Kamis, April 18, 2024

Ekofeminisme: Berharap Pluralisme dari Agama yang Erotis

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.

Ilustrasi [http://countertheocracy.blogspot.co.id]
Ilustrasi [http://countertheocracy.blogspot.co.id]
Waktu kuliah, saya punya senior laki-laki yang mesum sekali. Maksud saya mesum adalah dia menyambungkan topik apa pun pada hal-hal yang berbau seksual. Dari mulutnya, puji-pujian kepada Tuhan seperti astagfirullah, subhanallah, dan masya Allah bersahut-sahutan dengan kata-kata penis, klitoris, dan vagina.

Walaupun senior saya ini mesum, dia tidak pernah melecehkan perempuan ataupun membuat becandaan seksual yang menyinggung tubuh perempuan. Tidak sama sekali.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan kepribadian senior saya. Saya memang tidak terbiasa dengan pembicaraan yang menyangkut hal-hal berbau seksual. Sebagai perempuan di lingkungan ilmu sejarah yang didominasi laki-laki, saya telah lama direpresi dari pengetahuan tentang seksualitas dan ketubuhan saya, bahkan untuk menyebut nama kelamin saja saya merasa canggung dan harus minta maaf.

Dari situ terlihat bahwa saya telah direpresi dalam urusan selangkangan dimulai dari kata-kata. Padahal, seks adalah hal yang fundamental, tanpa seks manusia tak bisa hadir ke dunia.

Rasa penasaran yang tidak terbendung soal ketubuhan membuat topik seks menjadi hal yang supermenarik, terutama jika dikaitkan dengan agama. Karena, menurut saya, agama sekarang berperan besar dalam represi terhadap tubuh dan hasratnya. Oleh karena itu, esai ini ditulis untuk menjabarkan teologi agama alternatif dari sudut pandang teori feminisme, agar agama Nusantara membuka ruang diskusi soal seks dan kemungkinan pluralisme.

Tuhan Perempuan dan Kepercayaan yang Erotis
Sejak kapan bicara soal seks di Nusantara menjadi hal yang amat tabu? Mari kita berpikir radikal. Berpikir radikal adalah upaya berpikir kembali ke akar dan menelusurinya. Di sini saya berusaha kembali pada sejarah untuk melihat bagaimana masyarakat terdahulu memandang seks.

Penelusuran saya terhenti pada bukti-bukti sejarah soal pemujaan melalui candi. Berbeda dengan istana kerajaan yang terbuat dari kayu sehingga sulit dilacak sisa-sisaannya, candi diperuntukkan sebagai tempat ibadah sehingga batu dipilih sebagai material utama dan bertahan lama.

Apa yang bisa ditemukan dari candi-candi? Selain arca dewa-dewi, lingga (vagina) dan yoni (penis) tersebar dengan jumlah yang mungkin ribuan. Lingga-yoni merupakan lambang seks yang bermakna kesuburan. Seperti makna tumpah-darah yang sering didengungkan setiap kali pidato kemerdekaan negara ini. Tumpah-darah tak lain dari penyatuan lingga-yoni.

Memuja kesuburan dilakukan karena pada masa kerajaan pra-kolonial mata pencaharian penduduk adalah bertani. Hindhu-Budha yang menyebar melalui perkenalan terhadap irigasi dan pengenalan bercocok tanam membawa serta kepercayaannya menuju kesejahteraan, yakni dengan kesuburan. Dus, seks menjadi hal yang krusial bagi masyarakat dan memuja alat kelamin bukanlah hal yang aneh.

Tapi tunggu dulu, pemujaan alat kelamin juga bisa dicabut dari konteks agama sebagai alasan benda-benda itu dibangun. Agama negara Budha-Siwa sebagai agama kerajaan masa itu menjadi konteksnya, dan Durga sebagai istri Shiwa banyak dimunculkan sebagai dewi yang banyak dipuja.

Candi Prambanan yang didaulat sebagai kompleks candi Hindu Siwa terbesar se-Asia Tenggara memiliki arca Durga di bangunan utamanya; arca Durga ini yang seringkali disebut dengan nama Rara Jonggrang. Kemunculan Durga sebagai ikon yang dipuja menjadi titik kita masuk dalam konsep gender dalam teologi beragama.

Selain Kerajaan Mataram kuno, Kerajaan Kahuripan dengan rajanya yang mashur Airlangga juga dikenal sebagai pemuja Dewi Durga. Beberapa arkeolog dan sejarawan mencurigai bahwa Calon Arang, janda sakti pemuja Durga dari desa Girah, Kedir, Jawa Timur, adalah ibunda dari raja ini.

Tuhan perempuan ternyata bukan saja ditemui di Nusantara sebagai jenis agama paling tua di Nusantara; agama yang paling tua justru adalah pemujaan terhadap Tuhan perempuan. Stharwak dalam The Spiral Dance: A Rebirth of the Ancient Religion of the Great Goddess (1989) mencatat Tuhan perempuan muncul sejak masa Paleolitikum 3500-9000 SM jauh sebelum agama-agama monoteisme bertuhan laki-laki seperti Yudaisme, Nasrani, dan Islam.

Tuhan perempuan dilekatkan dengan imaji bumi/tanah karena beda dengan Tuhan laki-laki yang berada nun jauh di surga ataupun arasy; Tuhan perempuan berada di pusat bumi. Karena itu, diskursus agama perempuan berkisar soal masalah sehari-hari dan lekat dengan perempuan seperti melahirkan, menstruasi, dan bertahan hidup melalui tubuh ibu bumi (mother earth).

Monoteisme dan Peminggiran Perempuan
Dalam tesis ekofeminisme, modernisasi yang diwakili oleh pembangunan menjauhkan perempuan dengan bumi dan alam. Dalam sejarah Nusantara, saya mengambil titik modern adalah kolonialisme penyebaran agama monoteis yang diwakili oleh Nasrani dan Islam. Walaupun ketika SD saya bertanya pada guru mengaji tentang gender Tuhan dan beliau jawab Tuhan tidak bergender.

Ada pertanyaan mendasar mengapa agama saya tidak memberikan tempat yang sederajat bagi perempuan? Jika Tuhan tidak bergender dan adil kepada seluruh gender, mengapa kita menggunakan kata ganti “He” dan hanya laki-laki yang bisa selalu mendekat kepada-Nya tanpa diganggu menstruasi atau keperawanan?

Sebuah jalan panjang bagi agama monoteis dengan Tuhan laki-laki untuk menjadi agama dominan dan menggeser Tuhan perempuan dalam budaya Nusantara. Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Katolik, misalnya, menawarkan Bunda Maria sebagai ikon perwujudan Tuhan. Bukti sejarahnya bisa dilihat di wilayah yang dulunya memuja Durga juga, yakni Gua Maria Pohsarang, Kediri (Kerajaan Daha).

Tidak jarang sejarah mencatat usaha agama monoteis laki-laki demi menjadi agama komunal atau untuk memperoleh dukungan kekuasaan, tega membunuh habis pemuka agama perempuan dengan label penyimpangan “ilmu sihir” atau “ilmu hitam” seperti yang terjadi pada pembantaian ribuan perempuan dengan tuduhan penyihir di Inggris, Bohemian, Skotlandia, Spanyol, dan Jawa dengan kisah Calon Arang sendiri.

Hari-hari ini kelompok feminis menyatakan kekecewaannya pada agama monoteis yang dikuasai oleh laki-laki yang mengokohkan stratifikasi gender yang timpang melalui tafsir-tafsir kitab suci. Telah ratusan tahun berlalu dan barangkali jalan untuk memperbaharui tafsir masih belum menemukan titik terang. Seruan agama untuk membenci tubuh perempuan nyaris sulit dilawan.

Laju kerusakan lingkungan hidup dan pembunuhan atas nama agama monoteis maskulin nyaring berlomba. Di Barat, kita menemukan Islamophobia, di Israel peminggiran orang Muslim, di Suriah pembunuhan kepada yang tidak berbaiat kepada agama Islam kuasa, di Indonesia kita rampas kampung dan kehidupan orang lain melalui label “sesat” dan “kafir”.

Buat saya, menjadi radikal dengan Tuhan perempuan mungkin satu-satunya jalan untuk masyarakat yang lebih menghargai perempuan dan kehidupan.

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.