Banjir, hujan super lebat, dan tanah longsor di Sumatra. Kedengarannya seperti musibah alam biasa, bukan? Jika kita melihatnya dari kacamata ekokritisisme—sebuah cara pandang yang juga diangkat dalam diskusi mengenai novel-novel fiksi iklim (Cli-Fi)—bencana ini jauh dari kata kebetulan.
Tragedi rusaknya jembatan dan infrastruktur yang tak terhindarkan ini adalah drama nyata dari krisis ekologis yang dibuat oleh tangan manusia (sebuah era yang disebut Antroposen), yang dampaknya kini harus ditanggung oleh seluruh masyarakat. Ini bukan cuma urusan infrastruktur yang rusak parah. Ini adalah urusan hati yang patah dan masa depan yang terancam.
Reruntuhan yang Menoreh Luka
Fenomena bencana berulang ini menciptakan apa yang disebut para ahli sebagai lanskap psikologis keruntuhan (psychological landscape of ruin). Lensa ini membantu kita memahami bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya memengaruhi ekosistem, tetapi juga kondisi mental dan sosial kolektif masyarakat yang tinggal di dalamnya. Novel fiksi iklim sering kali melukiskan dunia yang telah menjadi hamparan tandus abu dan debu, sebuah deskripsi yang kini terasa makin dekat dengan realitas kerusakan pasca-banjir di Sumatra Utara dan Sumatera Barat.
Coba bayangkan: jalanan berubah jadi sungai batu dan lumpur, jembatan putus, desa tenggelam, memaksakan imaji viseril (visceral imagery) yang tidak terlupakan. Imaji ini melambangkan kekacauan dan sifat bencana yang sulit dihentikan. Lumpur, batu, dan sisa-sisa pohon yang tumpah dari perbukitan, mengubah daratan menjadi puing-puing.
Di balik citra kehancuran ini, para penyintas—terutama mereka yang kehilangan rumah, sawah, atau bahkan sanak saudara—tidak hanya menderita trauma fisik. Mereka merasakan duka ekologis. Ini adalah rasa kehilangan yang amat dalam, duka cita untuk dunia yang telah dirusak dan tak akan kembali seperti semula. Hutan yang dulunya berfungsi sebagai penahan air, kini hilang atau rusak parah akibat konversi lahan gambut dan eksploitasi hutan, membuat banjir bandang menjadi tak terhindarkan.
Tragisnya, beban ini diwariskan kepada anak-anak. Kerusakan dan perubahan yang tidak dapat diubah (irreversible change) membuat generasi mendatang harus tumbuh dalam realitas yang terdegradasi. Anak-anak yang mengungsi akibat banjir dan longsor adalah representasi nyata dari beban generasi baru, sebuah masa depan yang harus menanggung kenyataan buruk ini. Nasib mereka yang terperangkap dalam realitas yang terdegradasi ini adalah manifestasi dari ketidakadilan lingkungan antargenerasi. Ibaratnya, para pendahulu di masa lalu telah “memakan masa depan yang seharusnya milik kita”. Pengkhianatan dan rasa bersalah ini adalah luka yang sulit disembuhkan.
Siapa yang Paling Bertanggung Jawab?
Pendekatan ekokritisisme tak pernah takut menunjuk hidung. Tragedi ini menuntut kita untuk mencari penyebab struktural di balik bencana. Novel Cli-Fi secara eksplisit mengaitkan bencana dengan kartel bahan bakar fosil yang kejam dan kartel ekstraktif lainnya. Kritik ini sangat relevan.
Di Sumatra, krisis ekologis seringkali diakibatkan oleh aktivitas yang tidak ramah lingkungan dan intervensi manusia. Bencana seperti banjir dan longsor diperparah oleh deforestasi masif dan degradasi lingkungan yang dilakukan demi kepentingan perkebunan dan tambang. Inilah yang disebut sebagai kelalaian sejarah (historical negligence): tindakan eksploitasi yang terus berlanjut, meskipun semua pihak tahu pasti apa konsekuensi bencana jangka panjangnya.
Meskipun Indonesia memiliki undang-undang lingkungan yang kuat, termasuk prinsip pertanggungjawaban ketat (strict liability) untuk korporasi perusak lingkungan, penegakannya sering kali pincang. Kasus-kasus seperti gugatan warga terhadap perusahaan pulpwood di Sumatra Selatan karena kebakaran konsesi berulang adalah bukti bahwa warisan buruk dari dunia lama (era industrialisasi tak terkendali) masih menghantui kita, menyebabkan penderitaan saat ini. Penderitaan ini adalah teguran bahwa ideologi destruktif dari masa lalu terus menghantui para penyintas.
Dari Perusak Menjadi Pencipta
Di tengah keputusasaan, Ekokritisisme dan narasi Cli-Fi memberikan pesan harapan: kita bisa memilih pembaruan etis. Perjuangan untuk membangun kembali Sumatra bukan sekadar menambal jembatan atau mengganti kerugian materi. Ini adalah pertempuran moral untuk mempertahankan martabat manusia di tengah krisis. Para penyintas harus menolak jatuh pada barbarisme vs. moralitas, yaitu menolak kembali pada praktik kejam, kerja paksa, atau kurangnya empati, demi bertahan hidup. Moralitas yang rapuh harus dijaga ketat di tengah absennya norma sosial.
Yang terpenting, krisis ini harus diubah menjadi katalis. Novel fiksi iklim mengajarkan bahwa manusia bukan hanya perusak. Kita adalah “pencipta” (maker). Kita punya kekuatan kolektif untuk memilih masa depan berdasarkan kepedulian, kerja sama, dan penghormatan tulus terhadap kehidupan.
Ini adalah panggilan untuk semua: pemerintah harus tegas menegakkan hukum lingkungan. Korporasi harus menanggung biaya penuh dari kerusakan ekologis. Dan masyarakat harus terus menunjukkan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai etika sebagai tanda bahwa regenerasi etika kolektif adalah mungkin. Bencana di Sumatra adalah peringatan keras dan mendesak. Sudah saatnya kita aktif memilih untuk menjadi penyembuh, bukan lagi perusak.
