Jumat, Maret 29, 2024

Epos Kekerasan, Homo Homini Lupus, dan Amorisme (2)

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis

Epos konflik dan kekerasan terus berlanjut di era kolonialisme Belanda yang menerapkan politik ‘pecah belah’. Karena hasutan dan kepicikan kolonial, sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara penuh dengan cerita kekerasan, peperangan, pembunuhan, dan pengkhianatan.

Penjajah Belanda telah menanamkan budaya saling membenci sesama anak bangsa selama tiga setengah abad. Selama itu pula, bangsa kita tanpa sadar dicekoki untuk pandai menjilat ludah sendiri, membenci, membunuh, berkhianat, dan berpecah belah.

Kemerdekaan Indonesia tidak membebaskan kita dari warisan budaya konflik dan kekerasan. Budaya konflik dan kekerasan atas nama ideologi politik, latar sosial dan budaya serta warna kulit dan ras mengemuka.

Panggung politik di awal kemerdekaan justru menjadi arena persaingan politik yang tajam. Di akhir kekuasaan Orde lama, tanah tumpah darah bersimbah darah oleh G30S/PKI. Tercatat sebanyak setengah juta jiwa anak bangsa tewas terbunuh. Tragedi kemanusiaan yang paling kelam dalam sejarah Indonesia modern mencoreng mukanya sendiri.

Warisan kekerasan dan konflik terus bertahan pada masa Orde Baru. Berbagai kasus pelanggaran HAM dengan ratusan korban tumpah makin membuat dunia terhenyak: mengapa pembunuhan dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip HAM kemanusiaan itu terjadi di sebuah negeri yang menjunjung tinggi religi?

Semua orang berharap Reformasi menghadirkan sebuah tatanan yang memungkasi ketidakteraturan politik, ekonomi, dan hokum sebagai warisan dari Orde Baru. Namun, harapan itu meluruh tatkala Reformasi justeru menggerogoti dan menghapus perasaan dan kenikmatan kita sebagai bangsa.

Sabang sampai Merauke, parade kekerasan dan konflik hampir nyaris tidak terputus.  Masing-masing dari kita terjebak pada pencarian dan pencapaian kepuasan pribadi atas nama kepentingan agama dan suku, hasrat ekonomi, dan libido politik yang paling jalang.

Singkat kata, egoisme-feodalistik berupa kekerasan yang membudaya telah sempurna mengerangkeng setiap kita pada pencapaian tujuan kuasi-nyata. Situasi “hilangnya keintiman” semakin mencekam, ketika penguasa menyerah dan atau malah melanggengkan keadaan ini guna pencapaian syahwat pribadi dan golongannya yang paling jorok: kekuasaan dan uang.

Kita semuanya tentu miris, jika situasi “hilangnya keintiman” itu berlangsung terus menerus. Ketika egoisme dalam wujudnya yang bejat selalu mengalahkan sedekah cinta dan kebaikan. Tetapi kita tidak perlu pesimis, sebab sikap menyerah kalah pada egoisme tidak lain adalah sebuah kepengecutan dalam menghadapi realitas.

Amorisme

Solidaritas (solidarity, ukhuwah) dan cinta (amorism, hub wa mahabbah) sesungguhnya melimpah ruah dalam diri dan tradisi kita. Itulah modal sosial yang sering kita ingkari keberadaannya.

Padahal, dalam guratan sejarah bangsa, nenek moyang kita mengajarkan cinta, welas asih, darma, gotong royong, toleransi dan keterbukaan. Nenek moyang, sejatinya, mewariskan budaya ramah bukan amarah.

Kealpaan kita sekarang yang mencibir nilai-nilai maha adil itu selayaknya musti diganti dengan spirit menyalakan kembali obor cinta. Untuk itu, tidak ada alasan satupun untuk menunda penghormatan dan penyanjungan kita pada cinta: cinta adiluhung yang sudah terpatri dalam diri setiap individu.

Cinta adiluhung atau etik, bagi Alain Badiou (Eloge de l’Amour, 2009), adalah sebuah sikap dan perasaan untuk menerima keragamaan pihak lain yang berbeda, bukan penyamarataan (identifikasi) yang dipaksakan. Kita musti yakin bahwa cinta adiluhung ini dapat mengembalikan keintiman dan solidaritas, dalam merajut kembali jalinan kasih antar warga negara yang terkoyak.

Cinta sangat esensial untuk mengobati duka-lara anak bangsa akibat pertikaian dan perselisihan. Cinta mengantarkan kita pada sikap saling menghargai, menghormati keragaman dan perbedaan. Spirit cinta seperti ini diyakini dapat meluruhkan daki-daki egoisme yang berpusat pada pemujaan terhadap hasrat individu.

Cinta menghidupkan kemanusiaan, sedangkan egoisme justru menghancurkan diri. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang marak adalah wujud banal kekalahan cinta dari egoisme. Koruptor adalah makluk egois, yang peduli hanya pada dirinya.

Koruptor adalah makluk terburuk di muka bumi, sebab ia hanya peduli pada nasib perut yang menggembung dan bawah perutnya yang rakus. Korupsi dengan demikian adalah antitesis terhadap cinta.

Kekerasan verbal hingga terorisme juga bertabrakan dengan ajaran cinta. Teroris hanya mengejar kepuasan teologis untuk diri dan kelompok. Ia mengaduk-aduk ketakutan dan kematian orang lain, demi sebuah imajinasi cinta yang semu dan buram. Meski mulutnya menyanjung cinta, tetapi teroris itu sesungguhnya, seperti koruptor, adalah makhluk paling egois yang jorok dan menjijikkan.

Kita optimis, laku cinta dan keintiman antar warga di Republik ini akan tetap lestari. Cinta adalah modal bangsa ini bertahan ribuan tahun silam hingga akhir masa nanti. Cinta adalah antidote bagi barbarisme dan kekerasan banal. Dan cinta mengembalikan hakikat kemanusiaan kita untuk merasakan kembali sebuah “komunitas takdir” sebagai makhluk Tuhan yang sama dan setara.

Terkait

Epos Kekerasan, Homo Homini Lupus, dan Amorisme (1)

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.