Jumat, April 19, 2024

Epos Kekerasan, Homo Homini Lupus, dan Amorisme (1)

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis

Beberapa tahun belakangan ini harmoni dan keintiman antar manusia tampaknya mengalami peluruhan masif. Manusia modern seperti terlempar di tengah gurun pasir yang membara. Di tanah kerontang ini,  manusia disuguhi dramaturgi politik dan ekonomi yang jauh dari keelokan dan keadaban.

Babak demi babak adalah intrik dan tragedi yang sarat anarkisme verbal dan fisik. Penonton dipisah dalam label “kebinatangan” untuk dimanipulasi dan diadu-domba. Kain putih yang kita kenakan pun robek.

Tak heran, penonton lalu mengadopsi, mengimitasi, dan memodifikasi laku aktor politik dan ekonomi itu, dalam bentuknya yang paling gila; kekerasan atas nama cinta dan simulacra air mata. Tindakan kekerasan dicampur dengan keluhuran untuk menemukan justifikasi teologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Kekerasan demi kekerasan yang terus diagungkan akan memproduksi situasi yang digambarkan Jean-Paul Sartre (Situation II, 1948) sebagai “kekerasan yang lumrah”, di mana sikap dan tindakan penuh “cinta” adalah sebuah absurditas.

Homo Homini Lupus

Kekerasan setua sejarah manusia itu sendiri. Kekerasan yang terus dilangsungkan dan dilanggengkan dapat mengkristal menjadi sebuah pola kebudayaan. Perilaku dan moralitas sebuah masyarakat itu lantas ditentukan oleh kebudayaan tersebut. Terjadi silang pengaruh antara kebudayaan dan masyarakat, vice versa.

Pandangan itu oleh Melville J. Herskovits (1972) dan Bronislaw Malinowski (1944) disebut cultural-determinisme. Maka, jika suatu masyarakat itu mengutamakan jalan kekerasan, maka sebenarnya ia tengah dipengaruhi oleh seperangkat nilai atau budaya kekerasan. Nilai-nilai kekerasan tersebut lalu diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain.

Dalam teropong filsafat politik, Thomas Hobbes menyatakan dalam bukunya Leviathan (1651) bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam manusia. Dia meyakini manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar, dan berpikir pendek.

Hobbes mengatakan, “manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus)”. Menurutnya, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam politik ketatanegaraan, sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada yang memerintah.

Karena itu, dalam konteks stabilitas keamanan dan politik, Hobbes menyarankan pemerintahan suatu negara untuk menggunakan kekerasan. Pandangan Hobbesian ini disempurnakan oleh Nicolo Machievali, bahwa kekerasan (represi) itu cara paling absah untuk meraih dan mempertahanan kekuasaan.

Dalam Le Prince (1513), manuskrip kecil yang ditujukan kepada puta mahkota Florence Italia, Laurent II de Médicis, Machieveli merumuskan teori dan filsafat politiknya yang mengagungkan kekerasaan untuk membangun sebuah negara yang kuat dan berwibawa.

Kekerasan tidak hanya dimaknai dalam pengertian yang tunggal. Kekerasan itu beragam jenis dan bentuknya. Jean Claude Chesnay (Histoire de la violence, 1982) menyebutkan, kekerasan itu bermacam-macam, tidak tunggal, dinamis, sering tidak dapat diindera, selalu berubah dan seringkali merujuk pada realitas yang sangat berbeda-beda (lokus, tempo, kondisi, dan keadaan).

Dalam konteks itu, kekerasan juga dapat berarti fisik, psikis, ekonomi, dan juga institusi selama kekerasan itu merujuk pada satu tindakan penggunaan superioritas atas yang lainnya–sebagaimana dalam pengertian aslinya.

Adapun kekerasan yang dilakukan sebuah institusi, atau yang disebut dengan kekerasan institusional, adalah tindakan penggunaan institusi untuk memaksa orang lain menerima gagasan, cara pandang, dan juga produk-produk yang dihasilkan oleh institusi tersebut.

Dalam hal ini, jika suatu institusi negara atau swasta tidak terbebas dari unsur-unsur kekerasan institusional, maka institusi tersebut bukanlah institusi yang adil—sebagaimana dikatakan Paul Ricoeur, psikoanalis Perancis.

Filsafat “homo homini lupus” bertabrakan dengan ajaran Kitab Suci. Dalam Islam, semua manusia dilahirkan dalam kesucian, fitrah (yuuladu ‘ala al-fithrah): bayi adalah kapas putih tak ternoda. Paradigma ini selaras dengan Jean Jacques Rousseau, filosof Perancis abad Pencerhan itu. Rousseau mengungkapkan, pada dasarnya manusia itu polos, mencintai diri secara spontan, serta tidak egois.

Peradaban serta kebudayaanlah yang menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya, menjadi kasar dan kejam terhadap orang lain. Ia yakin kekerasan yang dilakukan bukanlah sifat murni dan asali manusia. Lebih jauh, dalam konteks modern, pandangan Hobbesian dan Machivelian di atas dikecam oleh para demokrat, aktivis HAM dan sebagainya karena tidak sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai humanisme yang dilahirkan Abad Pencerahan.

Epos Kekerasan

Di balik kemegahan Candi Borobudur, epos dan heroisme Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada serta kesantunan budaya Walisongo, bangsa Indonesia mewarisi budaya kekerasan yang mengerikan berupa cerita, intrik, tragedi, pembunuhan, ambisi dan pengkhianatan penguasa Nusantara.

Dalam buku teks-teks sejarah, siswa SD hingga perguruan tinggi disuguhi muatan sejarah yang menjadikan pelbagai jenis kekerasan elite penguasa Nusantara sebagai muatan utama.

Siswa dipertontonkan dan dituntun untuk mencerap serta mewarisi sebuah kebudayaan rendahan para elite Nusantara yang bau anyir darah dan nanah. Jarang sekali, teks sejarah di sekolah dan universitas menyajikan budaya cinta dan prestasi.

Dari buku sejarah, kita dikenalkan konflik kekerasan Ken Arok di Singasari di masa kerajaan Hindu hingga Amangkurat II di era kesultanan Islam Mataram.

Dalam buku History of Java (1817), Sir Thomas Raffles mencatat kekejaman Amangkurat I yang melakukan pembunuhan terhadap 6000 ulama, santri dan keluarganya yang dikumpulkan di tengah alun-alun dan dipanah tak kurang dalam waktu 30 menit.

Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan pula kesadisan Amangkurat II yang mencincang dan mengambil organ hati Trunojoyo dan lantas membagi-bagikannya kepada para bupati untuk memakannya di balairung istana. (Bersambung)

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.