The Female Quixote (1752) bukanlah novel tentang seorang wanita yang memulai serangkaian petualangan dengan rekannya yang setia, tetapi tentang seorang gadis muda dari kalangan aristokrat Inggris yang tumbuh di perkebunan terpencil dan suka membaca roman. Arabella, sang protagonist, menyerap banyak ide tentang romansa dan keberanian dari apa yang dibacanya. Ketika dia bersentuhan dengan masyarakat pertengahan abad ke-18, kecenderungannya mengejutkan dan membingungkan orang-orang yang dia temui. Dia merasa tidak nyaman dan bahkan berbahaya bagi dirinya sendiri. Tetapi dia bertahan sampai ketika dia dilecehkan dalam suatu diskusi panjang dengan seorang dokter yang terpelajar.
The Female Quixote memang tidak setenar Tom Jones atau Pamela dan memang bukan bagian dari kanon abad ke-18, kecuali bagi kalangan ahli. Novel ini sangat menghibur dan sarat pelajaran sebagai sebuah karya dan dokumen sejarah. Charlotte Lennox, si pengarang, adalah tokoh sezaman dengan Samuel Johnson dan Samuel Richardson. Kedua sastrawan ini, menurut Richardson, bekerja sama membantu Lennox menulis dan menerbitkan novel ini sebelum dia berusia dua puluh tahun. Pada saat itu dia sudah menikah, banyak bepergian, dan menulis novel lain, The Life of Harriot Stuart (1750). Dia juga menulis beberapa novel lagi, tetapi tidak ada yang sepopuler The Female Quixote.
Seperti halnya Cervantes, novel Lennox ini dimaksudkan untuk sebagai komik—untuk menggambarkan efek menggelikan dari pendidikan yang salah kaprah dari pikiran yang rentan. Seperti Don Quixote, Arabella sepenuhnya mampu lepas dari fiksasinya pada kisah-kisah penuh gairah, asmara dan perang (bukan cerita yang sama seperti yang dinikmati Quixote , tetapi romansa Prancis yang berlatarkan zaman kuno meskipun ditulis pada abad ke-17 oleh de Scudéry dan La Calprenède ) .
Terkait dengan Don Quixote, sebagaimana cerita ini berkembang, aspek-aspek lucu novel ini tampak kelam dan lembut, yang merupakan buah perkenalannya yang lama dengan protagonis. Upaya pengarang untuk mempertahankan aspek konyol dari jiwa Arabella tanpa kehilangan simpati pembaca secara pasti menghadirkan beberapa tantangan, tetapi Lennox menyajikannya dengan cerdik. Yang pertama adalah bahwa Arabella, seperti Quixote, berwatak kasar, suka membantah, dan terkadang agresif. Novel adalah wujud sosial dan salah satu paradoks dari novel ini adalah bahwa kesalahan sosial bisa lebih menekan pembaca daripada kesalahan moral.
Layaknya kehidupan, pembaca bisa mengambil isyarat dari orang-orang di sekitar protagonis. Dalam hal ini ada sosok Tuan Glanville yang bijaksana, sepupu Arabella. Dia menganggap Arabella menarik dan tulus (meskipun dia sering jengkel dengan Arabella).
Selain itu, Lennox mengontraskan Arabella dengan sepupunya yang jauh lebih tipikal, Charlotte, yang lebih realistis, tetapi juga picik dan dangkal. Lennox juga tidak pernah membiarkan Arabella tampak sepenuhnya salah. Terkadang dia mengemukakan alasan yang masuk akal atas tindakan yang dilakukannya; pada satu waktu dialah yang paling dirugikan oleh tindakannya, dan di lain kesempatan perbuatannya berasal dari motif yang terhormat. Hal membuatnya tetap menarik (walaupun perlu diakui bahwa keseimbangannya tidak terpelihara dengan sempurna, dan Arabella menjadi membosankan dari waktu ke waktu).
Lennox juga berhati-hati untuk menemukan komedi dalam karakter di sekitarnya—pilihan yang sangat canggih untuk seorang seniman muda. Arabella menyuarakan absurditas, tetapi pembaca tidak akan tertawa sampai kerabat dan teman-temannya bereaksi terhadapnya. Perangkat ini sering digunakan dalam film, misalnya, ketika satu karakter melakukan sesuatu dan karakter lain mengerjakan yang berbeda. Ini membuka jarak antara tindakan dan makna yang membutuhkan perspektif yang lucu.
Masalah utama dari sebuah novel ketika seorang karakter ditipu adalah bagaimana meyakinkannya dan apa yang terjadi setelah itu. Ini adalah masalah yang inheren dalam novel, karena novel kerap mengisahkan apa dan bagaimana individu-individu tertentu masuk ke dalam lingkungan sosial mereka.
Cervantes menawarkan satu solusi untuk masalah ini: Don Quixouga dikalahkan dan kemudian jatuh sakit. Dia bangun, gila dan kemudian mati. Tidak ada alasan lagi untuk hidup. Arabella juga menderita secara fisik saat dia hampir tenggelam. Setelah pulih, dia berdiskusi panjang dengan sosok seperti Samuel Johnson, yang menarik kecerdasannya dengan argumen yang masuk akal. Dia menyangkal bacaannya yang dulu, menikahi Glanville, dan hidup bahagia selamanya.
Beberapa pembaca menerima kisah akhir seperti ini, tapi ada juga yang tidak menyukainya. Hal yang menarik bahwa Arabella selalu menggunakan argumen logis, meskipun didasarkan pada otoritas palsu dan premis aneh. Ini adalah taktik yang tidak dimiliki oleh karakter lain. Sang dokter tertarik dengan kecerdasannya, saat yang lain hanya terpukau dengan kesopanan atau kecintaannya kepada diri sendiri.
Khayalan Arabella dianggap menarik sebagai bagian dari diskusi baru yang terus berlanjut tentang status dan hak perempuan. Bagi orang-orang sezamannya, ketakutannya akan bercinta, diperkosa dan diculik dianggap tidak masuk akal. Charlotte dan karakter wanita lainnya suka dicumbu. Perhatian gadis-gadis saat itu adalah bagaimana tampil lebih lugu melebihi diri mereka. Ini tentunya karena mereka hidup di dunia yang lebih aman daripada dunia The Heptameron. Dasar romansa Perancis telah membawa konflik abad pertengahan antara cinta dan kebajikan, kehormatan dan kekuasaan ke dalam dunia modern Inggris abad ke-18 yang biasa-biasa saja. Mereka masih memiliki ambiguitas yang cukup untuk menarik banyak minat.
Dilema Arabella (apakah dia akan menikah sesuai perintah ayahnya demi kekayaan, atau akankah dia mengejar jalannya sendiri?) adalah dilema using yang sama, meskipun dalam kasus ini disampaikan dengan lembut. Apa yang harus dilakukan dengan gadis-gadis itu adalah dilema abadi dari novel, kadang-kadang diberikan tempat pertama, lain waktu diberikan tempat kedua. Yang jelas ini merupakan keasyikan kehidupan di Eropa di pelbagai daerah dan masanya. Lalu, di manakah letak simpati Lennox sendiri? Akhir dari The Female Quixote tidak dikembangkan dengan baik. Buktinya adalah dia memiliki terlalu banyak materi untuk dua jilid tetapi tidak cukup untuk tiga jilid dan memutuskan untuk menyelesaikannya lebih cepat.
Ini memberi petunjuk bahwa sosok Lennox yang tangkas—dengan bakat dan kecerdasan yang memadai untuk menarik minat para sastrawan terhebat pada zamannya—berpikir bahwa melibatkan wanita dalam diskusi tentang kehidupan dan nasib mereka sendiri paling tidak merupakan alasan terbaik untuk memulai. Pembaca bakal menikmati bagaimana Arabella memainkan peran sebagai wanita yang tampil bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan norma yang lazim saat itu. Hal ini menyediakan jalan di mana wanita dapat memiliki peluang yang sama seperti laki-laki.