Jumat, Maret 29, 2024

Mengapa bukan Populisme

Wahyu Prasetyawan
Wahyu Prasetyawan
Meraih PhD di Kyoto University. Kini mengajar Ekonomi Politik di UIN Syarif Hidayatullah dan Pengajar Tamu di Graduate National Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo.

Sejak menguatnya partai politik beraliran kanan ekstrem, yang memberikan tekanan pada kepribumian (nativism) di beberapa negara Eropa, dan kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat, kajian mengenai populisme mendapatkan perhatian serius. Sebelum tulisan ini beranjak lebih jauh menjelaskan alasan populisme tidak terlalu tepat digunakan untuk menjelaskan perkembangan politik terakhir, ada baiknya mendefinisikan populisme.

Ada banyak arti populisme. Namun populisme memiliki karakteristik sebagai berikut: anti-elite, anti-kemapanan, anti-pluralisme, menolak oposisi yang sah, dan menolak imigran dari luar negeri atau anti-asing. Populis menganggap bahwa mereka, dan hanya mereka, yang mewakili kehendak rakyat. Musuh dari populis menganggap musuh politik sebagai kelompok yang tidak bermoral.

Singkatnya, populis beranggapan masyarakat dapat dibagi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan, yaitu populis dan bukan-populis. Populis memiliki fantasi adanya masyarakat otentik. Ini fantasi yang sangat berbahaya karena masyarakat di luar populis dianggap rendah dan dianggap sebagai musuh masyarakat.

Populisme di Amerika Serikat dan beberapa negara seperti Eropa, Inggris, misalnya, muncul sebagai akibat kemarahan rakyat terhadap elite politik, yaitu para pengambil keputusan yang dianggap tidak mampu mengelola harapan dengan baik. Singkat kata, populisme muncul karena adanya rasa tidak puas dan kemarahan yang merata di tingkat masyarakat.

Dengan ciri-ciri yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa pengamat politik yang menilai populisme dapat digunakan untuk menjelaskan kontestasi politik di Indonesia beberapa tahun ke belakang. Tulisan ini memberikan pandangan yang berbeda: populisme tidaklah tepat digunakan untuk menjelaskan perkembangan politik di Indonesia. Ada dua alasan yang menjadi pertimbangan: politik pertumbuhan dan upaya mendorong masuknya investasi asing.

Politik pertumbuhan menjadi tumpuan utama pemerintah sejak mulai Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo. Pada periode sepanjang 30 tahun sejak 1966 hingga 1997, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang dapat dikatakan spektakuler dengan rata-rata mencapai 7 persen per tahun. Bonanza minyak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga pertengahan 1980-an. Pada masa sekitar 1970-an hingga awal 1980-an, Indonesia mengalami proses modernisasi dan industrialisasi yang sangat mendasar.

Pada periode 1970-an hingga pertengahan 1980-an, struktur ekonomi juga berubah secara mendasar. Indonesia bergerak dari negara berbasis pertanian menuju ekonomi yang berdasarkan industri, walau bukan industri tinggi. Sedikit demi sedikit sektor manufaktur mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Namun demikian, sumbangan dari sektor sumber daya alam (SDA) tidak pernah berkurang. Indonesia memiliki pola yang cukup unik, yaitu memiliki kemampuan untuk berpindah dari satu SDA ke SDA lainnya. Pada awal-awal 1970-an hingga 1980-an, Indonesia sangat tergantung kepada ekspor minyak. Ketika peran minyak mulai menurun, Indonesia dapat menggantungkan ekspor pada batubara. Kemudian juga ekspor ditopang oleh minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO. Sejak beberapa tahun lalu sumbangan sektor pertambangan untuk ekspor semakin tinggi nilai dan volumenya.

Perpindahan dari SDA ke SDA yang lainnya ini terjadi karena fluktuasi harga komoditas di tingkat internasional. Ada suatu masa perekonomian Indonesia mendapat kontribusi dari minyak, kemudian berpindah kepada komoditas lainnya seperti batubara, ketika minyak sudah tidak dapat menjadi andalan ekspor. Selain itu perekonomian sekarang tergantung pada komoditas mineral lainnya seperti bauksit, tembaga, dan yang lainnya.

Beberapa komoditas ekspor tersebut cukup penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, yang tidak dapat diabaikan adalah kuatnya peran konsumsi domestik untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Menguatnya konsumsi domestik ini semakin penting sejak Indonesia diterpa krisis ekonomi pada 1997.

Politik pertumbuhan ini juga berjalan bersamaan dengan kebijakan lainnya, yaitu transfer tunai atau yang dikenal sebagai bantuan langsung tunai. Tujuannya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat miskin agar dapat mempertahankan daya beli dan menjaga harapan kelompok yang rentan jika krisis terjadi.

Melalui kebijakan politik pertumbuhan, tingkat pendapatan per kapita rata-rata orang Indonesia meningkat amat signifikan. Saat ini tingkat pendapatan per kapita Indonesia mencapai US$3.859, padahal pada 2008 baru mencapai US$2.418.

Kenaikan pendapatan per kapita ini tentu didorong oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai. Periode pertumbuhan ekonomi dibagi menjadi dua periode, sebelum dan sesudah reformasi. Pada periode sebelum reformasi, yaitu masa panjang antara 1966 hingga 1996 pertumbuhan ekonomi diperkirakan rata-rata mencapai hampir 7 persen per tahun.

Sementara pada periode kedua, yaitu 1997 hingga sekarang, pertumbuhan ekonomi memang tidak setinggi pada masa sebelumnya, sekitar hampir 5,5 persen. Walau tingkat pertumbuhan ekonomi lebih kecil, pertumbuhan ini sudah cukup menjaga harapan banyak pemilih. Memang akan jauh lebih baik jika angka pertumbuhan ekonominya bisa mencapai 6 persen, dan harus diakui ini akan sangat susah karena tingkat pertumbuhan ekonomi global juga memasuki masa-masa yang tidak begitu baik.

Kedua, upaya meningkatkan investasi asing dengan memperbaiki iklim berusaha. Peringkat kemudahan untuk melakukan bisnis (Easy of Doing Business/EoDB), suatu indikator yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, memperlihatkan kecenderungan yang membaik. Pada 2008 posisi Indonesia berada di 129 dari 190 negara yang diteliti. Pada 2017 ini posisinya naik cukup tajam menjadi 72 dari 199 negara. Dibandingkan pada 2016 terjadi peningkatan yang amat tajam, dari 92 menjadi 72.

Poin penting dari data ini adalah pemerintah berupaya keras membuat Indonesia menjadi tempat yang menarik untuk investasi asing. Semua pemerintah di Indonesia sejak 1966 hingga sekarang sadar dana yang berada di dalam negeri sangat terbatas, sehingga diperlukan dana dari luar negeri untuk menutupi kekurangan tersebut. Dari upaya serius yang dilakukan beberapa pemerintahan dapat dikatakan dengan cukup jelas pemerintah Indonesia pada dasarnya tidaklah anti-asing ataupun investasi asing.

Pemerintah Indonesia sejak 1988 sudah melakukan beberapa kali reformasi ekonomi yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing. Kalau mau dilacak lebih jauh, sejak awal berdirinya pemerintahan Orde Baru sudah menerima investasi asing. Namun, perubahan struktur yang paling mendasar terjadi sejak 1998, setelah negeri ini dihantam krisis ekonomi. Tujuan dari perbaikan struktur ekonomi adalah menghilangkan aturan-aturan ekonomi yang hanya memberikan manfaat bagi segelintir elite politik dan pengusaha yang dekat dengan pusat kekuasaan. Saat itu dikenal istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Perubahan struktur ekonomi tersebut dipersiapakn aturan-aturan agar kegiatan ekonomi memenuhi dapat memenuhi kriteria tata kelola yang baik (good governance). Dalam jangka panjang, perubahan struktur ekonomi tersebut ternyata dapat memulihkan ekonomi sehingga dapat bertahan seperti sekarang.

Poin upaya pemerintah terus berupaya meningkatkan situasi yang kondusif untuk investasi asing, karena salah satu retorika yang kerap digunakan oleh pemimpin populis adalah, salah satunya, anti-asing. Di Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa Barat, bentuk anti-asing adalah penolakan kepada imigran.

Di Indonesia, kemungkinan besar retorika yang pernah, dan akan digunakan, adalah retorika anti-perusahaan asing, terutama yang dianggap merugikan Indonesia. Tapi seperti yang telah dipaparkan di atas, kebijakan tersebut akan sangat sulit dijalankan karena perekonomian Indonesia sudah sangat terkait dengan ekonomi internasional.

Karenanya, populisme tampaknya akan sulit mendapatkan tempat di Indonesia, walau ada kemungkinan penggunaan retorika populisme oleh beberapa pemimpin untuk mendapatkan dukungan. Dari pembahasan ini juga dapat dikatakan retorika populisme yang akan digunakan adalah manipulasi untuk mendapatkan dukungan dalam kontestasi politik. Tidak lebih dan tidak kurang. Karena, pada dasarnya, kebijakan populis sangat sulit dapat dijalankan. Dan kalau dipaksa untuk dijalankan, kebijakan populis biasanya berakhir dengan krisis.

Kolom terkait:

Ada Apa dengan Medco Mencaplok Newmont?

Benang Kusut Freeport

Amerika dan Kebijakan Ekonomi Trump yang Mengkhawatirkan

Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga? (1)

Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga? (2-Habis)

In Dubio Pro Mercator? Surat Terbuka tentang Reklamasi untuk Presiden Jokowi

Wahyu Prasetyawan
Wahyu Prasetyawan
Meraih PhD di Kyoto University. Kini mengajar Ekonomi Politik di UIN Syarif Hidayatullah dan Pengajar Tamu di Graduate National Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.