Senin, Mei 6, 2024

Gagasan Islam Cinta Haidar Bagir

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.

“Sikap Moderat Mewujudkan Indonesia Kuat”, ungkap Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin seperti dikutip Kompas (1/3/2023). Kata-kata bertenaga tersebut ditegaskan Wapres ketika menyampaikan sambutan pada peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW tingkat kenegaraan di Masjid Raya Sheikh Zayed, Kota Surakarta, Jawa tengah. Menurutnya, sikap moderat akan menjaga persaudaraan, baik sesama Muslim, warga bangsa, maupun umat manusia.

Apa yang ditegaskan Wapres, sungguh tepat. Maka, demi mengembalikan spirit keagamaan dalam “ruh” Islam moderat (tawasuth), toleran (tasamuh), damai (salām), penuh cinta (hubb), dan welas asih (rahmah), di tengah maraknya fenomena intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama, gagasan Islam Cinta Haidar Bagir—sosok pendiri Gerakan Islam Cinta dan pemilik Kelompok Usaha Grup Mizan ini—layak kita renungkan.

Gagasan Islam Cinta terasa penting untuk meneguhkan kembali cara-cara beragama yang beradab: saling meyakini dan menghargai keragaman. Tanpa cinta, Islam akan kehilangan ruh-nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dengan tandas, Haidar berujar, “Dan bukan agama, kalau bukan cinta.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa betapa agungnya ajaran cinta yang melekat dalam doktrin Islam, yang justru kerap terabaikan oleh fanatisme sempit pada agama secara kelembagaan (organized religion). Fanatisme sempit semacam itu pada ujungnya diyakini melahirkan fenomena intoleransi, ujaran kebencian, dan radikalisme agama atau takfiri—yang belakangan ini semakin marak di Tanah Air.

Paradigma Islam Cinta

Kata atau konsep paradigma yang digunakan dalam Islam Cinta lebih mengarah kepada pengertian “pandangan dunia” (world view atau weltanschauung). Misalnya, dalam ilmu sosial, istilah ini digunakan untuk menggambarkan serangkaian pengalaman, keyakinan, dan nilai yang memengaruhi cara seseorang memandang realitas dan merespons sesuai cara pandang tersebut. Ilmuwan sosial telah mengadopsi frasa Kuhnian—“pergeseran paradigma” (paradigm shift) untuk menunjukkan perubahan dalam cara masyarakat tertentu, mengatur (dalam pikiran mereka) cara pandang, dan cara memahami realitas (apa saja).

Sebuah “paradigma dominan” mengacu pada nilai-nilai atau sistem pemikiran, dalam masyarakat yang paling standar dan dipegang secara luas pada waktu tertentu. Paradigma dominan dibentuk, baik oleh latar belakang budaya masyarakat maupun oleh konteks momen sejarah. Dalam konteks ini, Haidar Bagir—bagaimanapun—mengusulkan bahwa ketika memahami Islam, gagasan Islam cinta merupakan paradigma agama yang universal dan abadi. Bagi Haidar, penggunaan kata paradigma di sini cenderung lebih bersifat teologis daripada budaya atau sejarah atau bahkan lebih tepat disebut sufistik.

Secara keseluruhan, tak ada agama yang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan kekerasan atau menjadi pembenci; bahkan kepada pelaku kejahatan. Beberapa pertanyaan timbul akibat pernyataan ini; yang paling sering dilontarkan adalah bagaimana mungkin memerangi kebatilan tanpa membenci pelakunya?

Paradigma Islam Cinta mengajarkan agar kita menyerukan ajaran-ajaran Islam dengan cara yang penuh welas asih. Di dalamnya, umat Muslim diajak untuk memerangi kebatilan tanpa membenci pelakunya. Mungkinkah?

Islam Cinta meyakini bahwa dalam setiap kebatilan yang perlu diperhatikan adalah kesengsaraan yang mungkin terjadi, atau sudut pandang yang keliru. Setiap orang di muka bumi, setiap pemeluk agama—apa pun agamanya—pasti menghendaki kehidupan yang mapan dan nyaman.

Tak ada satu pun makhluk di dunia yang mendambakan kesengsaraan. Oleh karena itu, tugas setiap pemeluk agama adalah memastikan bahwa setiap orang mampu mendapatkan kebahagiaan dengan cara yang benar. Hal itu tentunya juga harus disampaikan dengan cara yang benar, yaitu penuh welas asih.

Harus diingat bahwa setiap makhluk hidup adalah ciptaan Allah Swt juga dan berhak sepenuhnya akan perlakuan baik sebagaimana Allah akan memperlakukan setiap umat-Nya.

Bahkan, neraka adalah wujud cinta kasih Allah Swt kepada makhluknya. Allah menjadikan neraka sebagai wadah pembersihan dosa. Kita bisa melihatnya sebagai semacam sekolah. Tidak sekali dua kali, kita perlu mendapatkan rasa sakit demi menjadikan diri kita lebih baik. Islam Cinta juga mencoba menyampaikan hal ini dalam berbagai kampanyenya.

Intinya, Islam Cinta mengajarkan, agama itu A sampai Z-nya adalah cinta. Tak ada sama sekali kebencian, kepada siapa pun, bahkan kepada pelaku kebatilan sekalipun.

Nabi Saw berkata, “Cinta adalah prinsipku.” Jadi, agama Nabi Saw semua tiangnya adalah cinta.  Itu sebab, kemudian Nabi Saw juga disebut “Nabi Rahmah”, yaitu nabi yang penuh kasih sayang. Misinya rahmatan lil ‘ālamīn (kasih sayang bagi alam semesta). Allah Swt menyebut dirinya al-Muhīb dan al-Wadūd yang artinya Maha Pencinta.

Berlandasan pada itulah, Haidar menegaskan bahwa jika kita (terpaksa) boleh berperang sekalipun—karena jalan damai benar-benar sudah mentok—maka motifnya tetaplah cinta, dalam arti kecintaan kita untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Demikian pula, kalau kita membela atau melindungi seseoarang yang melakukan “perbuatan buruk”, yang kita bela dan lindungi bukanlah perbuatannya, tapi manusia-nya sebagai sama-sama makhluk Allah hasil wujud cinta-Nya.

Rasionalis-Feminin

Inilah titik beda Islam Cinta yang digaungkan Haidar Bagir melalui Gerakan Islam Cinta (GIC)-nya, dengan para pemikir Islam Progresif, mulai dari Bung Karno dengan “Api Islam”-nya, Harun Nasution dengan “Islam Rasional”-nya, Cak Nur dengan “Islam Peradaban”-nya, Gus Dur dengan “Pribumisasi Islam”-nya, M. Dawam Rahardjo dan Kuntowijoyo dengan “Islam Transformatif”-nya, Jalaluddin Rakhmat dengan “Islam Alternatif”-nya, hingga Buya Syafii Maarif dengan “Islam Kemanusiaan”-nya.

Para pemikir Islam Progresif tersebut, dalam pola pemikirannya berwatak “Rasionalis-Maskulin”. Sementara Islam Cinta Haidar Bagir berusaha mengampanyekan model “Rasionalis-Feminin”.

Dalam Rasionalis-Maskulin, ada watak pertentangan yang hendak mereka lawan berupa kejumudan dan konservatisme. Ada nada kekesalan terhadap kalangan Islam yang memuja kejumudan dan anti terhadap kemajuan. Pembaruan pemikiran Islam yang mereka lontarkan adalah bentuk pemberontakan terhadap kekolotan umat dalam memahami Islam.

Maka itu, dari mulai Bung Karno hingga Buya Syafii Maarif dengan model ber-Islam yang mereka tawarkan masing-masing, mengandung warna vis a vis terhadap penyebab kemunduran umat Islam dalam perspektif mereka, yang mesti mereka ubah dan lawan. Perubahan dan pembaruan, yang andai itu terjadi, tidak lahir dari spiritualitas Ilahiah, yang muncul dari kedalaman hati.

Sedangkan, Islam Cinta-nya Haidar Bagir yang bersifat “Rasionalis-Feminin” meyakini bahwa alpha-omega-nya agama adalah cinta. Bermula dari cinta, dan berakhir dengan cinta. Bukan agama kalau bukan cinta. Berpijak pada rukun agama yang disabdakan oleh Muhammad Saw, yakni terdiri dari rukun Islam, rukun iman, dan ihsan, bahwa puncak ajaran Islam adalah pada aspek Ihsan (cinta).

Hanya saja, ihsan banyak dilupakan sebagian umat Islam. Bagi Haidar, ihsan adalah puncak dalam beragama, sebab agama sebagai persoalan hati. Hal tersebut diperkuat dengan firman Allah Swt, “(Dia) menciptakan mati dan hidup dengan tujuan menguji siapa di antara kalian yang paling indah/sempurna (ihsan) amal-amalnya.”

Esensi agama sebagai sumber spiritualitas dan moralitas merupakan nilai yang terkandung dalam rukun ihsan. Rukun ihsan sebagai aspek utama semua agama yang mengandung nilai spiritual dan moralitas. Merefleksikan sikap kelembutan. Agama tanpa spiritual yang mendalam serta moralitas yang luhur justru bisa jadi sumber sikap radikal dan disalahpahami serta disalahpraktikkan sehingga menjadi pemicu lahirnya kekerasan, konflik, dan peperangan.

Dalam hal ini, cinta adalah landasan dasar sikap dalam beragama. Cinta bersifat spiritual, sebagaimana esensi agama itu sendiri. Agama sebagai suatu aturan atau ajaran yang mengatur dan mempromosikan hubungan spiritual antara makhluk dan Penciptanya. Agama juga pada saat yang bersamaan menawarkan suatu aturan moral yang dapat menjadi panduan bagi setiap orang dalam menjalani kehidupannya di semua aspek kehidupan.

Berkaitan dengan tersebut, penting kiranya mengetengahkan aspek cinta atau aspek esoteris dalam beragama. Melalui cinta, seseorang memiliki keluasan hati, kemudian teraktualisasi untuk tidak bersikap intoleran, atau mengklaim bahwa pemahaman agamanya yang paling benar.

Maka itu, lantaran dunia atau bumi sekarang terasa semakin spiritual, maka gagasan Islam Cinta Haidar Bagir yang bersifat Rasionalis-Feminin tersebut terasa lebih relevan secara intelektual dan sosial dengan pergolakan zaman kini dan ke depan.

Jika pemikir Islam Progresif sebelumnya lebih banyak merespons tantangan modernitas dan kemanusiaan, maka Islam Cinta Haidar Bagir berusaha menangkis pergolakan “pasca-kebenaran” (post-truth) dengan ditandai banjirnya informasi di ranah media sosial menuju titik-terang.

Dalam era post-truth, bukannya meyakini kebenaran, orang justru membenarkan keyakinan secara ekstrem. Diakui, secara psikologis daya destruktif media ini malah terasa lebih meledak: orang-orang yang semula introvert pun tiba-tiba mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan semua unek-uneknya dengan cara menciptakan sekaligus menyebarluaskan konten-konten sensasional dan penuh kebencian melalui akun-akun anonim.

Singkat kata, Islam Cinta menekankan sebuah konsep berparadigma welas asih, di mana segala sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran harus disampaikan tanpa kebencian, termmasuk dalam ber-media-sosial. Dalam hemat penulis, Islam Cinta Haidar Bagir adalah satu-satunya gerakan Islam di Indonesia yang kini berwatak “Rasionalis-Feminin” dengan tokoh atau ikon utamanya seorang laki-laki; sementara gerakan-gerakan feminis pada umumnya hampir dipastikan semua tokohnya perempuan.

Meski ada perbedaan, tapi spirit “feminin” yang dibawa oleh Islam Cinta dengan apa yang diperjuangkan para pemikir Islam Progresif—dari Bung Karno hingga Buya Syafii Maarif—nyaris serupa. Keduanya sama-sama memperjuangkan kembalinya pemahaman keislaman yang substansial-inklusif, yang tidak rigid, kolot, dan tidak relevan dengan ruang serta perkembangan zaman. Keduanya berciri Islam Nusantara-Berkemajuan, yang sama-sama membawa misi rahmatan lil ‘ālamīn.

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.