Sabtu, April 20, 2024

Di Balik Partikelir Pandji…

Bandung Mawardi
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi

Di gedung-gedung bioskop, film berjudul Partikelir sedang diputar menggoda imajinasi penonton mengenai para detektif. Penggunaan judul di film garapan Pandji Pragiwaksono itu sangat mengingatkan penggunaan kata dalam novel lama garapan Teguh Esha berjudul Ali Topan Detektip Partikelir (1978).

Ingatan itu tak berlaku jika menerima penjelasan Pandji Pragiwaksono bahwa pengerjaan film Partikelir mengambil acuan ke Sherlock Holmes. Kita sengaja mengingat partikelir bukan film atau novel, tapi kata berasal dari masa lalu. Kini, kata itu masih dipilih untuk diajukan ke penonton film belum tentu mau membuka buku-buku lama.

Sejarah tanah jajahan, sejarah pilihan kata untuk menjelaskan perubahan dan pengesahan zaman bergerak. Takashi Shiraishi (1997) dalam buku berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997) memberi penjelasan penting:

“Mereka yang bekerja dalam kegiatan negara ini bergabung dengan pegawai administrasi bumiputra dimulai dari pangreh pradja dan membengkakkan golongan priayi pemerintah. Di samping itu, di daerah perkotaan muncul orang particulier, pekerja kantoran pada perusahaan swasta (berlawanan dengan mereka yang bekerja pada dinas pemerintah), yang bersama priayi pemerintah membentuk kelas menengah.”

Penulisan orang particulier mungkin sengaja dimiringkan penerjemah (Hilmar Farid) agar pembaca mengenang masa lalu dengan serius. Sebutan itu pernah ada, meski jarang digunakan pada masa sekarang. Takashi Shiraishi menjelaskan orang particulier berlatar kemodernan di Jawa awal abad XX. Pendirian sekolah-sekolah membesarkan impian bumiputra mengubah nasib dengan menjadi abdi bagi pemerintah kolonial.

Kaum terpelajar tak melulu ingin bergaji besar dan memiliki status sosial tinggi. Pilihan menjadi orang particulier justru membuktikan keberanian berjarak dari pemerintah dan bermimpi bebas tanpa ikatan dinas bercorak kolonial. Dulu, orang particulier dianggap turut menentukan perubahan besar di tanah jajahan.

Pada masa lalu, sebutan partikulir atau partikelir hasil serapan dari bahasa Belanda lumrah digunakan dalam pembahasan kota, pekerjaan, pendidikan, dan penerbitan. Buku berjudul Balai Pustaka Sewadjarnja 1908-1942 (1948) menggunakan sebutan partikulir untuk membedakan peran atau posisi dari pemerintah.

Di halaman 28, tercantum keterangan: “Kebanjakan orang partikulir menaruh tjuriga atas kedjudjuran Balai Pustaka memberi batjaan jang akan memadjukan rakjat.” Penulisan partikulir tak dimiringkan, teranggap sudah lazim digunakan dalam bahasa Indonesia.

Sebutan partikulir sering berlawanan dengan pemerintah. Dulu, penerbit buku pun bersaing menguak salah dan aib. Penerbit partikulir menuduh Balai Pustaka itu menerbitkan buku-buku menuruti selera pemerintah: mencipta ketertiban dan kepatuhan. Di mata penerbit bentukan pemerintah, penerbit-penerbit partikulir merusak moral dan menimbulkan seribu masalah.

Sikap berlawanan terungkap dalam penjelasan di halaman 30: “Sedjak 1924 sudah banjak dikeluarkan oleh penerbit-penerbit bangsa Tionghoa buku-buku tjeritera sebagai madjalah sekali sebulan, atau dua kali sebulan. Tjeritera-tjeritera itu pada umumnja tjeritera-tjeritera pendjahat, tjabul dan sebagai itu.”

Misi penerbit partikulir tampak tak mengandung kebaikan atau kehormatan. Orang menduga partikulir itu berarti mencari untung tanpa peduli moral dan ketertiban umum.

Iken dan E. Harahap dalam Kitab Arti Logat Melajoe (1914) mengartikan particulier adalah “jang boekan ambtenaar”. Pengertian itu dibenarkan dalam pengisahan sejarah mengenai perguruan (sekolah) bukan milik pemerintah, penerbitan, dan pekerjaan di kota.

Particulier atau partikulir cenderung sebutan bagi kaum politik, pengarang, dan jurnalis memusuhi pemerintah kolonial. Partikulir melampaui status pekerjaan, mengarah ke pemihakan ideologi dan perlawanan pada pemerintah. Bukti keberanian melawan pemerintah kolonial dalam sebutan partikulir adalah Ki Hadjar Dewantara dengan mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa (1922).

Cara penulisan particulier dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta. Penulisan tak lagi partikulir tapi partikelir. Di halaman 507, partikelir berarti “tidak untuk umum” atau “tidak dinas”.

Poerwadarminta memberi tiga contoh penggunaan: sekolah partikelir, surat partikelir, dan tanah partikelir. Pengertian di kamus itu menjadi “lembek”, tak seheboh dalam esai-esai garapan Ki Hadjar Dewantara dan buku garapan Takashi Shiraishi. Pada masa 1950-an, sebutan itu dipengaruhi perubahan tata politik Indonesia. Kolonialisme telah berakhir.

Orang-orang diajak Soekarno untuk menunaikan tugas besar bertajuk revolusi. Kaum partikelir harus berperan dalam “penemuan kembali revolusi” atau pembenaran “revolusi belum selesai”.

Pada masa Orde Baru, nasib istilah partikelir berubah dengan kecenderungan meninggalkan sejarah makna masa lalu. Di kamus-kamus, partikelir masih ada, tapi sebutan swasta diutamakan berakibat pelupaan makna-makna “keras”, sejak awal abad XX.

Swasta laris dalam urusan administrasi pemerintah di kartu identitas dan kartu keluarga. Derajat bekerja di kantor bukan milik pemerintah atau pegawai swasta kadang dianggap rendah ketimbang pegawai pemerintah. Orang-orang tak sempat protes atau membiarkan itu terjadi demi pengukuhan selera kebahasaan buatan rezim Orde Baru.

Pada 2016, partikelir masih dicantumkan di Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko. Di halaman 495, partikelir memiliki sinonim preman, swasta, independen, privat.

Sebutan partikelir masih ada, meski jarang digunakan dalam tulisan atau percakapan. Partikelir cuma sebutan berkhasiat di buku-buku sejarah atau buku-buku lawas tak lagi mendapat pembaca rajin merenungkan bahasa dan makna. Kini, kata itu dipilih menjadi judul film komedi.

Bandung Mawardi
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.