Jumat, Maret 29, 2024

Ijtima Siapa Mendapat Ulama?

Ben Sohib
Ben Sohib
Penulis novel dan cerita pendek.

Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres mendampingi Jokowi dan Sandiaga Uno mendampingi Prabowo Subianto telah membuat lindu politik yang lumayan mengacaukan peta pertempuran di medan Pilpres 2019 antara kubu Kerakyatan dan kubu Keumatan.

Meski kubu Kerakyatan juga mengalami goncangan kekecewaan (terutama kalangan penyokong Pluralisme, kelompok Liberal, dan para pendukung setia Ahok yang melihat Ma’ruf Amin sebagai sosok ulama konservatif yang berperan penting dalam pemidanaan mantan Gubernur DKI itu), untuk sementara ini unsur ulama di kubu Keumatan merupakan pihak yang paling parah terdampak. Gempa politik itu membuat sebagian pemuka agama “Partai Allah” menjadi bingung.

Tabut politik identitas berisi “Bela Ulama”, “Nasionalis-Religius” dan sejenisnya, yang selama ini menjadi andalan dalam membakar semangat tempur dan membuat gentar pihak lawan, dicampakkan oleh Prabowo. Tabut keramat itu kini justru berada di tangan kubu “Partai Setan” dan dipanggul sebagai tameng bertuah.

Pada menit-menit yang dramatik itu, sejumlah tokoh agama kubu Keumatan mulai mengungkapkan kegusarannya secara terang-terangan atas pengabaian Prabowo terhadap rekomendasi Ijtima Ulama. Hal ini terlihat dari ancaman pembatalan dukungan mereka kepada Prabowo, sebagaimana disuarakan melalui rekaman video Ketua Umum DPP FPI Sobri Lubis.

Reaksi semacam itu bisa dibaca sebagai cerminan situasi psikologi para petinggi Ijtima Ulama saat mulai menyadari apa yang sedang terjadi dan menemukan diri mereka berdiri jauh di belakang “mobil” politik Prabowo. Kendaraan politik yang sebelumnya mereka dorong itu, sudah melaju bersama koalisi partai menuju arena pacuan kekuasaan, meninggalkan para ulama.

Merespons kenyataan sepahit jadam itu, Rizieq Shihab selaku Ketua Dewan Pembina GNPF-U bertindak cepat. Dari Arab Saudi ia mengeluarkan seruan agar segenap ulama dan umat tetap tenang dan sabar. Rizieq Shihab meminta umat tidak mengeluarkan pernyataan atau melakukan perbuatan apa pun yang merendahkan harkat dan martabat pihak mana pun. Kemudian sang Imam Besar mendorong segera diselenggarkannya Ijtima Ulama II.

Sementara itu, menurut Yusuf Martak, Ijtima Ulama II akan digelar hanya untuk menghasilkan dua keputusan, yaitu mendukung atau tidak mendukung pasangan Prabowo – Sandiaga. Ketua GNPF-Ulama itu menegaskan bahwa tidak ada opsi mendukung pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin lantaran semangat Ijtima Ulama adalah mengganti presiden.

Menilik fakta-fakta di atas, Ijtima Ulama II sangat mungkin akan berada dalam situasi yang dilematis. Tetap mendukung Prabowo – Sandiaga bakal dilihat publik sebagai penghancuran terhadap marwah Ijtima Ulama. Harga diri Ijtima Ulama menjadi taruhannya. Publik akan bertanya-tanya: setelah rekomendasinya tak dibukakan pintu, lobi-lobinya dihadapkan ke jalan buntu, ancamannya dianggap angin lalu, sanggupkah Ijtima Ulama menebalkan muka untuk tetap menempatkan diri sebagai pendukung Prabowo?

Berbagai upaya justifikasi dukungan kepada Prabowo semisal dengan menyulap Sandiaga Uno menjadi seorang santri yang religius, tidak cukup kuat bahkan untuk sekadar menandingi karisma keulamaan ujung sarung Makruf Amin.

Dengan demikian, dukungan kepada Prabowo – Sandiaga, apalagi jika tetap mengandalkan isu keislaman, akan dimaknai oleh publik sebagai menabuh genderang perang melawan keislaman sang kiai sebagai seorang ulama besar dengan gerbong pengaruh yang tidak main-main.

Selain menjabat Rais Aam NU, Ma’ruf Amin merupakan Ketua Umum MUI yang menelurkan fatwa penistaan agama pada kasus Ahok yang kemudian melahirkan GNPF-U dan PA-212. Rizieq Shihab sendiri melalui akun twitternya pernah membuat pernyataan bahwa barang siapa menghina Ma’ruf Amin sama saja dengan menghina umat Islam.

Dengan fatwanya dalam kasus “al-Maidah” itu, boleh dibilang Ma’ruf Amin merupakan raison d’etre berdirinya GNPF-U dan PA-212, dua ormas yang kelak turut menggagas Ijtima Ulama. Dukungan Ijtima Ulama II kepada Prabowo – Sandiaga bisa menimbulkan “perang saudara” antarulama.

Maka rasanya jalan paling aman bagi Ijtima Ulama II adalah bersikap netral dan menyerahkan pilihan kepada masing-masing orang. Atau paling tidak membuat keputusan normatif dengan redaksional yang multitafsir guna menyelamatkan muka di satu sisi, dan di sisi lainnya bisa meminimalisir kekecewaan pengikutnya yang sudah terlanjur terlalu nyaman ditempatkan dalam bingkai politik sektarian, yaitu kontestasi antara kubu “pecinta ulama” versus kubu “pembenci ulama”.

Selain akan berakibat tercederainya kehormatan Ijtima Ulama dan kemungkinan meletusnya “perang saudara” antarulama, memaksakan diri memenuhi hasrat politik penggantian presiden dengan jalan mendukung Prabowo – Sandiaga, juga akan memunculkan tanda tanya besar di benak publik: jika memang tujuan perjuangan Ijtima Ulama adalah demi mengangkat pasangan Umara – Ulama ke panggung bursa kepemimpinan nasional, mengapa sekarang saat hal itu sudah tercapai (dalam pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin) justru kemudian yang didukung pasangan Umara – Pengusaha?

Dinamika yang dramatik di dunia perpolitikan Indonesia menjelang Pilpres 2019 membuat Ijtima Ulama II yang kabarnya akan diselenggarakan pada minggu ini, menarik untuk diamati.

Hari-hari ini para aktor politik sedang sibuk melakukan lobi, politisi yang satu dengan ulama yang lain tengah rajin menggelar komunikasi, untuk menentukan siapa mendapat apa. Akan ada lagikah kejutan politik di tanah air dalam waktu dekat ini?

Ben Sohib
Ben Sohib
Penulis novel dan cerita pendek.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.