Jumat, Oktober 4, 2024

Demokratisasi di Partai Golkar?

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang

 

golkarokWakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Riau Agung Laksono (tengah) didampingi Sekretaris Jenderal Idrus Marham (kanan) dan politisi senior Partai Golkar Fadel Muhammad (kiri) memimpin rapat pengurus pleno DPP Partai Golkar di Jakarta, Rabu (24/2).  ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Musyawarah Nasional Partai Golkar pada April mendatang akan menjadi awal yang baik untuk melakukan demokratisasi di tubuh partai politik. Sebagai partai besar, Golkar tentu memiliki pengaruh yang kuat dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Selain itu, Partai Golkar juga menjadi referensi bagi partai lain yang muncul belakangan. Bagaimana tidak. Pengalaman elite Partai Golkar dalam pemerintahan masa Orde Baru dan bahkan pada masa reformasi ini mendominasi proses politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Dampaknya adalah pada orientasi kebijakan pemerintahan yang secara tidak langsung turut dipengaruhi oleh visi dan misi politik Partai Golkar.

Sulit dilepaskan bahwa koalisi partai yang terbentuk di DPR karena adanya visi elite yang bersumber dari akar ideologi yang sama dengan Partai Golkar. Di antaranya adalah Partai Gerindra yang elitenya juga bagian masa lalu dari Partai Golkar. Koalisi kedua partai ini di DPR telah menjadi motor penggerak bergabungnya partai lain sebagai kekuatan penyeimbang dalam menghadapi pemerintah yang berkuasa. Apalagi Partai Gerindra memang memperoleh suara terbanyak ketiga dalam Pemilu 2014 lalu.

Sayangnya, sebagai partai yang dominan dan ikut mempengaruhi dinamika politik, Golkar masih disibukkan dengan praktik politik uang dalam pemilihan ketua umumnya. Sudah menjadi pengetahuan publik, dalam setiap pemilihan ketua umum Partai Golkar, kekuatan modal menjadi faktor yang menentukan kemenangan seorang calon. Karenanya tidak heran, jika pendekatan dan lobi politik kepada petinggi Partai Golkar di daerah yang memiliki suara dalam pemilihan tersebut semakin gencar dilakukan.

Bahkan untuk menarik dukungan pengurus daerah, tidak jarang calon ketua umum melakukan praktik politik uang. Sementara itu, bagi petinggi Partai Golkar di daerah, perilaku elite pusat yang “membagi-bagi” uang ini adalah kesempatan untuk mendapatkan uang, paling tidak menggerakan kader partai di daerah.

Pragmatisme politik dalam pemilihan ketua umum seperti ini tentu mengancam berkembangnya demokrasi di tubuh partai politik. Partai politik tidak lagi menjadi kekuatan yang dapat menegakkan prinsip demokrasi karena idealismenya sudah tergantikan dengan materi.

Lebih jauh, politik uang dalam pemilihan ketua umum ini juga membawa dampak kepada kerusakan sistem politik yang seharusnya dibangun oleh partai. Sayangnya, masih ada persepsi elite partai bahwa jabatan ketua umum dianggap langkah penting untuk mengendalikan kebijakan politik dan pemerintahan yang memang berada di tangan para penguasa dalam partai.

Malah menjadi pengetahuan masyarakat bahwa menjadi ketua umum partai politik adalah syarat penting untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Karenanya, tak ada pilihan lain bagi pemburu kekuasaan, apa pun cara untuk menjadi ketua umum akan dilakukan karena ada target kekuasaan yang ingin dicapai. Inilah yang mendasari praktik politik uang dalam setiap pemilihan ketua umum Partai Golkar dalam beberapa kali pelaksanaan musyawarah nasional.

Pengalaman Golkar selama Orde Baru berkuasa sebenarnya dapat menjadi pelajaran penting bagi perbaikan demokrasi di Indonesia. Pada masa itu, kedekatan elite Golkar dengan penguasa semakin mengukuhkan Orde Baru menjadi rezim yang otoritarian. Akibatnya, pelaksanaan demokrasi yang menjadi harapan publik tidak berkembang. Malah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menggurita di tubuh Golkar karena keistimewaan yang diberikan penguasa.

Begitu juga dengan budaya restu penguasa untuk calon ketua umum menyebabkan kaderisasi kepemimpinan di tubuh Golkar mengalami stagnasi. Akibatnya, tidak sedikit kader partai yang potesial mengalami frustasi karena tidak mendapatkan kesempatan menjadi petinggi partai. Apalagi kader yang tidak berada di lingkaran kekuasaan Orde Baru akan lebih sulit menjadi ketua umum.

Namun, setelah kekuasaan rezim Orde Baru jatuh, banyak kader Golkar yang potensial muncul ke permukaan. Seiring dengan terbentuknya faksi-faksi elite dalam Partai Golkar, maka terjadilah persaingan antar kader untuk tujuan kekuasaan.

Sayangnya, pengalaman di bawah rezim otoritarian yang penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak dijadikan pelajaran bagi elite Partai Golkar dalam memilih ketua umumnya. Bahkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme ini mengalami perubahan bentuk seiring dengan berlangsungnya demokratisasi di masa reformasi.

Salah satunya adalah politik uang yang telah menjelma sebagai bagian dari proses demokrasi yang dilaksanakan, terutama dalam pemilihan yang melibatkan massa yang banyak. Jelas kecenderungan ini merusak tatanan demokrasi yang ada. Ini terlihat dari perilaku kader partai politik yang semakin permisif terhadap perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti kebiasaan melakukan politik transaksional.

Praktik politik uang yang dikhawatirkan akan hadir dalam proses pemilihan ketua umum Partai Golkar pada April mendatang sudah mulai dirasakan atmosfirnya. Memang ada sanggahan dari calon ketua umum tentang berlangsungnya politik uang ini. Akan tetapi, dalam realitanya tidak sedikit petinggi Partai Golkar di daerah mengakui menerima sejumlah uang atas nama penggantian uang transportasi dari calon ketua umum yang akan maju dalam pemilihan tersebut.

Fenomena ini akan terus berlangsung di tengah gerilya dukungan yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses. Sayangnya, keinginan berkuasa elite partai ini menafikan praktik demokrasi yang sehat. Bahkan dapat dikatakan partai politik telah gagal mengembangkan prinsip tata kelola partai modern dalam kehidupan berdemokrasi. Padahal ada peluang bagi Partai Golkar untuk menjadi lokomotif demokrasi di Indonesia. Ini cukup beralasan mengingat Partai Golkar adalah partai kedua yang memiliki suara mayoritas di DPR. Ditambah lagi posisi kader-kadernya yang banyak menjadi elite di pemerintahan.

Tidak mudah mencegah praktik politik uang dalam setiap pemilihan ketua umum partai politik, tidak terkecuali Golkar. Justru yang dikhawatirkan dari politik uang ini adalah perilaku ketua umum setelah terpilih yang akan terbiasa dengan transaksional dalam berpolitik untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Jelas inilah yang akan mengancam keberlangsungan demokrasi itu.

Asrinaldi Asril
Asrinaldi Asril
Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.