Mari kita mulai dengan sebuah permainan “Benang Merah”. Bisakah Anda menebak benang merah yang menghubungkan perusahaan-perusahaan raksasa seperti Intel, Boeing, Nike, dan Starbucks? Jawabannya ada pada para CEO mereka. Keempat perusahaan tersebut baru saja mengganti pucuk pimpinan mereka, dan fenomena ini bukanlah kejadian isolir.
Di seluruh dunia, para CEO mengundurkan diri dalam jumlah dan kecepatan yang mencengangkan! Angka pengunduran diri CEO melonjak 50% dibandingkan tahun lalu, dan hingga saat ini, tercatat 1.824 CEO telah meletakkan jabatannya. Ini terjadi pada perusahaan-perusahaan besar yang tercatat dalam indeks saham global, bayangkan lebih dari 1.800 bos perusahaan raksasa mundur dari jabatannya tahun ini!
Ambil contoh Intel, perusahaan chip yang dulu begitu berjaya. Mereka ketinggalan dalam perkembangan AI dan tergusur oleh para pesaingnya. Intel mengalami kerugian besar, bahkan mencatatkan rekor kerugian, sehingga harus memotong biaya sebesar $10 miliar dan memberhentikan 15% karyawannya.
Pat Gelsinger, yang memimpin Intel sejak 2021, akhirnya mengundurkan diri minggu ini setelah saham Intel anjlok 61% selama masa kepemimpinannya. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan menarik, seperti seberapa pentingkah seorang CEO bagi sebuah perusahaan? Seberapa besarkah andil mereka dalam kesuksesan perusahaan? Dan seberapa bertanggung jawabkah mereka atas kerugian yang dialami perusahaan? Apakah semua itu salah mereka?
Pertanyaan-pertanyaan seputar CEO yang muncul sebelumnya memang kompleks, sama halnya dengan peran CEO itu sendiri. Tugas seorang CEO penuh tantangan dan sangat penting bagi kesuksesan perusahaan. Mereka harus menyelaraskan berbagai divisi dan tim, menciptakan harmoni antara “internal” dan “eksternal” perusahaan. Internal meliputi organisasi itu sendiri, sementara eksternal meliputi masyarakat, teknologi, ekonomi, dan pelanggan.
Di internal ada biaya yang harus dikelola, sementara di eksternal ada hasil yang harus dicapai. CEO bertindak sebagai penghubung keduanya. Jika karyawan lain bisa fokus pada satu area saja, seorang CEO harus memperhatikan semua aspek tersebut. Tugas yang berat ini tentunya diimbangi dengan kompensasi yang fa ntastis. Gaji para CEO perusahaan besar terus meningkat. CEO S&P 500, misalnya, dibayar rata-rata 196 kali lebih banyak dari karyawan biasa. Namun, ketika para CEO mulai meninggalkan jabatannya dalam jumlah besar, munculah kritik: Apakah seorang CEO benar-benar sepadan dengan gaji sebesar itu?
Gaji CEO yang tinggi seringkali didasarkan pada anggapan bahwa mereka adalah nahkoda yang menentukan arah dan nilai perusahaan, serta pengambil keputusan terakhir. Namun, anggapan ini bisa jadi keliru dan berujung pada kekecewaan. Contohnya adalah kasus Starbucks.
Tahun lalu, Laxman Narasimhan diangkat menjadi CEO Starbucks dengan paket gaji lebih dari $28 juta. Harapannya, Narasimhan akan membawa Starbucks menuju kesuksesan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: menu yang semakin rumit, penjualan menurun, dan persaingan yang semakin ketat. Akhirnya, Starbucks memecat Narasimhan setelah hanya satu tahun menjabat.
Kasus ini menunjukkan bahwa gaji yang besar sebenarnya adalah cerminan dari ekspektasi yang tinggi. Tanggung jawab dan tekanan yang menyertai jabatan CEO sangatlah besar. Jika tidak mampu memenuhi ekspektasi, bahkan CEO yang paling dihormati pun bisa terdepak. Tahun ini kita menyaksikan banyak CEO yang kehilangan jabatannya.
Fenomena CEO yang hengkang dari perusahaan kian marak terjadi. Tak hanya di perusahaan teknologi seperti Intel, tetapi juga merambah ke berbagai industri, mulai dari produsen mobil Stellantis hingga raksasa ritel H&M. Penyebabnya pun beragam, mulai dari kinerja perusahaan yang buruk, konflik internal, hingga krisis yang mendera perusahaan. Ada yang dipaksa mundur, ada yang memilih beralih ke perusahaan lain, dan ada pula yang memutuskan untuk mundur secara sukarela. Apapun alasannya, yang jelas fenomena ini menandai sebuah eksodus besar-besaran para CEO.