Selama satu dekade terakhir, film religi bisa dibilang merupakan salah satu genre yang cukup laris di Indonesia. Berdasarkan data jumlah penonton yang dikumpulkan oleh Film Indonesia, film religi selalu menjadi bagian dari 15 film terlaris setiap tahunnya. Surga Yang Tak Dirindukan bahkan menjadi film terlaris pada tahun 2015.
Maka, tidak mengejutkan jika film tersebut mendapatkan sekuel, yang mengambil tempat di luar negeri serta melibatkan Reza Rahadian. Disutradai oleh Hanung Bramantyo yang turut menulis naskah bersama Alim Sudio dan Manoj Punjabi, film ini secara mengejutkan tak berceramah mengenai agama. Sebaliknya, Surga Yang Tak Dirindukan 2 justru menjadikan agama sebagai kedok. Pembungkus manis atas usaha mendoktrin perempuan–secara halus, tentunya–untuk memenuhi standar ideal laki-laki muslim patriarkis.
Sejujurnya, film ini dibuka dengan sangat meyakinkan. Arini (Laudya Cynthia Bella) dan putrinya Nadia (Sandrina Michelle) tampak sedang sibuk bersiap untuk keberangkatan mereka ke Budapest. Sementara Pras (Fedi Nuril) yang tengah mengendarai mobilnya sekencang mungkin agar bisa mengantarkan mereka ke bandara, justru harus terhambat akibat kecelakaan yang menimpa mobil lain.
Yang terjadi selanjutnya adalah serangkaian adegan yang sangat mirip dengan awal permasalahan di film Surga Yang Tak Dirindukan. Meski terkesan sederhana, adegan pembuka ini memunculkan harapan bahwa Surga Yang Tak Dirindukan 2 akan membawa angin segar dengan pesan yang cukup positif. Seperti halnya Tanda Tanya dan Hijab, dua film besutan Hanung Bramantyo sebelumnya. Sayang, film ini kemudian menunjukkan wajah aslinya sebagai film religi kebanyakan.
Seputar Plot dan Masalah Teknis
Sesampainya Arini dan Nadia di Budapest, mereka justru bertemu dengan Meirose (Raline Shah) dan putranya, Akbar. Pertemuan ini dan serangkaian kejadian lain membuat Arini yakin bahwa ini semua adalah suratan takdir. Ia pun dengan gigih membujuk Meirose untuk kembali ke kehidupan rumah tangga mereka sebagai istri kedua Pras. Apalagi, Nadia setuju dan sangat ingin mewujudkan keinginan ibunya itu.
Konflik batin pun melanda Pras, yang tidak yakin ia akan bisa bersikap adil jika memang memilih berpoligami. Sementara Meirose semakin bimbang. Akankah ia memilih kembali ke masa lalu yang selama ini ia tinggalkan atau memilih untuk menyongsong masa depan dengan melanjutkan hidupnya di Budapest bersama Dokter Syarief (Reza Rahadian)?
Secara teknis, sesungguhnya film ini cukup berkualitas. Memang penulisan dan dramatisasi yang digunakan lebih pantas untuk sinetron atau film televisi, tetapi film ini didukung dengan nilai produksi yang lumayan. Menjadikan Budapest sebagai latar tempat, menghadirkan pemandangan yang cukup mengeksplorasi keindahan dan eksotisme kota tersebut. Cukup memanjakan mata, meskipun tak ada shot yang benar-benar membekas.
Pemilihan lagu serta musik latarpun tidak mengganggu. Film ini didukung pula oleh jajaran pemain berkualitas yang semuanya berperan sangat baik serta berhasil menghadirkan emosi yang kuat di setiap karakter. Seperti yang sudah diduga, penampilan paling berkesan hadir dari Reza Rahadian. Ia membuktikan bahwa ia pasti bisa memanusiakan karakter yang ia perankan, sedangkal apa pun naskah dan skenarionya.
Di film ini, tampak jelas bahwa Dokter Syarief ditulis sebagai karakter antagonis, sosok yang mengancam keharmonisan rumah tangga Pras-Arini-Meirose. Ia adalah sosok yang menggoda dan menjauhkan Meirose dari “surganya” bersama Pras. Syarief bahkan digambarkan sebagai sosok yang jauh lebih inferior daripada Pras dalam masalah agama, sehingga kemampuannya untuk menjadi imam rumah tangga bagi Meirose sangat diragukan. Namun, Reza Rahadian tetap berhasil membuatnya menjadi karakter yang paling menarik dan believable, sosok yang masih mungkin ditemui di dunia nyata.
Oleh karena itu, jika hanya berdasarkan masalah teknis, film ini masih sangat pantas ditonton. Dan di pasar yang tepat, film ini akan menjalankan tugasnya sebagai media komunikasi massa dengan baik. Karena film pada dasarnya bukan hiburan semata. Film juga mengkomunikasikan ide dan dapat membuat penonton memikirkan ulang pandangan mereka terhadap dunia, serta memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu (Kaapa, 2012).
Film juga dapat mendorong penontonnya untuk melakukan imitasi terhadap karakter yang ditampilkan, apabila sosok tersebut dianggap mirip dengan diri penonton atau sosok diri yang ideal bagi penonton (Rushton & Bettinson, 2010). Hal ini yang membuat keberadaan Arini dalam film Surga Yang Tak Dirindukan 2 sesungguhnya meresahkan.
Arini dan Konstruksi Perempuan Ideal
Di film ini, Arini digambarkan sebagai sosok yang harus dicontoh oleh seluruh muslimah lainnya. Ia tak hanya rajin beribadah dan menutup aurat, namun juga sangat feminin, lemah lembut, dan penyayang. Yang terpenting, Arini sangat menjura pada suaminya. Sifat-sifat yang terlihat jelas dari diri Arini ini sesungguhnya menggambarkan standar ideal bagi para perempuan muslim menurut kerangka pikir patriarki yang sedang berupaya didobrak lewat gerakan keadilan gender.
Tentu tak ada yang salah dengan menghormati pasangan hidup atau mencintai mereka sepenuh hati. Idealnya memang hubungan romantis, apalagi yang melibatkan pernikahan, dijalani oleh dua orang yang saling menghormati dan saling mencintai. Tapi sebuah hubungan tidak lagi ideal dan justru menjadi tidak sehat ketika kebahagiaan dan kebutuhan pasangan menjadi jauh lebih penting daripada diri kita sendiri.
Itulah yang ditunjukkan dalam film ini. Arini terbutakan oleh niatnya untuk menjadi “istri yang berbakti”, menempatkan Pras di atas segalanya. Bahkan kesehatan dan kebahagiaannya sendiri, lebih jauh lagi, kebahagiaan orang lain (dalam hal ini, Meirose).
Film ini berusaha menggambarkan Arini sebagai sosok muslimah yang tegar dan penuh kasih sayang. Tapi, menolak menjalankan kemoterapi dan melakukan pengobatan apa pun karena “usia sudah diatur Allah” itu bukan bentuk perilaku tegar apalagi tawakal. Tawakal seharusnya dilakukan setelah ikhtiar, yakni ketika semua usaha untuk menyembuhkan diri telah dicoba.
Memaksa Meirose dan Pras untuk kembali bersama agar Meirose dapat menggantikan posisinya di sisi Pras juga bukan bentuk ketaatan terhadap suami, ketegaran, apalagi bentuk welas asih dan ikhlas. Itu adalah keegoisan dan masokisme yang didasari oleh doktrin patriarkis. Pemaksaan Arini menjadi egois jika kita menilik kehidupan baru Meirose yang jauh lebih baik di Budapest. Kondisi mental dan emosionalnya jauh lebih stabil, peningkatan pesat dari kondisinya di film pertama.
Film ini juga menunjukkan bahwa Meirose dapat menjadi ibu yang baik bagi Akbar dan membangun hubungan sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Ia juga telah menjadi perempuan independen yang sukses secara finansial sebagai pemilik toko. Pun ia telah memiliki kehidupan romantis bersama Dokter Syarief, yang diterima olehnya dan oleh Akbar. Dengan menuntut Meirose untuk kembali ke sisi Pras, Arini dengan egois memaksa Meirose untuk mengabaikan semua itu. Tentu saja semua itu dilakukan atas nama ketaatan pada suami.
Kebahagiaan dan kenyamanan hidup Pras tak boleh diganggu gugat, termasuk oleh penyakit Arini ataupun kehidupan pribadi Meirose. Keputusan kedua perempuan itu bukanlah bukti ketulusan cinta dan ketaatan terhadap agama serta suami. Mereka sesungguhnya menjadi korban pemikiran misoginis, hasil dari doktrin patriarki yang menempatkan lelaki di atas segalanya dan menindas perempuan. Film ini melanggengkan paradigma itu.
Dengan menempatkan Arini sebagai “perempuan idaman semua lelaki” dan bahkan membuat Meirose mengucapkan sendiri kalimat itu, film ini mendorong penonton perempuan untuk mengidentikkan diri mereka dengan Arini. Memandang Arini sebagai gambaran utuh seorang muslimah yang sempurna dan menjadikannya panutan yang ingin mereka tiru. Padahal, Arini hanyalah korban patriarki yang lemah dan egois.
Menempatkannya sebagai sosok ideal hanya melanggengkan pemikiran patriarki yang menuntut muslimah untuk mengikuti standar ideal yang tidak adil. Memaksa mereka untuk selalu melayani suami dan menempatkan kebahagiaan suami di atas segalanya. Bahkan di atas harga diri dan kebahagiaan diri sendiri, seperti dengan merelakan mereka memadu perempuan lain tanpa meminta persetujuan sebelumnya.
Maka sangat disayangkan, bagaimana film yang sepertinya akan sangat laris (hingga saat artikel ini ditulis, film ini telah memperoleh lebih dari 460 ribu penonton) ini justru berceramah mengenai nilai-nilai yang akan membelenggu perempuan muslimah melalui ekspektasi yang menyesakkan serta tidak adil gender.