Jumat, Maret 29, 2024

Diskriminasi Ruang Pendidikan

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.

Ilmu pengetahuan merupakan pilar peradaban. Dari masa di mana manusia hanya mengetahui cara membuat api, bercocok tanam, dan berburu, sampai masa di mana muncul mesin-mesin, gedung pencakar langit, dan robot: ilmu pengetahuan selalu menjadi tolak ukur pembangunan peradaban manusia.

Sejarah mencatat, manusia pernah berada pada masa kelam ketika ilmu pengetahuan dibelenggu dan dibatasi. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya berupa otoritarianisme agama sampai totalitarianisme negara. Keadaan ini menyebabkan terhambatnya distribusi ilmu pengetahuan karena penguasa turut mengontrol institusi pendidikan. Sebuah teror mengerikan mengingat betapa pentingnya pendidikan sebagai media transfer pengetahuan lintas generasi.

Berbagai Persoalan Pendidikan Indonesia

Sejatinya, manusia selalu ingin mencari tahu. Manusia juga dipaksa untuk mampu menjawab segala persoalan dari berbagai fenomena yang ada. Dalam dunia yang berkembang begitu pesat, satu-satunya cara manusia dapat bertahan hidup adalah dengan terus belajar dan mencari tahu. Hal ini pula yang turut membentuk esensi utama dari pendidikan: membebaskan.

Di Indonesia, dunia pendidikan masih berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2018, angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pelajar Indonesia hanya mencapai 8,17 tahun—setara dengan kelas IX. Padahal, angka Harapan Lama Sekolah (HLS) Indonesia mencapai 12,91 tahun—setara dengan Diploma I (Databooks Katadata, 2020).

Kemerosotan jumlah pelajar ini seharusnya menjadi gambaran pemerintah atas buruknya sistem pendidikan dalam negeri. Belum lagi persoalan lain seperti mahalnya biaya sekolah, kurikulum, infrastruktur sekolah, serta honorarium pengajar di beberapa daerah yang tidak manusiawi. Menambah catatan buruk atas persoalan pendidikan yang harus segera dijawab oleh pemerintah.

Menurut UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, negara berkewajiban untuk membiayai sektor pendidikan dengan anggaran minimal 20% APBN dan 20% APBD. Dengan anggaran sebesar 505,8 triliun yang diambil dari 20% total belanja negara 2020, idealnya pembenahan atas dunia pendidikan di Indonesia dapat segera dilakukan. (Databooks Katadata, 2019).

Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa infrastuktur sekolah di banyak pelosok Indonesia sangat tidak layak pakai. Atap yang berlubang, tembok yang dipenuhi coret-coretan, ketiadaan buku pelajaran, jauhnya lokasi sekolah, sampai minimnya jumlah perpustakaan. Padahal, infrastuktur sekolah adalah penunjang kegiatan belajar-mengajar—walaupun bukan unsur terpenting. Lalu kemana perginya dana raksasa tersebut?

Kualitas kurikulum pendidikan di Indonesia juga tidak kalah mengkhawatirkan. Kurikulum yang cenderung berkutat pada metode hafalan ini berimplikasi pada dangkalnya ilmu pengetahuan. Situasi juga diperburuk lewat standar kelulusan pelajar yang hanya diukur dari bagaimana siswa mampu menjawab berbagai macam ujian—yang tidak ada kaitannya dengan permasalahan-permasalahan sosial. Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa kegiatan menghafal itu tidak penting, namun hanya menghafal saja tidaklah cukup.

Budaya belajar-mengajar pada iklim kurikulum yang buruk ini telah mengakar dan mendarah daging. Sebagai contoh, seorang pengajar lebih sering melontarkan pernyataan yang sifatnya defintif dari pada berupaya untuk melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang menguggah. Buruknya mutu kurikulum benar-benar membuat pendidikan menjadi tidak lagi membebaskan (Eko Prasetyo, 2004).

Komersialisasi Pendidikan

Mahalnya biaya sekolah masih menjadi muatan utama penyebab timpangnya pendidikan di Indonesia. Lapangan pekerjaan dengan upah yang sangat minim tidak selaras dengan mahalnya biaya sekolah: SPP, keperluan seragam, buku pelajaran, ekstrakurikuler, dan biaya ongkos harian. Variabel-variabel di atas menyebabkan banyaknya pelajar putus sekolah—lebih memilih untuk membantu keluarga di rumah.

Menjamurnya sekolah-sekolah swasta dengan biaya SPP setinggi langit membuktikan adanya bentuk dukungan negara kepada sistem kapitalisme global. Para pemilik modal yang melihat pendidikan sebagai komoditas tentu menjadikan laba sebagai prioritas. Harapan dapat bersekolah dengan infrastruktur memadai—seperti yang ditawarkan kebanyakan sekolah swasta—menjadi semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.

Masalahnya, keberadaan sekolah formal negeri untuk jenjang pendidikan SMA dan SMK masih di dominasi oleh sekolah swasta—SMA 53,23%; SMK 74,56%. Dengan keterbatasan jumlah sekolah negeri dan mahalnya sekolah swasta, wajar saja jika jumlah pelajar terus merosot (Databoks Katadata, 2019).

Komodifikasi pada sektor pendidikan ini tidak hanya terjadi pada institusi sekolah formal saja. Terdapat berbagai macam lembaga bimbingan belajar (Bimbel) yang juga tidak kalah mahalnya, mulai dari bimbel reguler sampai daring. Sama seperti lembaga pendidikan swasta lainnya, bimbel juga merupakan sebuah badan usaha yang mewajibkan para orang tua untuk mau mengeluarkan uangnya. Semata-mata agar anaknya dapat menerima fasilitas bimbel.

Pada dasarnya, bimbel memang membantu para pelajar untuk dapat meningkatkan kemampuan akademik formal. Namun, poin yang harus digarisbawahi adalah: bimbel hanya membantu para siswa untuk dapat mengerjakan soal ujian dengan cepat dan tepat, bukan bagaimana siswa dapat memahami materi pelajaran secara mendalam. Ini merupakan resiko dari kurikulum pemerintah tentang kebijakan akan standar kelulusan siswa yang hanya diukur dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada kumpulan soal-soal ujian akhir nasional—tentunya dibatasi oleh waktu yang telah ditentukan.

Hadirnya bimbel juga malah menambah legitimasi pada cacatnya kurikulum pendidikan Indonesia. Padatnya materi dalam jangka waktu satu semester semakin dipersempit dengan pendeknya jam belajar—pelajar dipaksa untuk belajar begitu banyak mata pelajaran. Bobot materi pelajaran yang juga dibatasi lewat Lembar Kerja Soal (LKS), menjadi celah bagi para penyedia lembaga bimbingan belajar untuk dapat mengkapitalisasi pendidikan yang sejak awal sudah gagal.

Platform pendidikan digital yang belakangan marak juga memiliki efek yang tidak kalah buruk—karena penggunaan internet. Selain diperlukannya biaya tambahan untuk keperluan internet; belum semua wilayah di Indonesia dapat menjangkau internet. Terlebih, Internet memiliki efek buruk terhadap cara kita berpikir: sederhana dan praktis. Platform pendidikan digital berpotensi mendangkalkan cara kita berpikir sehingga menanggalkan kedalaman ilmu pengetahuan.

Pemerintah harusnya malu karena malah menambal buruknya sistem pendidikan melalui banyaknya bimbel. Terdapatnya pelajar yang berprestasi karena lembaga bimbingan belajar pun merupakan bukti kegagalan sekolah. Keberlanjutan pola ini semakin menguatkan asumsi bahwa yang boleh pintar hanyalah orang kaya.

Ketimpangan yang tercipta malah memperlihatkan dengan jelas adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebuah pembedaan pada ruang akademik yang harus segera dibuang karena diskriminasi akan selamanya menjadi watak kolonial.

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.