Selasa, April 23, 2024

Diskoneksi Manusia dan Tanah: Kolaborasi Menghadapi Tantangan Ekologis yang Kompleks

Krisharyanto Umbu Deta
Krisharyanto Umbu Deta
Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

Dikutip dari toleranceday.org, Learn2Think Foundation menjadikan perubahan iklim dan keadilan iklim sebagai fokus Hari Toleransi Internasional 2021. Climate As A ‘Wicked’ Problem diangkat sebagai tema hari toleransi mengingat munculnya sikap pasar bebas yang berpola pikir ‘kita-mereka’ sehingga tidak memeprhitungkan dampak tindakan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat.

Istilah ‘wicked problems’ mengindikasikan kompleksitas persoalan tersebut sehingga juga membutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk menghadapinya. Mendukung ide ini, tulisan ini mengangkat satu topik dalam diskursus ekologi mengenai hubungan manusia dan tanah yang terputus akibat perubahan paradigma yang meganggungkan independensi manusia dari alam dan perkembangan zaman dengan politik ekonominya yang menjadi faktor penting dalam pembahasan isu-isu lingkungan hari ini.

Sebagai sebuah usaha untuk merespons isu-isu ekologi secara global, Michael S. Northcott misalnya melalui bukunya yang berjudul Place, Ecology, and the Sacred: The Moral Geography of Sustainable Communities membahas tentang keterpisahan manusia dan tanahnya. Diskoneksi ini bukan sekadar soal berubahnya persepsi manusia tentang alam, tetapi juga terkait erat dengan beragam faktor yang menambah kompleksitas konstelasi krisis ekologis yang ada saat ini.

Pembahasan Northcott menyentuh akar-akar historis dari pemahaman manusia mengenai alam, terutama tanah atau tempat (place), yang kemudian membentuk relasi manusia dan alam. Yang menarik adalah diskursus tersebut dilihat dalam kaitannya dengan politik ekonomi dan bisnis korporasi yang tidak ramah lingkungan beserta resistensi terhadapnya.

Dalam gerakan resistensi tersebut, peran agama-agama dan komunitas-komunitas lokal juga digali secara lebih mendalam. Adanya sebuah diskoneksi yang semakin tumbuh antara manusia dan tanah, atau apa yang di era modern disebut sebagai alam (nature) atau lingkungan non-manusia (non-human environment), dipelopori oleh pengalihfungsian tanah menjadi ruang-ruang (the turning of place into space) oleh dan untuk kepentingan korporat, baik swasta maupun milik negara (Northcott, 2015: 11).

Jika kembali ke dalam sejarah dimulainya diskursus ekologi dan agama, kritik terkenal Lynn White terhadap kekristenan atau yang sering disebut Tesis White hampir selalu menjadi titik berangkat. Dalam tulisannya yang terkenal itu, ia melihat kekristenan sebagai penyebab awal dari kerusakan lingkungan karena menempatkan manusia sebagai yang dominan dan berkuasa atas alam. Namun bagi Northcott, akar kerusakan lingkungan bukanlah kekristenan per se, melainkan dari ide pencerahan Eropa di zaman renaisans mengenai ruang fisik (physical space) yang melihat relasi mekanistik dan dominasi antara bumi dan mahkluk-mahkluk di atasnya.

Bahkan, secara lebih kontras lagi Northcott menganggap kekristenan justru sebagai sumber potensial untuk pemulihan bumi dari mobilitas ekstrim, krisis tanah (placelessness), dan kerusakan ekologi (Northcott, 2015: 35, 45). Dalam hal ini, agama-agama, bukan hanya Kristen, tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi justru dapat menjadi basis untuk pemulihan ekologi. Dalam kekristenan sendiri, kitab Perjanjian Lama misalnya justru menunjukan keterhubungan yang kuat antara manusia dan tanah.

Diskoneksi manusia dan tanah lahir dari pengaruh kuat rasionalitas abad pencerahan yang membuat dikotomi kultur dan natur atau manusia dan alam sebagaimana dibahas oleh Bruno Latour. Alih-alih era pra-modern, justru era modernlah yang telah mengeksklusi tanah dan ciptaan non-manusia lainnya sebagai yang tidak memiliki kesadaran moral atau subyektifitas layaknya manusia. Ide ini percaya bahwa menjadi modern artinya menjadi independen dari alam dan bahkan mempunyai kontrol kuasa atas alam (Northcott, 2015: 160-161).

Sementara itu, jika dilihat secara praktis, diskoneksi manusia dan alam disebabkan oleh ekonomi politik yang hanya menekankan pertumbuhan moneter dan pertumbuhan produksi-konsumsi industri sebagai tujuan utama. Tren urbanisasi juga dapat dilihat sebagai contoh paling nyata dari putusnya keterhubungan manusia dengan tanahnya. Alih-alih bertani atau hidup di desa yang justru tanah dan lingkungannya lebih ekologis, manusia modern lebih cenderung memilih hidup di kota, menjadi orang kantoran, dengan ragam persoalan ekologis ala urban, mulai dari polusi udara, minimnya daerah resapan air, hingga paparan radiasi dari ragam alat teknologi yang sudah menjadi sahabat karib manusia modern.

Dampak dari diskoneksi ini jelas kelihatan dalam studi-studi saintifik mengenai fenomena kesehatan fisik dan psikis manusia. Misalnya, banyak studi telah menunjukan bahwa lebih banyak waktu diluar ruangan, termasuk berinteraksi dengan alam, ternyata memberi efek yang sangat positif terhadap kesehatan psikis anak-anak dan dalam membentuk pikiran dan kemampuan mereka sebagai individu yang independen.

Sementara itu polusi di daerah perkotaan juga jelas menunjukkan hubungan antara kerusakan lingkungan dan kesehatan fisik manusia. Dengan demikian, melihat pentingnya keterhubungan manusia dan tanah atau alam, kita membutuhkan suatu kesadaran lintas generasi yang merefleksikan situasi dahulu sebelum adanya diskoneksi manusia-alam dengan situasi hari ini. Semunya itu dapat dilakukan melalui proses-proses kultural manusia dan kekuatan ekologis dari alam itu sendiri (Northcott, 2015: 26). Perubahan paradigma ini dapat terjadi sejauh kesadaran ini terus dibangun dan usaha untuk kembali terhubung dengan tanah itu dibudayakan kembali. Inilah yang disebut sebagai proses kultural itu.

Dalam melihat persoalan-persoalan lingkungan secara praktis hari ini, penting juga untuk memperhitungkan usaha resistansi dan restorasi. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, kekuatan kapitalisme dan negara menjadi faktor paling berpengaruh dalam kompleksitas persoalan ekologis ini.

Oleh karena itu, usaha untuk melawan kekuatan tersebut, ketika mereka merusak alam, sering dilakukan untuk menjaga harmoni alam dan semua ciptaan. Dalam hal ini, bentuk-bentuk resistansi ini perlu melibatkan semua elemen, mulai dari agama (baik agama dunia maupun agama lokal), masyarakat lokal, warga negara, dan komunitas-komunitas pedesaan maupun perkotaan. Semua elemen ini sama-sama memiliki tanggungjawab moral untuk menjaga tanah mereka dan mencari cara, baik secara hukum maupun diluar hukum, untuk mencegah korporasi-korporasi melakukan pembangunan yang merusak linkungan (Northcott, 2015: 85).

Peran masyrakat lokal ini sangat penting sehingga tidak melibatkan mereka dalam usaha-usaha konservasi tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan “tuan-tuan” tanah dan korporasi yang juga mengeksklusi praktik-praktik lokal dan adat demi menambah properti mereka sendiri (Northcott, 2015: 24).

Hal itu mengingat bahwa seringkali ada pengambilalihan lahan atas nama konservasi, padahal masyarakat lokal itu sendiri semestinya yang menjadi, atau bahkan sudah menjadi, aktor utama dalam usaha konservasi dan preservasi lingkungan. Strategi ini disebut Northcott sebagai repeopling, dimana kekuatan masyarakat lokal itu sendiriliah yang diandalkan dalam melakukan resistansi, restrorasi, dan preservasi lingkungan, yang di antara hasilnya nanti adalah peningkatan kembali biodiversitas dan nilai ekologis dari tanah.

Jika merujuk pada buku Northcott tadi, paling tidak ada dua kontribusi penting dari pemikirannya, yaitu idenya mengenai ‘ekologi parokial’ dan ‘proyek penumbuhan makanan’ (food-growing projects). Tawarannya dalam ide ekologi parokial adalah ketika komunitas-komunitas yang menempati tanah mereka menghadapi hegemoni negara dan aktor korporat, mereka dapat membangkitkan kembali rasa tanggungjawab kolektif mereka demi lokalitas mereka itu.

Dalam hal itu, lokalitas mereka tidak hanya meliputi diri mereka sendiri sebagai subyek-subyek manusia, melainkan juga burung-burung, rerumputan, semak belukar, pohon-pohon, saluran air, saluran udara, yang menggambarkan jalan hidup dan ritual-ritual kehidupan komunitas lokal itu. Jadi ekologi parokial ini merupakan suatu kesadaran sebagai sesama ciptaan antara manusia dan ciptaan-ciptaan lain. Konsep ini juga mengandaikan adanya relasionalitas antara pencarian eksistensial manusia dalam habitatnya dan bumi yang memberikan tempat bagi manusia untuk ekspresi komunalnya itu (Northcott, 2015: 101).

Sementara itu, tawaran Northcott dalam ide food-growing projects-nya adalah suatu usaha untuk memperjumpakan ulang (reengage) para penduduk kota dengan alam dan pertanian. Hal ini untuk mengatasi alienasi masyarakat urban dari alam akibat diskoneksi tadi. Ekonomi pasar modern dan terlebih lagi cara kerja produsen-konsumen membuat manusia tidak lagi mengetahui bagaimana proses-proses terjadinya berbagai bahan makanan yang dikonsumsinya.

Dalam kaitannya dengan peran agama dalam kerangka pembahasan ini, penting untuk menghubungkan kembali hidup, tubuh, dan spirit dari manusia itu dengan tanahnya dan dengan komunitasnya, yang sekali lagi tidak hanya meliputi sesama manusia, tetapi juga ciptaan lain, yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini, Northcott juga melihat pentingnya sentralisasi pendidikan lingkungan hidup di luar ruangan dalam konteks kurikulum sekolah, baik sekolah formal/negeri, maupun pendidikan oleh komunitas agama seperti sekolah minggu.

Penting pula bagi psikolog pendidikan dan elemen lain untuk mulai mengapresiasi alam sebagai subyek yang pada dirinya sendiri memiliki peran vital dalam pembentukan moral manusia terutama yang berkenaan dengan etika kepedulian mereka terhadap manusia, ciptaan, dan tempat atau tanah yang mereka tinggali (Northcott, 2015: 188). Dalam hal ini, agama dapat memberi basis-basis moral dan etis itu untuk membangun perspektif dan tindakan yang bijak terhadap alam.

Akhirnya, sebagaimana yang dapat dilihat dalam buku tulisan Northcott tersebut, kompleksitas persoalan ekologis hari ini menumbuhkan ajakan penting kepada semua elemen untuk ikut terlibat dalam usaha bersama yang tujuannya ekologis itu.

Usaha membangun kekuatan bersama menjadi penting mengingat besarnya juga kekuataan kekuasaan baik itu negara maupun korporasi atau keduanya sekaligus dalam persoalan-persoalan ekologi.

Peran agama, terutama pada tingkat lokalitas, dalam hal ini agama lokal, perlu diperhitungkan karena kebanyakan pandangan umum justru melihat agama sebagai penyebab dari degradasi lingkungan. Ketika banyak yang menuduh agama sebagai produsen antroposentrisme, muncul perspektif alternatif seperti yang ditawarkan Northcott, dimana agama dilihat sebagai salah satu elemen penting dalam usaha mencapai tujuan ekologis. Hal ini membuka ruang bagi komunitas-komunitas keagamaan dan komunitas masyarakat lainnya untuk berkontribusi dalam restorasi lingkungan. Dengan tawaran perspektif baru semacam ini, kita yang berafiliasi pada institusi agama tertentu juga bisa melihat bagaimana perspektif teologis yang menjadi basis etika dan moral dapat mengambil tempat ketika melihat kasus-kasus tertentu.
Namun demikian, ada catatan penting di dalam merespon tawaran baru semcam ini. Pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan seperti yang ditawarkan Northcott dan banyak akademisi lain mesti ditempatkan pada konteksnya agar kemudian dapat direfleksikan secara relevan pada konteks Indonesia. Northcott sebenarnya menggambarkan isu-isu ekologis yang polanya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di Indonesia, karena isu lingkungan pada dasarnya adalah isu global. Faktor-faktor politik ekonomi, kapitalisme, serta resistansi akar rumput yang menyertainya juga menjadi ciri-ciri utama yang hampir selalu dapat ditemukan di setiap tempat. Namun yang signifikan yang bisa diangkat dari konteks Indonesia adalah peran agama dalam diskursus ekologi. Sebagaimana diketahui, agama di Indonesia memiliki peran yang sangat sentral. Karenannya, melibatkan agama dalam usaha-usaha ekologis merupakan potensi penting untuk dimaksimalkan. Tiap-tiap agama maupun aliansi lintas agama dapat mengambil peran disini. Bahkan yang lebih signifikan lagi adalah peran agama lokal dan masyarakat adat. Sudah menjadi kesepakatan umum para akademisi dan aktivis lingkungan hidup bahwa agama lokal dan masyarakat adat di seluruh dunia mempunyai signifikansi yang patut diperhitungkan dalam preservasi lingkungan. Hal ini karena keterikatan mereka yang kuat dengan alam.
Namun demikian, konteks-konteks partikular dari ragam tempat juga perlu diperhitungkan. Northcott misalnya sangat menekankan betapa besarnya peran komunitas-komuntas lokal tersebut dalam isu lingkungan. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua komunitas lokal memiliki konteks geografis dan politis seindah yang dibayangkan. Di samping ancaman-ancaman eksternal seperti dari kekuatan korporasi misalnya, kondisi alamiah dari tanah juga mesti dipikirkan. Di pulau Sumba misalnya, komunitas agama lokal Marapu, sudah sekian lama hidup dalam konteks tanah yang selalu mengalami bencana alam kekeringan karena panjangnya musim kemarau di sana. Hal ini bahkan mengganggu aktivitas pertanian mereka. Keadaan ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas Marapu dalam merawat keterhubungan mereka dengan tanah. Namun, situasi menjadi jauh lebih sulit bagi mereka, ketika keadaan geografis mereka itu dijadika justifikasi untuk pengalihfungsian lahan untuk dijadikan perkebunan dengan teknologi modern oleh korporasi.
Kasus tersebut serupa dengan apa yang terjadi di Amerika Utara sebagaimana dikutip Northcott. Saat itu penjajah dari Eropa melihat tanah disana sebagai yang tidak subur sehingga dimanfaatkan untuk pertambangan. Namun mereka mengabaikan keterhubungan manusia dan tanah yang sudah dijaga sekian lama oleh komunitas setempat. Secara politis, komunitas agama lokal seperti Marapu di Indonesia memiliki pengalaman diskriminasi dan stigmatisasi yang panjang hingga hari ini. Dalam hal ini kontribusi pemikiran yang bisa ditawarkan adalah tentang bagaimana komunitas-komunitas yang demikian situasinya itu justru diperkuat dan didukung oleh ragam elemen yang ada secara kolaboratif. Dengan begitu, aksi yang dibangun bukan hanya resistansi ketika aksi degradasi lingkungan terjadi, tetapi juga bagaimana penguatan-penguatan komunitas dilakukan sekaligus sebagai langkah preventif terhadap tindakan-tindakan eksploitatif terhadap lingkungan.
Akirnya, dapat disimpulkan bahwa kajian yang intergratif dan lintas disiplin sebagaimana karya Nortchott ini sangat kontributif dalam wacana ekologi hari ini dan mesti diikuti dengan aksi kolaboratif. Inilah yang menjadi tantangan bersama hari ini dalam menyasar persoalan ekologi. Persoalan ekologi tidak dilihat dalam kasus kerusakan lingkungan per se, tetapi dilihat dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, hingga kegamaan. Jika Lynn White mengatakan bahwa “karena akar dari persoalan ekologis ini religius maka pemulihannyapun mesti berangkat dari religiusitias,” maka dapat juga dikatakan bahwa “karena ada kompleksitas ragam faktor dibalik krisis ekologis, maka pemulihannya memerlukan kerja lintas sektor dan lintas disiplin.”

Krisharyanto Umbu Deta
Krisharyanto Umbu Deta
Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.