Tulisan ini tidak ada kaitan dengan isu impor beras yang sedang hangat baru-baru ini. Tulisan ini adalah kisah perjuangan salah seorang penerima MAARIF Award 2014.
MAARIF Award adalah penghargaan dari MAARIF Institute–lembaga yang didirikan Buya Syafii Maarif--diberikan kepada sosok kepemimpinan lokal berbasis komunitas yang melakukan kerja kemanusiaan dalam keberagaman.
Kebetulan dan keberuntungan, sebelum sosok ini menerima penghargaan, saya bersama seorang kawan bernama Afrizal Harun diberi kesempatan untuk menelusuri karya dan kerja kemanusiaan yang dilakukan penerima MAARIF Award ini. Barangkali bisa disebut semacam verifikasi faktual terhadap nominasi MAARIF Award.
Ketika membaca judul tulisan ini, mungkin ada yang bertanya-tanya, di mana letak hubungan antara dunia pertanian dan pesan kemanusiaan. Begini. Namanya Masril Koto. Pendidikannya hanya sampai sekolah dasar. Orangnya biasa-biasa saja, tapi memiliki karya kemanusiaan yang tak biasa. Berikut kisahnya.
Alkisah, wilayah Baso, Agam, terkenal dengan sentra pisang yang terbesar di Sumatera Barat. Suatu waktu, tanaman pisang di daerah Baso diserang penyakit Layu Fusarium (penyakit paling berbahaya yang menyerang tanaman pisang).
Masyarakat Kampung Baso yang hidupnya tergantung dengan pisang mengalami kesulitan dan kebingungan mau menanam apa. Pasalnya, semua tanaman pisang kena penyakit. Karena itu, Masril ingin mengenalkan yang baru. Mulailah ia mencoba menanam jahe dan ubi jalar.
Kemudian Masril mengorganisir petani di lingkungannya, tapi ia gagal. Soalnya, ia hanya mengorganisir keluarga di lingkungannya saja. Nah, karena ia sudah aktif dengan kelompok petani-petani di kampung istrinya, Masril kemudian mengikuti sekolah lapang yang dilatih oleh Ir. Djoni (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar).
Sekolah lapang itu adalah sekolah bagaimana cara menanam ubi jalar dengan baik. Dari situlah ia mulai berkenalan dengan kelompok petani dari daerah lain. Masril juga aktif diskusi dan melakukan dialog dengan kelompok petani tersebut.
Dari diskusi-diskusi dengan kelompok-kelompok petani itu, terbukalah apa yang sebenarnya masalah yang dialami petani. Ya, masalahnya adalah modal. Untuk mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dibuat pemerintah, tak semudah seperti yang dikampanyekan. Tetap saja para petani dan masyarakat mesti menyediakan agunan dan lain-lainnya.
Bank Petani
Singkat kisah, tercetuslah gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga keuangan untuk petani. Untuk mendirikan lembaga keuangan petani atau bank petani banyak proses pembelajaran yang Masril Koto lalui. Bank petani yang pertama ia dirikan bersama beberapa orang temannya, terletak di Nagari Koto Tinggi, Sumbar. Bank Petani itu mengalami perkembangan cukup baik dan berdampak cukup signifikan terhadap petani.
Saat itu, Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu, Anton Apriantono, pernah berkunjung melihat bank petani. Termasuk ekonom Faisal Basri juga pernah berkunjung. Anton Apriantono pernah mengatakan kepadannya: “Masril, boleh tidak kita adopsi ini untuk seluruh Indonesia?” tanya Pak Menteri. “Boleh Pak, boleh saja, tapi bapak perbaiki dulu ini, dibaguskan yang ini dulu” jawab Masril.
Maka, diadopsilah lembaga keuangan itu sehingga lahir program pemerintah yang namanya PUAP (Pengembangan Usaha Agrisbisnis Pedesaan). Masril Koto juga pernah diminta untuk membantu proyek irigasi di Damasraya, Sumbar, untuk membangun lembaga keuangan di sana. Ia hilir-mudik bergerak dan mengembangkan lembaga keuangan di sana, sembari mengurus organisasinya.
Sekitar tahun 2009, Masril keluar dari lembaga keuangan yang ia bentuk pertama kali bersama teman-temannya itu. Masril mendirikan dan mengembangkan sendiri bank petani. Masril berkeliling hampir di seluruh daerah Sumbar. Tak hanya di Sumbar, ia juga mengembangkan lembaga keuangan di beberapa daerah.
Setiap ada pertemuan kelompok petani ia datang, atau ia mencari sendiri kelompok petani. Dari pengalamannya, masalah yang dihadapi petani bukan hanya masalah modal. Banyak juga yang menanyakan tentang pupuk. Karena para petani kesulitan mendapatkan pupuk. Lalu Masril mengembangkan pupuk organik. Bagi Masril, kalau petani sudah bisa membuat ramuan dan membuat pupuk dan meracik sendiri, uangnya dapat mereka tabung di bank petani.
Masril mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Banyak lembaga keuangan yang ia dorong untuk berdiri. Masril Koto berperan besar dalam mendorong kelompok-kelompok petani membuat lembaga keuangan. Termasuk juga merancang jenis-jenis tabungan. Lembaga yang ia bangun hampir sama dengan bank. Modalnya dari hasil penjualan saham. Lembaga keuangan ini menerbitkan saham, sahamnya dijual ke masyarakat petani atau komunitas-komunitas di sekitarnya.
Macam-macam jenis tabungan yang pernah dirancang oleh Masril. Karena di sana angka kematian ibu tinggi, ia bikin tabungan ibu hamil, dan ada juga tabungan pendidikan untuk anak sekolah dasar. Semua jenis tabungan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Semua itu ia bangun bersama kelompok-kelompok petani.
Tugas Masril adalah mengorganisir dan memotivasi para petani bagaimana sampai mendirikan lembaga keuangan petani (bank petani). Di Sumbar, sekitar 300 lembaga keuangan yang telah berdiri; Solok, Damasraya, Payakumbuh, dan Pasaman. Namun, sebanyak yang ia bangun, ada juga yang gagal. Soalnya, menurut Masril, para petani itu berdinamika. Masalah dan kasus yang ia temui hampir sama yang terjadi dengan kelompok petani yang lain.
Namun, Masril tak patah semangat. Singkat cerita, metodenya ia ganti. Caranya, yang tua-tua cukup menjadi komisaris atau pemegang saham. Pengelola teknis keuangan anak-anak muda (pemuda kampung) yang masih bersih. Kata Masril, biarlah yang di atas “berantem” tapi yang di bawahnya berjalan dengan baik. Alhasil, makin berkembanglah bank petani itu.
Menurut Masril, selama ini bank-bank yang ada tidak mengakomodir masyarakat yang kecil-kecil (para petani) untuk menabung. Kalau menabung seratus-dua ratus ribu di bank, sama saja menitipkan padi ke tikus. Kita menabung di bank biasa, setelah itu, dua bulan kita lihat uang kita “habis”. (Bersambung)
Kolom terkait: