Beberapa lembaga internasional telah mengeluarkan laporan revisi pertumbuhan ekonomi tahun 2017. Asian Development Bank (ADB) mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5.1 persen, sedangkan International Monetary Fund (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5.2 persen. Menariknya, revisi pertumbuhan ekonomi ini dikaitkan dengan isu konsumsi masyarakat yang bergulir beberapa bulan terakhir.
Menurut revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi ADB (2017), setengah tahun ini, konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi ada di tingkat 4.9 persen. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2016.
Tanda-tanda pelemahan konsumsi sudah terasa sejak tahun 2016 lalu, karena pada masa lebaran tahun 2016 tingkat inflasi turun dibandingkan tahun 2015. Bahkan, tingkat inflasi lebaran tahun 2017, hanya berada di kisaran 3.8 persen. Jika dibandingkan tingkat inflasi lebaran tahun 2016 sebesar 3.2 persen, maka inflasi tidak berbeda jauh. Beberapa ekonom menyebutkan, tingkat inflasi yang rendah menunjukkan melemahnya daya beli dari masyarakat
Dalam menganalis rendahnya daya beli masyarakat, terdapat dua faktor yang harus dipertimbangkan: pola pengeluaran-konsumsi masyarakat Indonesia dan kontribusi pengeluaran dari masing-masing kelas pendapatan. Dalam hal ini, analisis data mikro dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang perubahan yang terjadi.
Faktor pertama yaitu pola pengeluaran masyarakat. Secara umum, pola pengeluaran per kapita masyarakat di desa dan kota berbanding terbalik. Data dari Badan Pusat Statistik (2016), di perkotaan, pengeluaran non-makanan menyumbang hampir 55.4 persen total pengeluaran per kapita, sedangkan di perdesaan pengeluaran makanan menyumbang hampir 55.8 persen total pengeluaran per kapita.
Dari sisi komposisi, presentase pengeluaran non-makanan tertinggi dihabiskan untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga. Presentase pengeluarannyamencapai 26 persen, dan tidak mengalami perubahan sepanjang tahun 2015 sampai 2016.
Di sisi lain, pengeluaran makanan sebagian besar dihabiskan untuk makanan dan minuman jadi. Pada tahun 2015, presentase pengeluaran makanan dan minuman jadi mencapai 12 persen, sedangkan pada tahun 2016 mencapai 14 persen.
Terkait pengeluaran makanan, Pangaribowo (2011) menjelaskan bagaimana pola konsumsi masyarakat Indonesia dalam penelitian antar-waktu (longitudinal). Karateristik pengeluaran makanan di kelas terkaya dan termiskin berbeda. Pada masyarakat kelas terkaya, pengeluaran sebagian besar adalah daging, sayur, dan makanan berbahan susu, sedangkan pengeluaran masyarakat kelas termiskin adalah makanan pokok. Dalam menyelidiki lemahnya konsumsi masyarakat, pemerintah bisa menganalisis konsumsi dari tiap kelas.
Faktor kedua yaitu kontribusi pengeluaran per kapita tiap kelas pendapatan. Sejak tahun 2015, kelas terkaya mengalami turunnya proporsi pengeluaran per kapita dari 48 persen menuju 46 persen di tahun 2016. Selain itu, kelas termiskin mengalami stagnasi proporsi pengeluaran per kapita sebesar 17 persen.
Proporsi pengeluaran kelas menengah mengalami kenaikan dari 34 persen menuju 36 persen pada periode 2015 sampai 2016. Hal ini menunjukkan kelas menengah sebagai motor penggerak pengeluaran di masyarakat.
Namun, data dari BPS (2016) menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita untuk bahan makanan pokok mengalami penurunan sejak tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh kelas mengalami turunnya proporsi makanan pokok dan menggantinya dengan bahan makanan berbeda ditunjukkan dengan naiknya pengeluaran per kapita untuk telur dan susu.
Setelah mengetahui pengeluaran masyarakat dan kontribusi pengeluaran per kapita, pertanyaan kemudian adalah perubahan perilaku masyarakat yang terjadi, sehingga memberikan efek terhadap konsumsi masyarakat.
Kelas menengah sebagai penyumbang terbesar pengeluaran terbesar memiliki gaya konsumsi berbeda. Menurut survei dari Boston Consulting Group, gaya konsumsi kelas menengah adalah consumer durables sehingga mereka membeli barang tidak secara tetap, dan barang jadi yang memiliki masa simpan relatif singkat. Gaya konsumsi itu menyebabkan turunnya penjualan retail di Indonesia. Menurut Bloomberg (2017) beberapa perusahaan seperti PT Matahari dan Ramayana mencatatkan kerugian penjualan pada tahun ini.
Selain itu, kelas menengah mempunyai uang namun tidak membelanjakannya, tetapi menyimpannya. Tren ini terjadi di Jepang di mana tingkat tabungan lebih tinggi dibandingkan konsumsi masyarakat. Walaupun beberapa upaya dilakukan pemerintah Jepang untuk menurunkan tingkat suku bunga, itu tidak menstimulus konsumsi masyarakat.
Alasan lainnya adalah masyarakat mengantisipasi kenaikan pajak di masa depan. Di tengah gencar-gencarnya pemerintah mencari sumber pembiayaan seperti program amnesti pajak , masyarakat beranggapan pajak akan mengalami kenaikan, sehingga mereka menyimpan untuk pembayaran pajak di masa depan. Hal ini berdampak kepada pola pengeluaran masyarakat.
Sebagai penutup, lemahnya konsumsi masyarakat saat ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan pola konsumsi masyarakat di kelas menengah dan atas. Alasannya, kelas menengah dan atas sebagai kelas yang memiliki pengeluaran terbesar. Di lain sisi, analisis juga tidak bisa dilepaskan dari perilaku kelas tersebut.
Baca juga:
Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga? (1)
Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga? (2-Habis)