Presiden Joko Widodo merupakan salah satu Presiden RI yang paling sering meresmikan jalan tol. Paling tidak, selama tahun 2017 ini saja ada 11 ruas tol yang diresmikan oleh Presiden Jokowi dengan total panjangnya mencapai 225,15 km; delapan ruas tol baru ada di Jawa, sedangkan tiga ruas tol baru ada di Sumatra.
Delapan ruas tol baru di Jawa atau yang lebih tepat disebut Tol Trans Jawa yang diresmikan oleh Presiden Jokowi selama 2017 ini antara lain: tol akses ke Tanjung Priok sepanjang 11,4 km, Tol Bangil – Rembang (Pasuruan) sepanjang 8 km, Tol Gempol – Bangil (6,8 km), Tol Kertosono – Mojokerto (40,5 km), Tol Bawen – Salatiga (17,6 km) Tol Soreang – Pasirkoja (Soroja) di Kabupaten Bandung sepanjang 10,55 km, Tol Bekasi – Kampung Melayu (Tol Becakayu) sepanjang 21,04 km, dan Tol Surabaya – Mojokerto (Sumo) sepanjang 36,27 km.
Sedangkan tol di luar Jawa, khususnya Sumatra yang diresmikan oleh Presiden Jokowi selama tahun 2017, antara lain terdiri dari: Tol Palembang – Indralaya (Palindra) sepanjang 21,39 km tapi dengan investasi Rp 3,3 triliun, Tol Medan Kualanamu – Tebingtinggi (MKTT) sepanjang 41,6 km dengan investasi Rp 1,76 triliun, serta Tol Medan – Binjai (10 km). Secara umum, besaran investasi tol di Sumatra relatif lebih kecil dibandingkan dengan tol di Jawa.
Sesungguhnya, saya tidak merasa bahagia dengan peresmian-peresmian tol baru tersebut. Setiap kali Presiden Jokowi meresmikan salah satu ruas tol baru, terlebih di Jawa, hati saya justru teriris-iris, berbeda dengan orang lain yang merasa gembira bahwa ruas tol di Jawa bertambah panjang. Mengapa hati saya teriris-iris?
Pertama, tol di Jawa atau tol Trans Jawa itu dibangun, sebagian besar di atas tanah subur (persawahan) yang selama ini menjadi lumbung pangan nasional. Dengan dibangun tol Trans Jawa otomatis lahan pertanian yang subur itu mulai berkurang. Berkurangnya bukan hanya untuk pembangunan jalan tolnya itu sendiri, tapi juga untuk pembangunan-pembangunan lain sebagai konsekuensi logis dari keberadaan jalan tol tersebut, seperti pembangunan rest area, SPBU, kantor operator jalan tol, pemukiman, bangunan komersial, atau bahkan pabrik.
Mayoritas bangunan tersebut didirikan di atas lahan subur yang selama ini untuk pertanian dan cadangan air baku. Sementara kita tahu bahwa tanah Jawa merupakan lahan paling subur untuk pertanian. Bila lahan-lahan subur tersebut diambil untuk kegiatan-kegiatan non pertanian, otomatis akan mengancam ketahanan pangan nasional.
Kedua, dengan memperbanyak jalan tol, berarti pemerintah lebih mendorong penggunaan mobil pribadi daripada angkutan umum massal. Padahal kita semua tahu bahwa penggunaan mobil pribadi itu memboroskan ruang, bahan bakar minyak (BBM), menimbulkan kemacetan, dan memperbannyak polusi udara. Dengan cadangan BBM yang makin menipis, semestinya pemerintah lebih fokus mendorong penggunaan angkutan umum massal daripada penggunaan mobil pribadi.
Sedangkan untuk angkutan barang dapat didorong menggunakan kereta api (KA). Hal itu mengingat di Jawa telah ada jalur ganda Jakarta – Surabaya terutama lintas utara dan tengah dibangun jalur ganda Jakarta – Surabaya lintas selatan. Tinggal melanjutkan pembangunan jalur ganda Jakarta – Merak dan Surabaya – Banyuwangi, sehingga dapat memindahkan angkutan barang dari truk ke KA.
Pengalihan angkutan barang dari jalan raya (truk) ke KA atau laut dapat mengurangi tingkat kerusakan jalan, sehingga dapat menghemat biaya pemeliharaan jalan pantai utara Jawa (Pantura) yang rata-rata mencapai Rp 2 triliun setiap tahunnya, dana tersebut dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur di tempat lain.
Ketiga, dengan membuat karpet merah bagi mobil pribadi, pemerintah dengan penuh kesadaran mempersilakan asing (Jepang) memperluas pasar otomotifnya di Indonesia, karena pengguna tol yang potensial adalah mobil pribadi. Angkutan umum, baik penumpang (bus) maupun barang (truk), jumlahnya terbatas sehingga bukan target pasar yang potensial bagi jalan tol.
Dengan demikian, keuntungan terbesar dari pembangunan tol Trans Jawa sesungguhnya dinikmati oleh Jepang, namun kerugian terbesar (pemborosan BBM dan polusi udara) kita yang menanggungnya. Ironisnya, kita semua gembira dan bangga setiap kali ada peresmian ruas tol Trans Jawa yang baru. Apa yang kita banggakan hari ini adalah tragedi untuk generasi mendatang.
Bencana Besar
Pembangunan tol Trans Jawa memang sudah dirancang sejak lama, ketika Presiden Jokowi masih menjadi pengusaha meubel di Solo. Tol Becakayu, misalnya, sudah mulai dibangun sejak pertengahan 1996 (sebelum terjadi krisis ekonomi), tapi begitu terjadi krisis ekonomi (mulai Juli 1997), pembangunannya dihentikan, dan sampai 20 tahun mangkrak. Demikian pula Tol Soroja sudah dibangun sejak tahun 2000, tapi mangkrak. Jadi, Presiden Jokowi hanyalah menyelesaikan proyek-proyek yang mangkrak tersebut.
Bila kita melihat dari kemampuan menyelesaikan proyek-proyek yang mangkrak, kita patut mengapresiasi kinerja Presiden Jokowi yang dalam waktu tiga tahun kepemimpinannya mampu menyelesaikan sejumlah proyek infrastruktur jalan tol yang mangkrak. Jika sejak beroperasinya Tol Jagorawi sampai 25 tahun berikutnya, kita stagnan hanya memiliki 500 km jalan tol saja. Tapi selama tiga tahun kepemimpinan Presiden Jokowi kita mampu menambah lebih dari 600 km jalan tol baru, atau rata-rata setiap tahun bertambah 200 km jalan tol baru.
Hanya saja, dari aspek ketahanan pangan nasional, cadangan air baku, pemborosan BBM, polusi udara, dan sebagainya; kita patut meratapi adanya peresmian-peresmian tol Trans Jawa yang baru tersebut.
Sikap saya yang kritis terhadap pembangunan tol Trans Jawa itu tidak hanya muncul saat ini saja, tapi sejak awal gagasan membangun tol Trans Jawa digulirkan. Argumen penolakan saya terhadap pembangunan tol Trans Jawa sejak dulu tidak bergeser, yaitu bahwa tol Trans Jawa akan menghancurkan lahan subur di Jawa dan cadangan air baku.
Karena itu, ketika tol Trans Jawa mangkrak bertahun-tahun, saya justru merasa gembira, karena itu blessing in disguise untuk mempertahankan keberadaan lahan subur di Jawa. Dan saya justru akan tambah gembira lagi seandainya pembangunan tol Trans Jawa itu batal, karena berarti lahan subur di Jawa dapat dipertahankan untuk pertanian dan cadangan air baku.
Mangkraknya pembangunan tol Trans Jawa justru menyelamatkan bangsa Indonesia di masa depan. Sebaliknya, ketika tol Trans Jawa tuntas, justru menjadi bencana besar bagi generasi mendatang. Mengapa?
Pertama, pasokan pangan nasional jelas akan terganggu karena lebih dari 60% pasokan pangan nasional berasal dari Jawa, sementara lahan subur di Jawa habis untuk jalan tol dan bangunan komersial lainnya sebagai dampak ikutan pembangunan jalan tol. Di sisi lain, jumlah penduduk yang terus bertambah menuntut persediaan pangan yang cukup, akhirnya ketergantungan pada impor pangan akan tetap tinggi, sehingga akan menguras devisa negara.
Bukan hanya cadangan pangan yang terganggu, tapi uga cadangan air baku karena makin banyak yang tertutup oleh beton sehingga semakin sedikit air hujan yang meresap ke dalam tanah.
Kedua, studi-studi menunjukkan data bahwa cadangan migas kita terbatas, sementara pengembangan energi terbarukan belum terlihat jelas, di sisi lain kebutuhan BBM terus meningkat seiring meningkatnya panjang jalan tol. Akhirnya, tambahan impor BBM tidak mungkin terelakkan lagi dan impor BBM itu juga akan menguras devisa negara.
Ketiga, karena permukaan tanah di Jawa makin banyak yang tertutup beton dan aspal sebagai dampak langsung pembangunan Tol Trans Jawa, akhirnya bencana banjir besar pada suatu ketika nanti tidak bisa terelakkan karena air hujan yang deras itu tidak memperoleh jalan lagi untuk mengalir. Karena itulah pemerintahan Jokowi perlu mengevaluasi lagi, mana rencana pembangunan tol Trans Jawa yang perlu dilanjutkan dan tidak.
Jangan semua rencana pembangunan jalan tol dituntaskan tapi akhirnya bencana besar yang justru akan dituai oleh bangsa ini di masa mendatang.