar), dan mudah beradaptasi dengan realitas sosio-kultural yang kompleks dan beragam; menyelusup relung-relung waktu, menembus batas. Selalu optimistik!
Kota Harmonis. Tipikal kota madani (tamaddun). Pemerintah kota dan warga berjibaku dan berada dalam satu kapal serupa: berlayar mengarungi lautan menuju satu titik. Selama pelayaran itu, mereka saling menjaga, mengingatkan, dan mengoreksi. Ya, masyarakat civilized, dalam istilah Robert Hefner, Indonesianis ngetop itu.
Bahagia untuk Semua. Ibarat sebuah perjalanan, inilah tujuan akhir yang ingin dituju: bahagia lahir-batin, dunia-akhirat. Setiap warga kota lahir dengan potensi kebahagiaan yang melekat. Apa pun agama, suku maupun latar-belakangnya. Maka, tugas pemimpinlah yang harus ikut membantu: menemukan dan mewujudkan potensi kebahagiaan itu dalam kehidupan nyata.
Kota Bahagia. Bukan sekadar sukses menaklukan dunia (eksternal Adam), tapi juga bahagia melayani dunia (internal Adam). Moral Courage, ungkap David Brooks, penecetus psikologi positif, yang terkenal itu.
Ya, sebuah kota bahagia selalu berpijak pada tiga asas: melayani, menyelami, dan melakoni. Melayani bermaksud memberikan pelayanan warga sepenuh hati dan semudah mungkin berbasis teknologi mutakhir tanpa pamrih. Menyelami berarti menggali segala potensi warga untuk kita kelola dan tumbuhkan demi kesuksesan dan kebahagiaan warga. Melakoni bermakna berjibaku dan bergerak sauyunan (gotong royong). Pemerintah dan warga selalu bergerak bersama-sama untuk mendukung dan mewujudkan kesejahteraan.
Ketiganya bergerak secara simultan: menjadi tugas mulia seorang pemimpin demi menyejahterakan dan menentramkan warga lahir-batin. Dengan demikian, kota geulis, harmonis, dan bahagia adalah miniatur Indonesia yang asyik, kuat, sejahtera berbasis kasih-sayang demi memuliakan sesama manusia.
Sumber foto: lokadata.id