“Apakah kalian berteman? Aku dengar orang Muslim ingin membunuh semua Yahudi. Kamu Muslim, kan?” tanya seorang murid kelas empat SD pada gurunya, Nasira, yang sedang mengajar di depan kelas pada sebuah Sekolah Dasar di Brooklyn. Sementara itu, ada guru perempuan lain, Rochel, yang beragama Yahudi Ortodok, duduk di antara murid.
Kemudian, Nasira berjalan mendekati tempat duduk Rochel lalu bertanya, “Apakah kamu pikir aku akan membunuhmu, Nona Rochel?” Gadis Yahudi itu tersenyum tipis dan menggeleng lalu berkata, “Tidak. Tentu tidak.”
Lalu tanya anak yang lain, “Aku dengar orang Muslim akan mendorong orang Yahudi ke laut.”
“Orang Muslim? Ada lebih dari 1,5 miliar Muslim di seluruh dunia yang berbicara dengan bahasa yang berbeda, tinggal di negara yang berbeda. Akan selalu ada orang yang membenci orang lain karena mereka bebal, ketakutan, merasa terancam. Atau mungkin juga karena mereka tidak memahami orang lain yang berbeda,” Nasira menjelaskan.
“Jadi berapa orang Muslim yang ingin membunuh Yahudi?” kejar anak yang lain. Suasana jadi kaku. Rochel kemudian berdiri sambil berkata, “Oke, aku ada ide. Untuk pertemuan selanjutnya, sebelum masuk kelas, aku ingin kalian semua memikirkan satu kata yang paling menggambarkan diri kalian. Bisa apa saja. Warna kulit, agama, tim olah raga favorit, dan lain-lain.”
And then saved by the bell, literally.
Demikian potongan adegan dalam film Indi Amerika berjudul Arranged (2007). Film yang disutradarai oleh Diane Crespo dan Stefan C. Schaeferini ini diproduksi oleh Cicala Filmworks, ditulis oleh Stefan C. Schaefer dan Yuta Silverman, serta dimainkan dengan apik oleh dua protogonis Zoe Lister-Jones (Rochel) dan Francis Benhamou (Nasira).
Film bergenre komedi dan drama romantis ini diangkat berdasarkan kisah nyata dari seorang guru perempuan Yahudi Ortodok di New York Public School yang mengenal ibu seorang muridnya yang Muslim Pakistan Amerika.
Ada yang berkata, “film yang bagus adalah jika engkau masih memikirkan ceritanya walaupun sudah berlalu beberapa hari.” Ya, saya menonton film Arranged yang berdurasi 90 menit ini di YouTube lima hari lalu dan adegan-adegannya masih bermain manja di benak saya sampai saat ini.
Arranged bercerita tentang dua gadis belia, yang bila ditilik dari kacamata dunia saat ini, mereka adalah kaum yang berseteru. Rochel Meshenberg, berlatar belakang Yahudi Ortodok dari Borough Park, Brooklyn, dan Nasira Khaldi, gadis Muslim taat yang lahir di Syria dan pindah ke Amerika saat usianya 5 tahun. Ayahnya seorang sarjana al-Qur’an.
Sejak hari pertama menjadi guru, Rochel menyadari bahwa dia memiliki lebih banyak persamaan dengan Nasira dibanding dengan guru-guru yang lain. Saat makan siang di pantri sekolah, Rochel dan Nasira tampak tak nyaman harus mendengar obrolan tiga orang guru perempuan muda yang duduk di sebelah meja mereka. Salah satu dari tiga guru itu tak sungkan menceritakan pengalaman pribadinya dengan suara nyaring, termasuk seks yang sangat tabu bagi Rochel dan Nasira.
Rochel, 22 tahun, adalah anak tertua dari empat bersaudara sebuah keluarga Yahudi Ortodok yang sangat taat. Dalam budaya Yahudi Ortodok, bila usia sudah cukup, mereka wajib menikah. Calon pasangan harus dilihat bibit, bebet, dan bobotnya. Seleksi calon yang memenuhi syarat ini dilakukan oleh seorang Mak Comblang.
Karena batas usia sudah nyaris habis, Rochel dijadwalkan ibunya untuk bertemu dengan Mak Comblang. Rochel harus menuruti, karena bila tak menikah dalam usia ini, dia bisa masuk kategori terlambat menikah nantinya.
Ayahnya membesarkan hati Rochel untuk tidak perlu kuatir tentang perjodohan tersebut. Dia menggaransi bahwa saat tersebut akan menjadi saat yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Kemudian, ayahnya bercerita saat pertama sekali bertemu dengan ibunya melalui cara yang sama. Ayahnya mengucapkan, “What a gift” berkali-kali sambil menatap mesra pada istrinya yang tersipu-sipu.
Ditemani tantenya, Rochel mengunjungi Mak Comblang. Layaknya konsultan perjodohan, perempuan tua dengan dandanan rapi yang menjadi Mak Comblang tersebut menanyakan kriteria pria yang diinginkan Rochel. Dari data tersebut, Mak Comblang membuat daftar pria yang akan mengunjungi Rochel di rumah.
Tak lama kemudian, bergantian pria muda dengan beragam kepribadian dan karakter mencoba peruntungan untuk bertemu Rochel. Perkenalan pertama, si pria harus bertemu orangtua Rochel. Biasanya orangtuanya mengenal orangtua si pria. Kemudian, si pria mengajaknya ke luar. Mungkin makan di restoran atau jalan-jalan di taman. Sembilan pria sudah datang, tapi tidak ada yang dia sukai.
Sementara itu, Nasira juga mengalami hal yang mirip tapi berbeda cara. Sahabat ayahnya yang lebih tua 20 tahun, datang berkunjung dan dijamu makan malam. Sang tamu ingin meminang Nasira menjadi istrinya. Beruntung Nasira memiliki ayah yang bijaksana. Dia tidak marah saat Nasira menolak dinikahkan dengan pria tersebut.
Setelah adegan di awal tulisan ini, Kepala Sekolah Ms. Jacoby, usia sekitar 50-an, memanggil Rochel dan Nasira ke kantornya. Ms. Jacoby punya karakter yang unik. Dia seorang “liberal” yang selalu menghembuskan kata toleransi dan women movement, tapi tidak tahan melihat cara berpakaian Rochel dan Nasira yang sederhana.
Dalam keseharian, Nasira mengenakan hijab dengan baju lengan panjang, rok panjang atau celana panjang. Demikian juga Rochel, mengenakan baju lengan panjang yang dikancing hingga leher, rok panjang berpotongan sederhana, dan rambut yang selalu digelung atau dikuncir.
Setelah memuji kecantikan Rochel dan kepintaran mereka, kata Ms. Jacoby, “Ini sudah abad 21, masa kalian masih berpenampilan seperti ini? Kalian punya pilihan.” Kemudian, dia menawarkan sejumlah uang supaya mereka pergi berbelanja busana yang lebih modern. Kedua gadis ini menolak pemberian tersebut dan keluar dari ruang Kepala Sekolah.
Ada pula adegan yang menarik saat Rochel mengajak Nasira ke rumahnya, karena mereka akan mempersiapkan bahan ajaran. Ibunda Rochel sangat kaget cederung syok ketika mendapati Nasira ada di dalam rumahnya. Dia memanggil Rochel untuk kemudian berbicara di dapur dan meminta agar Nasira tidak ada di dalam rumah sebelum ayahnya pulang. Dia juga merasa tidak nyaman bila tetangganya tahu ada gadis Muslim di rumahnya.
Sebaliknya, saat Nasira mengajak Rochel ke rumahnya, kedua orangtua Nasira menyambutnya dengan hangat sehingga Rochel merasa nyaman berada di sana. Tampak bahwa film ini menggambarkan di Amerika, orang Muslim lebih toleran dibanding orang Yahudi.
Rochel adalah gadis yang memegang teguh ajaran agama dan tradisi Yahudi, tapi tidak ingin dijodohkan. Saat ibunya memaksa untuk segera memilih salah satu dari pria tersebut, Rochel marah dan menolak keras. Kemudian, dia pergi ke rumah sepupunya, Leah. Leah telah memilih gaya hidup modern (Barat) dan tidak berhubungan lagi dengan keluarganya.
Saat berada di rumah Leah, sepupunya itu bercerita bahwa ada kehidupan lain di luar sana selain seperti yang dijalani Rochel. Dia membesarkan hati Rochel bila ingin melihat kehidupan lain di luar sana. Untuk mengetahui apakah Rochel cocok dengan cara hidupnya, Leah mengajak Rochel ke pesta di rumah temannya.
Di dalam pesta tersebut, Rochel merasa tidak nyaman sama sekali. Ada pria yg mendekatinya dan memberinya minuman beralkohol dan mendorongnya untuk mencicipi minuman tersebut. Musik keras bergema di dalam rumah dan sebagian orang berjoget. Di sudut lain, ada pasangan yang berasyik masyuk. Di ruang lainnya, ada sekelompok orang yang sedang menghisap ganja.
Rochel ketakutan melihat keadaan tersebut dan merasa tidak nyaman sama sekali. Dia menjinjing sepatunya dan segera keluar dari rumah tersebut.
Di sekolah, Rochel dan Nasira semakin akrab. Mereka saling berbagi cerita termasuk masalah pribadi. Nasira juga menceritakan tentang kedatangan seorang pria muda besama kedua orangtuanya di rumahnya beberapa hari sebelumnya. Tanpa malu, Nasira mengatakan bahwa dia menyukai pria yang sedang mengambil Master di bidang teknik tersebut. Dengan tulus, Rochel mendukungnya dan ikut berbahagia akan kebahagiaan sahabatnya.
Saat Nasira ingin menemui adiknya di perpustakaan Universitas Brooklyn, Rochel menawarkan diri menemaninya karena menghindari pulang cepat ke rumah. Saat di perpustakaan, Rochel beradu pandang dengan pria yang merupakan teman adik Nasira. Nasira pun melihat mereka berdua saling beradu pandang.
Saat pulang, Nasira menyarankan supaya Rochel mendekati pria tersebut. Tapi dalam tradisi Yahudi Ortodok, mereka tidak boleh bertemu seperti itu. Harus melewati Mak Comblang yang sudah dipercaya orangtuanya. Nasira menanyakan nama Mak Comblang tersebut.
Kemudian, Nasira minta adiknya untuk mengambil foto dan membuat resume pria yang ternyata bernama Gideon. Tapi, adiknya tidak mau, karena tidak ingin ikut campur urusan temannya sebagaimana dia tidak ingin temannya mencampuri urusannya.
Akhirnya, Nasira melakukannya sendiri. Dia mencari cara untuk memotret Gideon, kemudian menyamar sebagai jurnalis untuk mendapatkan data Gideon. Setelah selesai, Nasira mengantarkan sendiri resume Gideon ke Mak Comblang dengan catatan untuk dimasukkan dalam list calon suami Rochel. Dan film ini berakhir indah.
Kita dapat melihat bahwa karakter Nasira sebagai Muslim taat yang berpenampilan sederhana tidak menjadikannya gampang marah bila dikritik. Dia malah menjadikan candaan segar bila ada orang yang memandangnya rendah.
Sementara karakter Rochel yang juga seorang Yahudi Ortodok taat dengan penampilan sederhana, tapi bukanlah gadis lugu yang diam saja bila dipandang rendah. Kepala sekolahnya yang selalu usil menggoda mereka dengan sedikit menghina pilihan hidup mereka, akhirnya merasakan dampratan Rochel yang tajam.
“Mengapa tradisional itu non sense bagimu? Bagaimana bisa orang mabuk, tidur bersama padahal tidak saling mengenal menurutmu memerdekakan?” kata Rochel.
“Aku bukan bicara masalah itu. Aku hanya ingin kamu punya pilihan. Pilihan karir dan pilihan siapa yang kamu cintai,” ujar Ms. Jacoby membela diri.
“Ya. Aku punya pilihan, aku bisa seperti itu, tapi aku memilih seperti ini,” kata Rochel dengan sangat tegas.
Pesan Moral
Film ini dapat menjadi kampanye bahwa persahabatan itu tidak memandang agama. Selama ini, di banyak negara termasuk dalam masyarakat kita, selalu bergema propaganda anti-Yahudi. Arranged sukses menceritakan persahabatan yang indah dari dua gadis yang berbeda agama, dari kutub yang ekstrem pula (Islam dengan Yahudi Ortodok).
Mereka tidak mengingkari bahwa ada perbedaan di antara mereka, tapi banyak persamaan yang bisa digali dari sana yang akhirnya mendekatkan keduanya. Bila saja film ini dapat tayang di bioskop-bioskop kita, pasti akan menarik sekali untuk diskusi umum sekaligus juga bagus untuk memupuk toleransi di tengah masyarakat.
Film ini juga hendak mengatakan pada dunia Barat, menjalani hidup dengan cara tradisional dan taat beragama bukan selalu karena keterpaksaan tanpa pilihan. Ada orang yang memang memilih hidup dengan cara seperti itu. Misalnya, untuk membongkar stigma yang berkembang di Barat bahwa perempuan Muslim berhijab itu karena terpaksa, dihadirkanlah sosok Nasira yang mengenakannya karena pilihan sendiri.
Plot di mana Rochel meninggalkan pesta dan menyanggah Ms. Jacoby juga menunjukkan bahwa gaya hidup bebas bisa jadi tidak memerdekakan bagi sebagian orang, karena nilai-nilai hidup yang diyakini setiap orang berbeda-beda.
Selain pesan yang kuat, saya juga suka acting semua pemain. Tidak berlebihan dan tidak lemah. Pas. Sinematografinya juga dapat menangkap semua detail yang ingin ditampilkan. Saya suka suasana yang kontras antara lingkungan Yahudi dan Muslim. Sebagai orang Kristen, saya memahami ritual dan cara hidup Rochel yang Yahudi Ortodok. Sebagai orang Indonesia, saya pun tidak asing dengan cara hidup Nasira.
Sebagaimana film indi pada umumnya, Arranged juga tidak memiliki scene yang mewah, tapi tetap menarik untuk diikuti sampai akhir. Dialog yang pas, tidak menggurui, dan memegang prinsip “show don’t tell” membuat saya sulit menemukan cela untuk dikritik setelah menontonnya. Dan ucapan ayah Rochel menggambarkan nilai film ini bagi saya, “What a gift, what a gift!“