Pemerintah betul-betul gamang menghadapi kehadiran layanan angkutan umum, khususnya roda empat, yang dalam mencari penumpang menggunakan aplikasi teknologi atau yang dikenal dengan sebutan taxi online. Kegamangan pemerintah itu terlihat dari maju mundurnya sikap pemerintah mengatur taxi online.
Baru kali ini terjadi pemerintah amat lemah sehingga suatu Peraturan Menteri (PM) tentang angkutan umum tidak dalam trayek direvisi sampai tiga kali.
Pada awalnya kehadiran taxi online, seperti angkutan omprengan atau taxi gelap, sama-sama ilegal karena mengangkut penumpang tanpa memiliki izin penyelenggara angkutan umum. Yang membedakan dengan taxi gelap adalah, dalam mencari penumpang yang menggunakan aplikasi teknologi, kendaraan datang ke tempat pemesan, dan tarifnya lebih murah. Namun, secara hukum mereka sama-sama ilegal, sehingga bila taxi gelap dirazia, taxi online semestinya juga dirasia.
Karena mudah didapat dan tarifnya lebih murah, maka taxi online mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat, terutama kelas menengah terdidik. Sebaliknya, taxi gelap/omprengan mendapatkan cibiran.
Kata kunci yang diberikan oleh taxi online ini adalah “murah” dan “mudah”, bukan pada legal-ilegal. Ilegal, asalkan murah dan mudah, masyarakat mendukungnya. Sebaliknya, meski legal kalau mahal dan susah mendapatkannya, masyarakat tidak akan mendukungnya. Inilah jalan berfikir masyarakat yang pragmatis bahwa yang mereka butuhkan itu bukan legalitas, tapi kemudahan dan kemurahan, dan itu yang ditawarkan taxi online.
Payung Hukum
Menghadapi pertumbuhan angkutan online (AO), khususnya roda empat yang begitu pesat, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (PM No. 32/2016).
PM ini diharapkan menjadi payung hukum yang sah bagi keberadaan taxi online, sehingga menjadi angkutan yang legal. Namun, sebelum PM No. 32/2016 diimplementasikan per 1 Oktober 2016 telah direvisi untuk mengakomodasi desakan para driver online yang meminta kendaraan dengan mesin 1.000 CC dapat digunakan sebagai taxi online.
Dalam PM No. 32/2016 itu diatur, kendaraan yang digunakan untuk taxi online minimum 1.300 CC. Berdasarkan masukan dari para driver online pula, pengaturan tarif bawah dan atas dimasukkan. Hasil revisi itu menjadi PM No. 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, yang seharusnya mulai berlaku penuh per 1 Juli 2017.
Namun, melalui Putusan Nomor 37 P/HUM/2017, Mahkamah Agung (MA) membatalkan 14 pasal dan 18 poin yang diatur dalam PM No. 26/2017. Beberapa isu krusial dalam Putusan MA tersebut antara lain menyangkut masalah tarif berdasarkan argometer, penentuan tarif batas atas dan bawah, STNK atas nama badan hukum, Uji KIR, pelayanan dari pintu ke pintu di kawasan perkotaan, kuota, serta keharusan pengemudi memiliki SIM A Umum.
Dengan adanya Putusan MA tersebut, PM No. 26/2017 pun kemudian direvisi menjadi PM No. 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. PM No. 108/2018 ini mulai berlaku per 1 November 2017 dengan masa tenggang tiga bulan. Dengan begitu, per 1 Februari 2018 semestinya sudah dilakukan penindakan terhadap taxi online yang tidak sesuai dengan PM No. 108/2017.
Namun, lagi-lagi ada penolakan dari para driver online dan akhirnya pemerintah mundur lagi dengan akan merevisi PM 108/2017 tersebut.
Terlalu Dimanjakan
Sepanjang sejarah RI, barangkali baru terjadi kali ini saja Peraturan Menteri (maupun peraturan perundangan lainnya) yang mengalami revisi sampai tiga kali sebelum dilaksanakan, dan semua revisi terjadi atas desakan para driver online. Kita patut kagum pada kesaktian para driver online dalam mendesakkan kemauannya sehingga pemerintah pun tunduk, bertekuk lutut kepada kehendak mereka.
Betapa luhur pula sikap pemerintah andaikan semua tuntutan warga dapat diakomodasi seperti tuntutan para driver online ini, tapi sekaligus juga tidak akan pernah bergerak maju. Mengapa? Karena seluruh energi birokrasi institusi yang bersangkutan hanya akan mengurusi satu masalah saja: taxi online!
Tentu saja revisi peraturan menteri sampai tiga kali sebelum dilaksanakan itu menjadi preseden buruk bagi tata pemerintahan ke depan. Sebab, masyarakat lain yang ingin mendesakkan kehendaknya dapat meniru cara-cara yang dipakai oleh para driver online ini. Dan pemerintah tentu akan dinilai pilih kasih bila kehendak kelompok driver online selalu dituruti, sedangkan tuntutan kelompok lain tidak diakomodasi.
Masukan-masukan panjang sudah saya sampaikan kepada para pengambil kebijakan agar tidak melangkah mundur dengan menunda implementasi PM No. 108/2017 ini, tapi ternyata tekanan driver online jauh lebih sakti.
Inilah beberapa akar masalah dari penolakan terhadap Peraturan Menteri Perhubungan, khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang taxi online. Pertama, karena tuntutan para driver online itu selalu dituruti sehingga mereka ngelunjak. Pemerintah terlalu memanjakan driver online.
Kedua, lemahnya koordinasi antar Kementerian/Lembaga (K/L) sehingga yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Yang mengeluarkan izin aplikasi adalah Kementerian Kominfo, tapi saat mengeluarkan izin Kominfo tidak koordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan Polri.
Padahal, dua institusi tersebut yang akan mendapatkan tanggung jawab terhadap operasionalisasi angkutan berbasis aplikasi. Dan betul, yang terjadi belakangan adalah Kemenhub seakan harus memikul beban tanggung jawab sendiri, padahal kendali tutup/buka aplikasi ada pada Kominfo.
Para driver online mengetahui kelemahan koordinasi antar K/L ini, sehingga mereka manfaatkan untuk melakukan tekanan kepada pemerintah agar tunduk pada tuntutan mereka. Kalkulasi mereka benar terbukti dengan adanya pernyataan resmi dari Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko bahwa PM No.108/2017 dibekukan untuk sementara.
Keputusan pemerintah menunda implementasi PM No. 108/2017 tersebut bukan akhir dari persoalan, tapi justru awal persoalan. Pertama, dengan dibekukannya PM No. 108/2017 berarti taxi online itu tidak memiliki payung hukum lagi alias ilegal. Bila taxi gelap dirazia, maka taxi online seestinya juga dirazia karena sama-sama ilegal. Jadi, Jika pemerintah secara sadar membiarkan taxi online yang ilegal beroperasi, maka pemerintah melanggar UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU LLAJ).
Kedua, para driver online ini akan terus memaksakan kehendak mereka agar revisi PM No. 108/2017 sesuai dengan seluruh keinginan mereka. Ini tentu menimbulkan kecemburuan kepada driver angkutan umum resmi yang selama ini harus taat pada aturan. Sama-sama mencari nafkah dengan menjalankan fungsi angkutan umum, tapi yang satu diatur secara ketat, sedangkan yang satunya lagi dibebaskan begitu saja.
Tentu ini tidak adil. Padahal, yang plat kuning itu justru membayar berbagai jenis pajak.
Ketiga, pemerintah akan kehilangan sumber pendapatan pajak dari sektor transportasi yang sebelum ada angkutan online dulu diperkirakan mencapai lima triliun rupiah lebih.
Keempat, pemerintah tidak memiliki wibawa sama sekali karena selalu tunduk pada kekuatan kapital, karena di balik aksi-aksi driver online itu adalah kekuatan capital. Oleh karena itu, demi menjaga kewibawaan pemerintah sendiri, pemerintah perlu tegas dalam menjalankan aturan dan tidak boleh diskriminatif.
PM No. 108/2017 itu mengatur seluruh layanan angkutan umum tidak dalam trayek, bukan hanya mengatur soal taxi online saja, tapi mengapa pemerintah hanya merespons tuntutan driver online?
Kolom terkait:
Ketika Regulator Galau Mengatur Angkutan Online
Melawan Adiksi Ojek dan Taksi Online
Putusan MA, Sepeda Motor, dan Keruwetan Transportasi Jakarta