Minggu, Oktober 6, 2024

Surat Penting untuk Presiden Jokowi tentang Freeport

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Bapak Presiden Joko Widodo yang saya hormati,

Tak terasa kita telah berada di bulan April minggu kedua. Kalau tak ada aral melintang, dalam kurun waktu maksimal 20-an hari saja—sebagaimana yang Bapak sampaikan di awal bulan lalu—maka saham mayoritas pertambangan Freeport akan menjadi milik negara Indonesia, melalui penempatannya di Inalum yang menjadi holding BUMN perusahaan-perusahaan pertambangan.

Saya terlebih dahulu memohon maaf, karena dalam surat ini saya berusaha menjadi aral itu.

Saya berharap Bapak mau meneruskan membaca surat ini. Sebab, dalam hemat saya, terkait Freeport, masih banyak hal yang belum bisa menjamin keuntungan yang lebih besar bagi Indonesia, sehingga apabila dipaksakan maka kita malah bisa merugi di dalam upaya ini.

Saya masih ingat betul bahwa Bapak tidak rela, tepatnya “ora sudi”, ketika nama Bapak dicatut dalam kasus “Papa Minta Saham”. Apakah Bapak akan rela bila nama Bapak nanti dikaitkan dengan keputusan yang di kemudian hari ternyata lebih berdampak buruk dibandingkan sekadar pencatutan nama? Saya percaya sekali pada niat baik Bapak, dan karena itulah saya menuliskan surat ini.

Di penghujung Agustus 2017, setelah melalui perundingan yang tampaknya sangat melelahkan, kita bisa membaca ada empat butir utama yang menjadi tema perundingan yang disepakati kedua belah pihak.

Pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).  Kedua, divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia.

Ketiga, PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama 5 tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada Oktober 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.

Keempat, stabilitas penerimaan negara yang secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.

Jelas, saya kira butir pertama tak perlu dibicarakan lagi. Regulasi pertambangan yang baru memang tak mengenal lagi KK. Siapa pun yang mau melakukan operasi pertambangan di Indonesia tak bisa lagi meminta bentuk itu. Saya sempat mendengar ada kemungkinan-kemungkinan untuk kembali ke rezim KK, namun saya sangat lega ketika butir pertama perundingan tidak menoleransi itu. Untuk butir ini, saya sungguh mengapresiasi konsistensi yang ditunjukkan Pemerintah RI.

Hanya saja tampaknya ada banyak yang perlu dibincangkan lebih lanjut terkait dengan tiga butir yang lain, apabila memang Bapak menginginkan manfaat yang lebih besar untuk Indonesia. Saya akan membahasnya satu demi satu.

Pertama soal divestasi itu. Pertanyaannya adalah apakah benar divestasi memang bisa memastikan keuntungan finansial yang lebih besar untuk Indonsia? Hal ini sangat terkait dengan berapa harga yang dibayarkan untuk saham yang diambil alih itu. Dan, walau kebanyakan orang berpikir bahwa semakin murah harga sahamnya, akan semakin menguntungkan Indonesia, tapi ini perlu disikapi dengan ekstra hati-hati.

Regulasi tentang bagaimana harga saham itu ditentukan telah keluar tahun lalu, lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2017.  Sebelum peraturan tersebut, penilaian harga saham dinyatakan didasarkan pada replacement cost atau biaya pengganti, yang artinya adalah biaya investasi yang dikeluarkan sejak tahap eksplorasi sampai dengan tahun kewajiban divestasi saham.

Aturan ini berbeda dengan norma di dunia internasional, yaitu dengan fair market value atau nilai pasar yang wajar, misalnya dalam standar CIMVAL (Canadian Institute of Mining, Metallurgy and Petroleum) yang banyak dirujuk.

Ketika Permen tersebut keluar, banyak pihak yang menarik nafas lega lantaran akhirnya kita mengenal aturan yang disandarkan pada nilai pasar yang wajar.  Hanya saja, ketika dibaca lebih lanjut, ternyata aturan tersebut menyatakan bahwa nilai itu diperoleh tanpa mempertimbangkan nilai cadangan pada saat divestasi jatuh tempo.  Kalau begitu pendefinisian nilainya, maka seluruh penilai saham di dunia akan menyatakan bahwa itu tidaklah wajar, dan sesungguhnya sami mawon dengan aturan sebelumnya.

Apa konsekuensi dari cara berhitung yang demikian? Salah satu lembaga yang paling terkemuka dalam bidang industri ekstraktif, Natural Resource Governance Institute, di awal tahun lalu telah menghitung konsekuensi aturan tersebut untuk investor. Tanpa aturan divestasi dan perhitungan nilai sebagaimana yang dibuat itu, investor bisa mendapatkan imbal hasil 12,5% per tahun dari investasi mereka.

Sementara itu, dengan aturan divestasi dan dengan aturan yang sama dengan biaya pengganti itu, hasil untuk investor adalah 9%.  Yang penting diingat adalah bahwa dengan divestasi ini, investor terbesarnya adalah negara Indonesia, sehingga yang menanggung selisih yang cukup besar itu adalah Indonesia.

Bapak Jokowi yang saya muliakan,

Menurut hemat saya, dokumen bertajuk Developing a Strong Mining Divestment Rule in Indonesia yang ditulis oleh David Manley dan sahabat saya, Emanuel Bria, itu adalah dokumen yang berimbang.  Bapak bisa meminta orang-orang yang Bapak percaya untuk memeriksa laporan tersebut.

Pesan utamanya tegas, yaitu bahwa sektor pertambangan Indonesia tak menjadi menarik di mata investor pertambangan. Dan lantaran dalam beberapa tahun terakhir investasi dari dalam negeri hanyalah sekitar seperempat dari total investasi di Indonesia, aturan tersebut tentu sulit menarik investasi asing yang seharusnya bisa menggairahkan kembali industri pertambangan.

Dokumen itu menyarankan beberapa hal yang menurut saya sangat masuk akal untuk memaksimalkan keuntungan bagi Indonesia.  Mungkin akan menjadi tidak menguntungkan bagi Bapak dan Pemerintah RI secara keseluruhan untuk mencabut kembali aturan divestasi tersebut, tetapi Bapak bisa meminta pihak-pihak yang benar-benar kompeten untuk membuat berbagai skenario peningkatan manfaat pertambangan untuk Indonesia.

Rekomendasi yang lain, seperti pembatasan penggunaan anggaran negara untuk membeli saham, penunjukan pihak ketiga untuk mengelola negosiasi, menegakkan aturan untuk mengungkap pemilik perusahaan yang sebenarnya (beneficial owners), memberikan pilihan divestasi melalui IPO, memanfaatkan standar internasional dalam penentuan nilai saham, serta mengembangkan kebijakan yang mendorong pengelolaan BUMN pertambangan yang baik, sangat masuk akal untuk diterapkan di negeri ini—dan sesungguhnya sudah kerap disampaikan oleh mereka yang peduli pada perkembangan industri ekstraktif yang baik.

Isu berikutnya, yaitu soal keharusan pembuatan smelter, sebetulnya sudah jelas duduk persoalannya. Mengapa di masa lalu perusahaan-perusahaan pertambangan tidak membuat fasilitas smelter? Karena secara pertimbangan bisnis itu tidaklah menguntungkan. Mungkin ini termasuk counter-intuitive, lantaran di banyak sektor, pengolahan lebih lanjutnya memang mendatangkan nilai tambah yang lebih tinggi daripada di hulu.

Bapak bisa meminta data dan analisis soal ini. Kalau saya ungkapkan di atas soal tingkat keuntungan tambang, itu bisa dibandingkan dengan tingkat keuntungan smelter, yang jauh sekali di bawahnya, padahal investasi smelter itu tidak murah. Tentu saja perusahaan pertambangan, apabila dipaksa membuatnya, akan kelimpungan karena membuat profitabilitasnya menyusut.

Saya tidak menentang hilirisasi. Sebaliknya, saya melihat bahwa hilirisasi memang sangat diperlukan. Tetapi, hilirisasi tidaklah sama artinya dengan pewajiban pembuatan smelter. Kalau diperkenankan untuk berempati kepada Freeport, masalahnya bukan saja investasi tersebut sangat sulit dilakukan di Papua, sebagaimana yang didesakkan sebagian pihak selama ini. Energi adalah salah satu isu terbesar di Papua. Jadi, bukan sekadar ratusan hektare tanah saja yang, konon, telah disediakan Pemerintah Provinsi Papua.

Isu berikutnya tentu saja adalah skala. Mengapa Freeport selama ini berusaha menggabungkan smelternya dengan Newmont (kini Amman Mineral), dan sebelumnya juga mengadakan pembicaraan dengan Antam? Karena, bahkan untuk skala pertambangan sebesar Freeport pun skala ekonomi smelternya belum bisa terpenuhi.

Satu lagi yang Freeport perlu pertimbangkan, apakah mereka diperkenankan untuk beroperasi 10 tahun atau 20 tahun lagi. Tentu saja perhitungan ekonominya akan sangat berbeda. Dan saya sungguh tidak yakin kalau mereka hanya diberi waktu 10 tahun, maka investasi di smelter itu bisa mendatangkan keuntungan yang memadai.

Oleh karena itu, Pak Jokowi, banyak pakar pertambangan yang mengingatkan bahwa hilirisasi itu sebetulnya adalah tentang industri hilir apa yang hendak dikembangkan di Indonesia, yang benar-benar bisa menempatkan Indonesia dalam keunggulan kompetitif atau keunggulan kolaboratif.

Kalau telah didefinisikan industri hilirnya, maka bisa dilacak mundur bentuk olahan mineral mana saja yang diperlukan, dan berapa banyak yang harus dipasok oleh pertambangan dalam negeri. Logika ini juga yang dipegang oleh banyak industri, dan menjadi penyebab mengapa smelter itu melekat pada industri hilir, bukan pertambangan.

Izinkan saya kini masuk ke bagian terakhir negosiasi, yaitu tentang bagian pendapatan negara yang lebih besar. Kalau di bagian terdahulu saya mengutip bahwa keuntungan bagi investor sesungguhnya menyusut lantaran aturan divestasi dan tata cara perhitungan nilai saham, Indonesia akan menanggung hal itu. Mengapa? Ya, karena kalau tadinya berposisi sebagai pemberi izin, maka kita sekarang menjadi investor.

Kalau perhitungan persentase keuntungannya menyusut, tentu kita juga yang terkena dampaknya. Demikian juga, sebagai pemegang saham mayoritas Freeport kelak, kitalah yang akan menanggung kinerja keuangan sebagai hasil investasi di smelter. Gabungan kedua hal ini saja jelas membuat kita sangat sulit untuk menggapai pendapatan negara yang lebih besar.

Pak Jokowi yang saya cintai,

Sebagai pengusaha, Bapak pasti tahu bagaimana prinsip berhitung sebagaimana yang saya uraikan itu. Dahulu Indonesia mengeluarkan izin dan mendapatkan berbagai haknya, yang menurut standar internasional tidaklah buruk. Kalau kini Indonesia hendak menjadi investor, dengan gelontoran dana puluhan triliun, sudah seharusnya kita mendapatkan jauh lebih banyak lagi. Tetapi, saya sungguh khawatir itu tak akan terjadi lantaran aturan divestasi dan smelter itu malahan membuat Freeport, dan Indonesia sebagai investor mayoritasnya, akan benar-benar diuntungkan.

Sejumlah pengunjuk rasa melakukan aksi di depan kantor PT Freeport Indonesia di Jakarta, Kamis (29/3). Mereka menuntut penutupan PT Freeport. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras/18

Bapak perlu meminta orang-orang yang Bapak sungguh percayai, dan para pakar ekonomi pertambangan yang memang “merah-putih” untuk memberikan perbandingan itu. Sebaiknya, publik diberi tahu secara transparan apa konsekuensi dari masing-masing pilihan itu.

Orang-orang yang Bapak percayai itu perlu juga memeriksa potensi kerugian lainnya, yang akan membuat keuntungan Indonesia mungkin bakal menyusut. Di seluruh dunia, upaya-upaya untuk membeli harga saham pertambangan dengan murah telah menimbulkan kasus-kasus korupsi. Kalau kita sudah lihat ada kasus Papa Minta Saham yang pelakunya kini sedang berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus korupsi, maka tampaknya kita perlu mewaspadai adanya upaya yang sama, mengingat besaran anggaran yang terlibat.

KPK sungguh perlu ada di dalam negosiasi ini, terutama untuk mengawasi jalannya pembelian saham dari awal hingga akhir. Dan ini belum tampak ke publik juga. Padahal, KPK adalah lembaga yang bukan saja dipercayai, melainkan juga dicintai oleh publik. Tak masuk akal rasanya transaksi sebesar ini, dengan peluang korupsi, tidak melibatkan mereka.

Potensi lainnya yang juga nyata bisa mengurangi keuntungan bagi Indonesia adalah sumber modal untuk pembelian saham. Saya ingat, dahulu begitu diumumkan soal pembelian saham ini, BCA tampil ke depan menyatakan kesiapan mereka mendukung pemerintah. Kini tampak Deutsche Bank yang dominan di posisi itu. Ini sebetulnya membingungkan publik, Pak Jokowi.  Apakah Indonesia mau berhutang kepada swasta asing untuk membeli saham tersebut?

Kalau memang betul itu yang terjadi, sebaiknya transparan pula berapa keuntungan yang bakal dinikmati bangsa Indonesia dan berapa yang untuk pemberi pinjamannya.

Pak Jokowi yang saya andalkan,

Saya hendak mengakhiri surat ini pertama dengan menyatakan bahwa sudah seharusnya Bapak bisa menunda pengambilan keputusan hingga seluruh perhitungan matang, dan dipahami oleh publik. Bagaimanapun, hingga sekarang publik mendukung keputusan pembelian saham Freeport terutama hanya disandarkan pada sentimen nasionalisme sumber daya. Publik tidak berhitung secara cermat sekarang, namun kalau di kemudian hari keputusan terburu-buru ini terbukti merugikan negara, nama baik Bapak bisa tercoreng.

Izinkan saya juga untuk menambahkan alasan terpenting yang bisa saya ajukan untuk menunda keputusan ini, yaitu bahwa empat butir perundingan itu sesungguhnya tidak memadai. Ke mana perhitungan sosial dan lingkungan di dalam perundingan ini? Saya kira, sangat jauh dari harapan bangsa Indonesia bila kepentingan daerah hanya diwakili dengan kepemilikan saham 10% yang telah disetujui.

Lewat mekanisme apa saham tersebut dibiayai? Bagaimana nasib masyarakat adat? Bagaimana dengan kelanjutan ketenagakerjaan lokal yang selama ini bekerja untuk Freeport? Bagaimana dengan kelanjutan program pengembangan masyarakat yang setiap tahun menggelontorkan lebih dari Rp 1 triliun itu.

Kalau mengikuti aturan yang diberlakukan di BUMN, maka untuk bisa mengucurkan dana Rp 1 triliun saja, maka minimal keuntungan Freeport haruslah mencapai minimal Rp 25 triliun per tahun.

Bapak bisa menanyakan soal aturan itu ke Menteri BUMN, tentu saja, dan ketika Bapak sudah mengetahui kebenarannya, Bapak bisa bertanya: apakah ini benar bisa dicapai?

Soal lingkungan juga absen dari meja perundingan. Ini tak masuk akal buat saya, lantaran selama ini tuduhan terkait kinerja lingkungan untuk Freeport tidaklah sedikit. Apakah masuk akal untuk mengabaikan ini di dalam perundingan?

Terakhir kali, kita mendapatkan hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa negara merugi Rp 185 triliun akibat kerusakan ekosistem hanya dari pembuangan limbah pasir sisa pertambangan (tailing).  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri sudah mengeluarkan ancaman untuk menyeret Freeport ke meja hijau.

Kalau kita anggap angka kerugian itu benar, apakah masuk akal membeli separuh perusahaan itu dengan nilai yang kini terus dinyatakan sekitar Rp 45 triliun? Kalau kita abaikan angka-angka itu, apa yang bakal dilakukan untuk memastikan kinerja lingkungan Freeport membaik? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk itu? Seberapa besar pengaruhnya pada profitabilitas Freeport yang bakal berpengaruh pada nilai yang diterima oleh pemerintah?

Pak Jokowi, terlampau banyak hal yang sesungguhnya jelas berpotensi merugikan Indonesia dalam pembelian saham Freeport.  Banyak hal yang juga belum jelas dalam urusan ini. Saya sungguh percaya bahwa Bapak tak akan mengambil keputusan terburu-buru sekadar untuk popularitas.

Kolom terkait:

Benang Kusut Freeport

Ada Apa dengan Medco Mencaplok Newmont?

Beranikah Presiden Jokowi Melawan Freeport?

Jokowi, Bebek Lumpuh, dan Freeport

Papua Bukan Cuma Freeport

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.