Saat ini sering kita temui di berbagai ruang digital generasi muda Indonesia mulai banyak yang tertarik dengan isu-isu alam dan lingkungan. Kaum muda itu mengkaitkannya dengan jaminan serta kepastian kehidupan di masa depan. Mulai dari unggahan-unggahan media sosial hingga forum-forum diskusi di kampus dan sekolah.
Berbicara tentang jaminan dan kepastian kehidupan masa depan menjadi concern penting bagi anak muda, karena semaju apapun perkembangan dunia ini namun jika tempat untuk tinggal tidak baik-baik saja tentu akan menjadi kekhawatiran tersendiri. Sehingga tidak sedikit kekhawatiran-kekhawatiran muncul seperti “aku takut bumi ini nggak bisa diselamatkan” atau “buat apa punya anak jika membuat dunia semakin rusak?” serta banyak kegelisahan lainnya.
Belum lagi saat paparan berita-berita kerusakan alam serta bencana alam yang muncul beruntun, semain menurunkan harapan, memupuk luka dan kemarahan. Kondisi seperti ini bukan sekedar fenomena sosial sederhana, namun ada fenomena psikologis yang akan berdampak pada sistem kehidupan yang lebih besar, penurunan terhadap kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem pembuatan kebijakan hingga apatisme sosial. Fenomena ini disebut eco-anxiety atau kecemasan ekologis.
Memahami Eco-Anxiety
Dalam American Psychological Association (APA, 2017) Eco-anxiety didefinisikan sebagai “chronic fear of environmental doom”—ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan. Ini bukan sekadar rasa khawatir biasa, melainkan kecemasan yang dapat mengganggu fungsi psikologis seseorang, seperti : muncul rasa tak berdaya, sulit tidur, bahkan perasaan bersalah hanya karena hidup di dunia yang sedang rusak.
Konsep ini beririsan juga dengan istilah solastalgia (Albrecht, 2005) yakni rasa kehilangan terhadap lingkungan tempat tinggal yang berubah atau rusak meskipun seseorang tidak berpindah tempat. Bagi anak muda, perasaan ini tervalidasi ketika mereka melihat hutan di Kalimantan terbakar, banjir di Jakarta makin parah, laut di pesisir kampung nelayan berubah keruh dan penuh sampah, bahkan Bali yang selama ini terlihat damai dan baik-baik saja tiba-tiba terjadi banjir yang tidak sedikit memakan korban.
Kasus di Sekitar : Ketika Alam Menjadi Sumber Kecemasan
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan, bukan hanya merusak ekosistem dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis. Data World Bank (2019) mencatat bahwa kebakaran 2015 menyebabkan lebih dari 500.000 kasus ISPA dan kerugian ekonomi lebih dari 221 triliun rupiah. Bagi anak muda yang tumbuh terpapar berita dan menyaksikan kabut asap setiap tahun, lebih rentan memiliki memori ekologis bahwa bumi tempat ia tinggal tidak lagi aman untuk dihuni.
Contoh lain juga datang dari Jakarta, kota yang perlahan tenggelam. Penurunan muka tanah dan naiknya permukaan laut membuat wilayah pesisir seperti Muara Baru atau Pluit rutin terendam air. Anak muda yang tinggal di Jakarta tumbuh dengan kesadaran bahwa rumah mereka bisa lenyap dalam beberapa dekade. Fenomena ini merupakan kecemasan eksistensial yang diturunkan oleh realitas yang mereka lihat, kekhawatiran kehilangan tempat tinggal.
Perubahan cuaca ekstrem juga mengancam mata pencaharian orang tua mereka: petani gagal panen akibat pola hujan tak menentu, nelayan tak bisa melaut karena badai lebih sering datang. Selain kekhawatiran pada masa depan karena ancaman pendapatan orang tua, anak muda semakin menjauh dari profesi tradisional yang berhubungan dengan alam.
Mengapa Gen Z Lebih Rentan?
Generasi Z—mereka yang lahir antara 1997 dan 2012—adalah generasi paling terhubung dengan informasi. Ironisnya, konektivitas ini membuat mereka paling cepat terpapar pada berita krisis iklim. Setiap hari linimasa mereka penuh dengan gambar banjir bandang, satwa yang punah, dan laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tentang suhu bumi yang terus naik.
Paparan informasi tanpa disertai ruang dialog dan aksi membuat kecemasan menjadi beban pribadi. Menurut penelitian Panu Pihkala (2020), eco-anxiety meningkat ketika seseorang merasa tidak berdaya untuk bertindak. Sementara itu, studi internasional oleh Hickman dkk. (2021) terhadap 10.000 anak muda di 10 negara menunjukkan bahwa 59% merasa sangat atau amat cemas terhadap perubahan iklim, dan 45% mengatakan kecemasan itu memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Kecenderungan ini juga mulai terlihat di Indonesia. Penelitian Sugianto dan Nurhasanah (2022) terhadap mahasiswa di Bandung menemukan bahwa tingkat eco-anxiety berhubungan signifikan dengan paparan berita iklim di media sosial dan rendahnya self-efficacy (rasa percaya diri untuk berbuat sesuatu). Artinya, semakin mereka merasa tidak mampu bertindak, semakin besar pula kecemasannya.
Hal-hal berikut yang membuat Gen Z lebih rentan mengalami eco-anxiety:
1) Kesadaran lingkungan yang tinggi sejak dini
Mereka tumbuh dalam era keterbukaan informasi dimana isu perubahan iklim, kebakaran hutan, banjir, dan kepunahan spesies menjadi berita harian sehingga mereka lebih mudah terekspos pada narasi krisis global. Tingkat pengetahuan, akses dan kesadaran ini membuat anak muda lebih sadar resiko kerusakan lingkungan namun juga lebih mudah cemas dengan masa depan bumi dan kehidupannya.
Mereka memiliki tingkat empati sosial dan kesadaran global yang tinggi. Peduli pada lingkungan, kesejahteraan hewan, dan kesetaraan sosial. Semakin tinggi empatinya maka semakin besar pula potensi munculnya eco-anxiety, karena mereka merasakan krisis itu secara emosional bukan sekedar mengetahui secara rasional.
2) Paparan media digital yang intens
Efek emosial gen Z diperkuat oleh beragam postingan media sosial. Paparan yang berulang tanpa ruang pemrosesan emosi menyebabkan over-exposure dan kelelahan emosional (eco-fatigue) yang semakin memperparah kecemasan.
3) Perasaan kehilangan kendali dan Betrayal Anxiety
Betrayal anxiety adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan ketakutan akan pengkhianatan di masa depan yang disebabkan oleh pelanggaran kepercayaan oleh orang yang sangat dipercaya sehingga mengakibatkan trauma psikologis yang mendalam, kecemasan berlebihan, ketidak-percayaan terus menerus bahkan dalam kondisi tertentu dapat mengarah seperti pada gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Riset Hickman et al. (2021) yang berjudul, “The Lancet Planetary Health” menunjukkan bahwa anak muda merasa “dikhianati” oleh pemerintah dan generasi sebelumnya yang dianggap gagal bertindak terhadap krisis iklim. Mereka merasa tidak punya kendali terhadap keputusan besar yang menentukan masa depan bumi, sehingga muncul perasaan tidak berdaya dan frustrasi eksistensial.
Kondisi betrayal anxiety terjadi karena Gen Z sebagai kelompok manusia yang masih memiliki ketergantungan pada pemerintah dan generasi sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan mental, sehingga tidak bisa bisa lari dari ikatan dan situasi tersebut.
4) Fase perkembangan psikologis yang sensitif
Masa remaja atau fase dewasa awal adalah periode pencarian identitas dan makna hidup. Ketika mereka melihat ketidakpastian masa depan karena kerusakan lingkungan maka akan memunculkan kecemasan eksistensial. Hal ini dijelaskan dalam Teori Erik Erikson tentang identity vs. role confusion yang menjelaskan bahwa tekanan global seperti krisis iklim dapat mengganggu pembentukan identitas generasi muda.
5) Keterbatasan saluran aksi yang bermakna
Saat kecemasan melanda gen Z, juga terdorong keinginan untuk berbuat sesuatu untuk mengubah kondisi. Namun saat upaya-upaya itu dilakukan, tidak sedikit anak muda menghadapi masalah yang datang lebih besar dari upaya mereka. Perasaan perjuangan sia-sia mendorong terjadinya kondisi eco-paralysis yakni saat seseorang merasa lumpuh atau tidak berdaya dalam menghadapi masalah lingkungan sehingga tidak dapat melakukan tindakan yang berarti untuk mengatasi masalah ekologi lainnya.
Pendekatan Teori: Antara Duka dan Harapan
Psikolog ekologi Glenn Albrecht (2005) memperkenalkan istilah solastalgia untuk menggambarkan duka ekologis. Teori ini menekankan bahwa kehilangan lingkungan dapat menimbulkan trauma serupa kehilangan orang yang dicintai. Dalam konteks Indonesia, hal ini terlihat pada komunitas yang tergusur akibat bencana atau pembangunan yang merusak alam.
Namun, para peneliti seperti Clayton (2020) menekankan bahwa tidak semua kecemasan harus dianggap patologis. Eco-anxiety dapat bersifat adaptif—menjadi tanda empati ekologis dan dorongan untuk bertindak. Tantangannya adalah bagaimana mengubah emosi itu menjadi energi sosial yang konstruktif.
Upaya Koping juga dapat dilakukan pada gejala Eco-anxiety. Koping sendiri sebagai serangkaian respon kognitif (pikiran) dan perilaku yang digunakan individu dalam menghadapi, menanggulangi, dan mengelola situasi tekanan dengan tujuan mengurangi ketegangan untuk mencapai rasa aman. Upaya koping tersebut dapat maladaptif atau adaptif. Upaya maladaptif seperti menyangkal dan menghindari isu-isu terkait lingkungan, menyibukkan dengan hal-hal lain seperti main game atau lainnya. Sementara upaya adaptif seperti membangkitkan harapan dengan melakukan upaya-upaya konkrit untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan.
Koping Adaptif : Dari Kecemasan menjadi Aksi Strategis
Seperti yang kita bahas sebelumnya eco-anxiety sebagai kondisi psikologis yang membuat perasaan tidak nyaman perlu dilakukan respon berdampak yang membuat kita berdamai dan berdampak.
- Transformasikan kecemasan menjadi tindakan (action-based coping)
Upaya mengubah kecemasan dengan memulai di lingkup kecil seperti menanam pohon, mengurangi plastik, membuat kompos, atau jadi relawan. Selain itu terlibat dalam komunitas yang memiliki keresahan yang sama dapat meningkatkan self-efficacy bahwa tindakan yang dilakukan berdampak.
Studi oleh Ojala (2012) menunjukkan bahwa strategi problem-focused coping—yaitu fokus pada solusi konkret—lebih efektif menurunkan eco-anxiety dibanding sekadar menghindari topik lingkungan.
- Bangun literasi emosi dan ruang aman
Pahami bahwa perasaan cemas ini valid dengan membuat aktivitas-aktivitas yang menyeimbangkan antara pengetahuan dan kesehatan mental, seperti: kelas eko-psikologi; eco-mindfulness (metidasi, eco-journaling, nature-walk therapy); kurangi konsumsi berita negatif ekstrem.
Validasi emosi juga dapat dibangun dari rasa kebersamaan dengan membentuk support system di lingkungan sekolah, kampus atau komunitas; mengekspresikan dalam karya seni tentang keresahan. Pendekatan ini cukup efektif mengubah emosi negatif menjadi makna positif (meaning-making coping).
Pendekatan seperti climate café yang berkembang di Eropa dapat diadaptasi di Indonesia: ruang aman untuk mengobrol tentang krisis iklim tanpa dihakimi.
- Perkuat dukungan institusional dan kebijakan
Rasa aman tumbuh dari sistem yang peduli. Ada layanan konseling yang melayani pengaduan dan pendampingan. Pemerintah perlu melibatkan anak muda dalam perencanaan kebijakan lingkungan. Melibatkan anak muda dengan mendengar suara, masukan, menyusun rencana aksi serta mewujudkannya.
- Bangun narasi harapan dan resiliensi
Lawan rasa putus asa dengan hope-based communication. Media massa dan influencer punya tanggung jawab besar dalam membingkai isu lingkungan. Berita tentang bencana perlu disertai dengan kisah solusi: inovasi energi bersih, petani yang berhasil beradaptasi, atau komunitas muda yang menanam kembali hutan. Menurut riset Nabi et al. (2022), framing positif meningkatkan niat pro-lingkungan tanpa menimbulkan rasa putus asa.
Menggunakan media sosial untuk menyebarkan eco-hope content bukan sekedar doom scrolling. Hal ini diharapkan agar terbangun prinsip “realistic optimism” yakni menyadari bahwa krisis itu nyata, tapi masa depan masih bisa diperbaiki dengan tindakan perbaikan bersama.
- Tumbuhkan eco-identity yang efektif
Salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kecemasan dengan melakukan tindakan peduli lingkungan. Kepedulian terhadap lingkungan itu jangan menjadi beban bagian dari “pengobatan” namun menjadi identitas masa depan gerakan hijau, identitas manusia yang penuh kesadaran. Kita bukan korban kerusakan dan bencana alam, namun kita adalah bagian yang menentukan kondisi alam. Membentuk identitas ekologis tidak perlu memaksakan seperti orang lain, sesuaikan dengan preferensi pribadi (fashion etis, konsumsi lokal, investasi hijau, dll). Identitas ekologis yang kuat dapat memperkuat makna hidup, kepedulian, dan menurunkan kecemasan.
Eco-anxiety bukan kelemahan generasi muda. Ia adalah cermin kepekaan moral terhadap planet yang sedang terluka. Yang berbahaya bukan kecemasannya, tetapi ketika kecemasan diabaikan hingga berubah menjadi apatisme untuk menekan rasa tidak nyaman.
Indonesia butuh generasi yang tidak hanya sadar, tetapi juga resilien: mampu memproses duka ekologis dan mengubahnya menjadi komitmen. Sekolah, media, pemerintah, dan komunitas perlu bergandeng tangan menciptakan ruang aksi dan harapan. Bumi yang kita gunakan saat ini adalah bumi yang kita pinjam dari masa depan, maka saat tiba masa depan itu kembalikan dalam kondisi sebaik-baiknya tidak semakin berkurang.
Daftar Pustaka
Albrecht, G. (2005). Solastalgia: A new concept in health and identity. Philosophy Activism Nature, 3, 41–55.
American Psychological Association (APA). (2017). Mental Health and Our Changing Climate: Impacts, Implications, and Guidance. APA & ecoAmerica.
Clayton, S. (2020). Climate anxiety: Psychological responses to climate change. Journal of Anxiety Disorders, 74, 102263.
Hickman, C., Marks, E., Pihkala, P., Clayton, S., Lewandowski, R. E., Mayall, E. E., Wray, B., Mellor, C., & van Susteren, L. (2021). Climate anxiety in children and young people and their beliefs about government responses to climate change: a global survey. The Lancet Planetary Health, 5(12), e863–e873.
Nabi, R. L., Gustafson, A., & Jensen, R. (2022). Framing climate change: The role of emotion in pro-environmental engagement. Communication Research, 49(1), 3–28.
Ojala, M. (2012). Hope and climate change: The importance of hope for environmental engagement among young people. Environmental Education Research, 18(5), 625–642.
Pihkala, P. (2020). Eco-anxiety and environmental education. Sustainability, 12(23), 10149.
Sugianto, D., & Nurhasanah, I. (2022). Eco-anxiety and self-efficacy among university students in Indonesia. Jurnal Psikologi Sosial, 10(2), 95–107.
World Bank. (2019). Indonesia’s Fire and Haze Crisis. The World Bank Group.