Sabtu, April 20, 2024

Entropi Ramadhan: dari Selfie, Riya’ hingga Citra

Mayretha Yuniar
Mayretha Yuniar
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Jawa Timur.

lagi-puasaPuasa hakikatnya adalah masa dan cara bagi seseorang untuk belajar menahan hawa nafsu, menahan lapar dan dahaga untuk belajar berempati terhadap kehidupan dan kesengsaraan masyarakat yang kurang beruntung. Tetapi, dalam kenyataan yang terjadi selama Ramadhan justru kebutuhan belanja keluarga meningkat, makan menjadi lebih mewah dari biasanya–meski frekuensi dan jamnya bergeser.

Bagi sebagian orang, berpuasa tampaknya justru menjadi legitimasi untuk membenarkan mereka sedikit merasakan kemewahan tambahan daripada hari-hari biasa yang dijalani sebelumnya. Ketika seseorang telah berusaha menguatkan iman menahan rasa lapar dan dahaga, bukankah tidak ada salahnya jika kemudian mereka sedikit merayakannya dengan kompensasi makan dan minum yang lebih berkualitas?

Coba bertanya kepada ibu-ibu tentang apa yang mereka lakukan dan apa yang terjadi selama bulan puasa? Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama Ramadhan justru lebih banyak dari biasanya. Jika sebelumnya cukup hanya makan lauk telur, maka pada saat Ramadhan tidak sedikit umat Muslim yang meningkatkan lauknya menjadi daging sapi. Jika pada hari biasa hanya makan makanan utama, tiba-tiba saat Ramadhan seperti kurang afdhol jika tidak ada takjil seperti kolak pisang, kurma, dan sebagainya.

Inilah yang menjelaskan mengapa sebagian orang justru mengalami kenaikan berat badan saat Ramadhan. Sebab, sebagian besar orang terus mengunyah sepanjang malam dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur di sepanjang siang.

Hakikat perintah puasa yang ditujukan agar umat Islam bisa berempati pada saudaranya yang berkekurangan justru mengubah sebagian besar masyarakat menjadi predator yang selalu ingin dan sah mengonsumsi berbagai kemewahan. Kontradiksi ini merupakan fenomena Ramadhan yang sudah kehilangan maknanya. Semua yang dilakukan tak lebih dari sekadar realitas simbolik tanpa arti.

Ramadhan, bagi sebagian orang, harus diakui telah kehilangan kedalaman nilai luhur yang justru ingin disampaikan. Inilah yang dinamakan dengan fenomena entropi Ramadhan, yakni keadaan di mana apa pun yang terjadi hanya sebatas dilakukan tanpa ada lagi nilai dihayati dan diresapi. Manusia seolah hanya menjadi robot yang melakukan berbagai ritual, tetapi tidak betul-betul menyadari apa yang sebenarnya sedang dilakukannya dan apa yang menjadi tujuannya.

Semua yang dilakukan seperti cangkang yang bisa dilihat wujudnya, namun sebenarnya kosong tanpa isi. Ritualitas hanya tinggal ritualitas yang praktiknya sudah banyak melenceng dari yang diajarkan.

Hal serupa terjadi pada realitas bersedekah pada mayoritas orang. Obral pahala yang dijanjikan selama Ramadhan kerap mendorong banyak orang untuk turut beramal, mendonasikan sebagian hartanya pada yang membutuhkan. Sedekah yang dianjurkan adalah sedekah yang diumpamakan seperti tangan kanan yang memberi, tetapi tangan kiri tidak boleh sampai mengetahui. Tetapi, hal ini ada kesan kuat tidak diperhatikan, terutama sejak kesempatan orang untuk beraktualisasi diri menjadi lebih mudah berkat maraknya teknologi informasi.

Hampir semua orang yang melakukan kegiatan sosial melakukan dokumentasi, baik donasi oleh instansi, komunitas, maupun keluarga. Umumnya, dokumentasi ini nantinya akan dipublikasikan di banyak sosial media.

Hakikat sedekah bergeser menjadi kebutuhan citra dan eksistensi. Tak heran, bagi sebagian orang, sedekah berubah menjadi alat pengakuan status sosial. Seperti seorang artis yang bersedekah dengan mengajak insan media. Bagi sebagian orang, aktivitas amal semacam ini tampaknya telah mengalami proses komodifikasi.

Disadari atau tidak, hal ini juga dimanfaatkan oleh sebagian umat. Ini bisa dilihat dari peningkatan jumlah pengemis dan peminta-minta sepanjang Ramadhan dan lebaran. Juga ketika pembagian zakat fitrah. Ramadhan setiap tahun hampir selalu diwarnai dengan kericuhan pembagian zakat fitrah. Banyak korban berjatuhan akibat saling serobot saat antri. Bahkan masih kita ingat insiden beberapa tahun lalu ada yang sampai meninggal karena terinjak saat mengantri. Sungguh ironi, beras zakat fitrah yang hanya beberapa kilo harus diraih dengan bertaruh nyawa.

Peristiwa ini seharusnya bisa dicegah jika si pembagi zakat rela mengeluarkan tenaga lebih untuk mensurvei dan membagikan berasnya langsung pada yang berhak. Tanpa mengharuskan si penerima untuk mengantri, kemungkinan akan mewujudkan mekanisme pembagian yang lebih efisien tanpa korban akan terwujud.

Namun, hal ini tidak juga dilakukan karena tujuan utama zakat seringkali sudah bergeser. Tujuannya bukan lagi berbagi dan mensucikan harta, tetapi juga sekaligus memberi pengumuman kepada khalayak, bahwa dialah hartawan yang dermawan. Bulan ini menjadi sarana panggung besar bagi yang gandrung dan haus citra.

Sangat disayangkan jika bulan mulia ini hanya dijadikan sebagai ritual pemanis dari sebelas bulan lainnya. Berlalu tanpa arti dan makna bagi sebelas bulan ke depan. Selain ibadah individual, sesungguhnya bulan ini lebih banyak mengajarkan tentang solidaritas, kesalehan sosial, dan segala bentuk toleransi. Nampaknya tidak hanya mempraktikkannya, tapi juga harus senantiasa melakukan koreksi niat agar apa pun yang dilakukan tidak hanya sekadar menjadi simbol dan ritual belaka.

Agar semua yang dilakukan tidak sia-sia, mungkin sudah saatnya untuk tidak melihat sesuatu dari apa-apa yang terlihat saja. Semoga setiap kita tidak lagi lupa tentang merasakan apa yang ada di dalam hati. Menanyakannya adakah ia sudah benar dalam beniat, adakah hal lain yang juga ingin dituju selain Allah itu sendiri. Sombong dan riya’ seringkali lancang merasuk dalam qalbu sekalipun kita sudah merasa ikhlas, hingga berdialog dengan hati adalah upaya yang boleh dilakukan siapa pun. Demi Ramadhan yang penuh kesadaran dan penghayatan, bukan sekadar ikut-ikutan.

Selamat menjalankan ibadah puasa di sepuluh akhir Ramadhan. Semoga Ramadhan kali ini dan Ramadhan mendatang bisa kita lewati dengan penuh makna.

Mayretha Yuniar
Mayretha Yuniar
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Jawa Timur.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.