Negeri ini sedang dilanda gonjang-ganjing kasus impor beras. Sejarah mencatat, makanan pokok tersebut acap menjadi buah bibir dan bahan ontran-ontran. Mulai dari gagal panen, impor beras, hingga perkara ambruknya ketahanan pangan masyarakat akibat digulung krisis ekonomi. Demikian pula dulu di Kota Solo, kampung Presiden Joko Widodo.
Semula Solo dicandra “surganya Hindia Belanda” oleh para toewan kulit putih tiba-tiba mencekam. Kondisi kota tak aman dan masyarakat limbung. Warga sulit memperoleh barang kebutuhan sehari-hari, sebab tidak tersedia di warung. Banyak perusahaan kukut dan institusi keraton pailit. Imbasnya, pengangguran di Solo membludak.
Pada Oktober 1944, krisis ekonomi kian menendang masyarakat. Larang pangan terjadi di berbagai daerah, hingga banyak yang mati kelaparan. Beras, jagung, gaplek, dan kacang hijau lenyap dari pasaran. Diduga musababnya ialah kemarau panjang mengakibatkan gagal panen.
Sapi dan kerbau yang dipakai membajak sawah menyusut. Hewan ternak ini pada periode Jepang bersalin fungsi. Digunakan menarik gerobak, meski itu sapi betina, lantaran kekurangan alat transportasi. Di samping itu, rajakaya ini dipotong demi memenuhi konsumsi mereka. Gampang ditebak, perkembangbiakan hewan macet.
Guna mengatasi krisis ini, Jepang mempropagandakan cara pengolahan makanan. Teladannya, rakyat diajari tidak lagi memakai rempah-rempah dan minyak terlalu banyak. Mereka dipandu bikin acar, menumis, dan merebus sayuran. Dengan cara demikian, mereka irit minyak.
Lebih koyol lagi, menurut Nawiyanto (2005), Jepang mendorong rakyat melakukan diversifikasi bahan makanan yang belum pernah dicicipi manusia. Saya deretkan: bekicot, gana, kalong, laron, pakis, bagedor, bajing, anak kumbang gajah, jangkrik, uwi, ontong, ampas teh, godong mete, elo, buah beringin, biji nangka, rebung, biji mangga, biji rambutan, ganyong, glagah, kenikir, putat, ketepeng, cikaran kapas.
Kian tahun hasil tanaman pangan melorot dengan penyebab musim tanam jeblok dan represi dari Jepang. Pemuda desa sehari-hari bekerja di sawah lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari sergapan Jepang yang berburu tenaga romusa hingga ke desa. Sawah-kebun pun terbengkalai, alih-alih dibudidayakan.
Di samping kelaparan, penduduk dilanda diare, thypus, kolera, dan busung lapar. Nyawa tak terselamatkan, penyakit kadung menyerang bertubi-tubi tanpa ada penanganan. Keadaan ini memilukan karena pedesaan di sekitar Solo sebagai penyangga bahan pangan turut terkena bebendu (bencana).
Wertheim (1999) menyebut penurunan produksi bahan pangan lantaran sejumlah faktor yang saling bertemali. Sebagai contoh, tiadanya pemeliharaan jaringan irigasi, absennya pemberantasan tikus dan gulma, ternak pembajak lahan susut gara-gara diambil Jepang untuk memenuhi kebutuhan daging, juga bencana alam berupa kemarau panjang bikin kekeringan dan kesulitan irigasi.
Jepang mendirikan SKZ (Shokuryo Kanri Zimusyo), suatu badan yang disampiri tugas mengelola urusan pangan di bawah pengawasan Departemen Ekonomi Gunseikan. SKZ bertanggungjawab terhadap proses pembelian dan penyaluran padi di bawah monopoli negara. Juga menentukan harga dan jumlah padi yang hendak dibeli Jepang.
Pada September 1943 SKZ bersalin nama menjadi Juyo Bushi Kodan. Tugasnya diperluas mengurusi seluruh komoditas bahan pangan. Lewat mulut badan ini, Jepang melarang pengusaha penggilingan padi dan pedagang bertransaksi jual-beli padi tanpa mengantongi izin dari pemerintah. Penggilingan padi bisa diniagakan jika ia wakil badan Jepang dan cuma memperoleh upah penggilingan.
Di Solo, Jepang membentuk badan pembagian dan pembelian beras: “Surakarta Beikoku Orosi Oeri Kumiai”. Strukturnya lengkap, yakni Seimaigyoo (penggilingan beras yang membeli bahan pangan di pedesaan), Mitsui (penggilingan beras yang membeli bahan pangan lainnya di pedesaan), Zyuuyo Bussi Kodan (badan setengah resmi mengawasi pembelian dan pembagian), Beikoku Orosi Uri Kumiai (badan yang membeli beras dari penggilingan dan membaginya ke warung-warung), Beikoku Kodan Kumiai (badan pengawas warung penjualan bahan pangan) [Laksmini, 1992].
Tidak cuma bahan pangan anyar yang coba digali, Jepang menginstruksikan organisasi wanita menciptakan aneka resep makanan baru lewat aksi demonstrasi masak. Menu baru yang disarankan memanfaatkan bahan nonberas seperti jagung, singkong, kedele, dan palawija. Dari kegiatan ini mencuat menu baru, antara lain “Roti Asia” yang dibikin dari gula merah dan bekatul, “Bubur Perjuangan” dari ubi jalar, singkong dan bekatul. Menu anyar lainnya ialah “Bubur Asia Raya”.
Sebelum tentara Jepang menginjakkan kaki di Indonesia, cerita larang pangan pernah mengguncang ketenangan Pulau Jawa. Saya sorongkan fakta petaka larang pangan yang kali pertama menjadi korbannya adalah kaum perempuan yang kulino sobo pawon.
Juru warta koran Djawi Hisworo edisi 25 September 1918 mengabarkan kondisi menyedihkan itu. Berikut ini kutipannya: “Beberapa minggu yang lalu di setiap harinya hingga kini, selalu terdengar teriakan perempuan-perempuan kampung dari golongan bawah (miskin), dikarenakan harga beras eceran di warung atau di pasar semakin mahal harganya, sehingga beras yang sebelumnya hanya berharga 10-12 sen, sekarang mencapai harga 18-20 sen. Melihat keadaan sekarang ini, nyatalah sudah bahwa aturan negara yang menentukan harga beras yang terjual tiap hari, sekarang menjadi sia-sia” (EYD sudah saya sesuaikan).
Ya, beras kadung berkarib dengan perut kita. Maka, siapa pun penguasanya sukar bisa cuek dengan komoditas ini selama makanan pokok masyarakat kita butiran beras. Terlebih lagi, beras telanjur dipandang mempunyai citra sosial tinggi dan merepresentasikan identitas bangsa, sementara itu bahan pangan nonberas seperti jagung atau sagu dipandang identik dengan kemiskinan. Serba repot!
Kolom terkait:
Beras Maknyuss dan Maknyusnya Nasi dalam Kosmologi Jawa