Jumat, Maret 29, 2024

Mengapa Tiket Konser Celine Dion Laris Manis?

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Saat tiket konser Celine Dion dibuka secara online tempo hari, tidak sedikit warganet terheran dan kaget mengapa bisa konser tiket tersebut begitu mahal. Untuk tiket termurah, yaitu Green, seharga Rp 1.500.000, dan Bronze seharga Rp 2.750.000. Untuk tiket kelas menengah masuk dalam Ruby seharga Rp 6.500.000 dan Gold Rp 4.750.000. Kelas atas adalah Saaphire dan Emerald dengan harga Rp 10.000.000 dan Rp 12.500.00.

Sementara itu, untuk tiket Diamond, di mana harganya tidak disebutkan di sana melainkan harus melalui reservasi terlebih dahulu, beredar di media online seharga Rp 25 juta. Semua harga itu belum dihitung pajak tiket seharga 15% dan administrasi Rp 25.000. Tentu saja harga tiket ini belum masuk dalam percaloan. Jika tiketnya sudah habis, orang akan mencarinya melalui jasa calo ini. Harganya tentu akan jauh lebih mahal. Meski mahal, tiket itu ternyata laris manis seperti membeli kacang goreng.

Jika diamati, adanya kelas Diamond itu bukan hanya tertinggi di Asia Tenggara, melainkan juga dunia. Di sini, harga tiket Celie Dion di Las Vegas, Amerika Serikat, bisa jadi bahan perbandingan. Dengan menggunakan situs jual tiket seperti www.vividseats.com, kita dapat melihat bahwa harga tiket tertinggi mencapai US$1.180, berada di area terdepan berhadapan langsung dengan panggung konser.

Sementara itu, harga terendah konser tersebut adalah US$102. Di Manila, dengan merujuk situs smtickets.com, tiket konser itu dihargai paling rendah adalah 2.640 Peso (sekitar US$52) dan tertinggi berada persis di depan panggung konser dengan harga 35.380 Peso (sekitar US$697). Untuk Singapura sendiri belum membuka harga secara online untuk tiket konser tersebut.

Laris manis harga tiket Celine Dion dengan angka tertinggi ini memunculkan pertanyaan saya di tengah asumsi melemahnya perekonomian Indonesia. Sebelumnya, banyak pengamat perekonomian kita melihat bahwa perekonomian kita melambat. Hal ini tercermin dari daya beli masyarakat yang menurun.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2017 tumbuh 4,95 persen, lebih lambat dibandingkan triwulan II 2016 yang tumbuh 5,02 persen. Pelambatan pertumbuhan konsumsi tersebut terjadi pada semua komponen, dengan penurunan yang cukup signifikan terjadi pada komponen nonmakanan dan minuman. Pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman melambat dari 5,26 persen pada triwulan II 2016 menjadi 5,24 persen pada triwulan II 2017, sementara komponen nonmakanan dan minuman turun dari 4,96 persen menjadi 4,77 persen (Fajar Marta, 2017).

Dengan membandingkan dua data di atas, jika daya beli kita menurun, mengapa konser musik dengan harga fantastis itu laris manis? Bertolak dari penjelasan di atas, menggali argumen apa yang bisa menjelaskan sehingga promotor konser Celine Dion ini memiliki keberanian mematok harga kelas Diamond di Indonesia yang begitu tinggi apabila dibandingkan dengan negara Amerika Serikat, yang dari segi pendapatan ekonomi jauh lebih baik ketimbang Indonesia menjadi penting.

Untuk level Asia Tenggara saja, harga tiket tertinggi di Indonesia tiga kali lipat dibandingkan dengan Filipina. Di sini, ada dua alasan yang dikemukakan oleh pihak promotor PK Entertainment ini. Pertama, ongkos produksi untuk mendatangkan Celine Dion yang tidak sedikit.

Kedua, terbatasnya tempat duduk di Sentul International Convention Center, yang menjadi tempat Celine tampil (Kompas.com, 18 Januari 2018). Penjelasan ini memang cukup masuk akal, meskipun tidak mampu untuk menjelaskan lebih detail. Jika dilihat tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya harga tiket konser musik yang mendatangkan musisi dan artis papan atas internasional memang sudah mencetak rekor sendiri.

Konser Andrea Bocelli pada 15 Mei 2011, misalnya, mencapai Rp 25 juta, sudah termasuk pajak dan reservasi administrasi. Sementara itu, setahun sebelumnya (2010), tiket konser David Foster dengan harga tertinggi juga mencapai Rp 25 juta, sudah termasuk pajak dan reservasi administrasi yang terjual habis (www.cnnindonesia.com, 19 Januari 2018).

Melihat konteks ini, meningkatnya daya konsumsi masyarakat Indonesia menonton konser musik menjadi surga tersendiri, baik bagi industri konser dunia maupun penyelenggara. Karena itu, adanya konser-konser musik dunia yang diselenggarakan di Singapura seringkali lebih banyak menyedot penonton dari Indonesia. Begitu tingginya animo masyarakat Indonesia, waktu Konser David Foster di Jakarta tahun 2010, di tengah menyanyi, ia menyapa becanda dengan maksud menyindir kepada penonton yang berada di bagian depan, “Hello rich people.” (www.hot.detik.com, 28 Oktober 2010).

Bagi saya, pihak promotor sudah membaca pasar Indonesia dengan cukup baik. Meskipun dipatok tiket jenis Diamond plus pajak 15% tetap saja tiket konser tersebut laris terjual. Karena itu, penting untuk melihat dua kategori analisis untuk menjelaskan hal itu. Pertama, politik ekonomi. Dalam konteks ini, laporan Bank Dunia pada tahun 2015 bisa menjadi rujukan, di mana 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 77% kekayaan nasional.

Lebih jauh, dari jumlah tersebut, 3.8% kekayaan yang dimilikinya itu diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa. Dalam indeks laporan tersebut juga menyebutkan ada 10 bisnis yang dijalankan dengan mudah untuk mengakumulasi kapital ekonomi yang dimilikinya dengan mudah, seperti kasino (perjudian), sumber daya alam, minyak dan gas bumi, perbankan (deposito dan invesitasi bank), infrastruktur, bandara, hingga alat-alat berat dan telekomunikasi.

Dalam indeks tersebut, Indonesia menempati ranking nomor 7, di mana secara berurutan pertama ditempati oleh Rusia, disusul kemudian Malaysia, Filipina, Ukhraina, dan Singapura (www.theeconomist.com, 5 Mei 2016). Kelompok inilah yang dalam istilah bahasa Inggris sebagai Live Beyond Our Minds (orang-orang yang hidupnya melampaui dari apa yang kita pikirkan), yang mampu untuk membeli tiket sebesar itu.  

Kedua, tumbuhnya kelas menengah. Pada tahun 2017, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves menjelaskan bahwa sebanyak 52 juta orang Indonesia telah masuk dalam kelas menengah. Kelas menengah ini memberikan kontribusi sebesar 43 persen dari keseluruhan total konsumsi rumah tangga (www.antaranews.com, 4 Desember 2017).

Jika melihat warna tiket yang ditawarkan oleh pihak promotor, dua kelas itu yang ditawarkan oleh pihak penyelenggara. Di sini, instrumen ketiga untuk mengatasi jurang psikologis rasa mahal tersebut perlu dilihat untuk kelas menengah. Bank Mandiri merupakan salah satu sponsor dalam penjualan tiket konser tersebut. Bagi nasabah Bank Mandiri yang memiliki kartu kredit, orang bisa membeli tiket konser tersebut melalui kartu tersebut dengan mekanisme yang diatur.

Selain mendapatkan program spesial berupa cicilan 0%3 bulan + special gift setiap pembelian tiket dengan Mandiri kartu kredit di www.celinedionjkt.com, pemegang kartu kredit bisa membelinya dengan cicilan tanpa minimum transaksi. Pemegang kartu kredit ini berlaku untuk semua kartu. Di sini, nasabah juga akan mendapatkan pemberian spesial senilai Rp 1.250.000, tentu saja jumlah itu terbatas (www.mandirikartukredit.com/celinedion, 2018).

Dengan kata lain, meskipun tidak bisa membeli tiket kelas Diamond, kelas menengah Indonesia bisa membeli tiket konser tersebut dengan harga di bawahnya. Cicilan tanpa bunga, yang dibayarkan selama 3 bulan ini juga, dengan kalkulasi ekonomi yang dimiliki, tampak tidak terlalu memberatkan. Apalagi, kita tahu, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, memiliki sebuah kartu kredit itu jauh lebih mudah.

Di sisi lain, kondisi ini diperkuat dengan adanya irisan yang saling menguatkan. Selain adanya kebanggaan, momentum sejarah, di mana Celine Dion belum tentu akan membuat konser kembali di Indonesia di tengah usianya yang tidak lagi muda, sosok Celine Dion sendiri sebagai penyanyi asal Kanada papan atas dengan lagu-lagunya yang hits merupakan alasan yang perlu dilihat mengapa orang akan menonton konser tersebut. Meskipun harus diakui, adanya tekanan internal (internal pressure) dari kelompok sebaya kelas menengah ini bergaul merupakan faktor yang tidak boleh dikesampingkan.

Dengan demikian, untuk menutup pemaparan ini ada satu pertanyaan yang bisa saya ajukan, saat perekonomian Indonesia dianggap melemah dan makin banyaknya orang miskin di Indonesia yang mengakibatkan ketimpangan, kita bisa mengajukan gugatan, sebenarnya warga Indonesia yang mana yang sedang dimaksud dan diperbincangkan?

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.