Amerika Serikat tengah berdiri di persimpangan jalan, menghadapi pemilihan umum yang akan menentukan arah bangsa ini untuk empat tahun ke depan. November mendatang, rakyat Amerika akan memberikan suara mereka, sebuah hak istimewa yang tidak dimiliki oleh semua warga dunia. Namun, antusiasme yang biasanya menyertai pesta demokrasi ini terasa memudar. Di balik hiruk-pikuk kampanye dan retorika politik, ada kecemasan yang mendalam.
Sebuah jajak pendapat baru-baru ini mengungkapkan bahwa mayoritas warga Amerika, sekitar 80%, merasa bahwa demokrasi mereka berada di ujung tanduk. Mereka percaya bahwa hasil pemilu ini akan menentukan apakah sistem pemerintahan mereka akan bertahan atau justru runtuh. Kegelisahan ini paling terasa di kalangan Partai Demokrat, yang melihat potensi kemenangan salah satu kandidat sebagai ancaman eksistensial bagi demokrasi Amerika.
Bagi Partai Demokrat, kemenangan Donald Trump dalam pemilu mendatang adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Pernyataan kontroversialnya di masa lalu, termasuk keinginannya untuk menjadi “diktator selama sehari”, telah menanamkan ketakutan mendalam akan masa depan demokrasi Amerika jika ia kembali berkuasa. Meskipun Trump mencoba meredakan kekhawatiran tersebut, hanya sebagian kecil Demokrat yang yakin bahwa demokrasi mereka akan selamat dari masa jabatan keduanya.
Di sisi lain, Partai Republik juga dihantui oleh kecemasan serupa. Mereka melihat potensi kemenangan Kamala Harris sebagai ancaman serius bagi demokrasi. Keyakinan ini berakar dari perlakuan yang diterima Donald Trump selama beberapa tahun terakhir, yang mereka anggap sebagai serangan tidak adil terhadap dirinya dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Tuntutan hukum yang dihadapi Trump memperkuat persepsi mereka bahwa Partai Demokrat menggunakan sistem peradilan untuk menghancurkan lawan politik mereka, dan ini menimbulkan kekhawatiran mendalam akan masa depan demokrasi di Amerika.
Di tengah polarisasi politik yang tajam, terdapat kelompok pemilih independen yang menyaksikan pertarungan ini dengan perasaan pesimistis. Bagi mereka, demokrasi Amerika sudah berada di ambang kehancuran. Siapapun yang keluar sebagai pemenang, mereka percaya bahwa kerusakan yang telah terjadi terlalu parah untuk diperbaiki.
Hasil survei ini melukiskan gambaran suram tentang kondisi demokrasi Amerika, sebuah kontras yang mencolok dengan citra yang selama ini diproyeksikan oleh negara adidaya ini. Amerika Serikat, yang kerap diasosiasikan dengan bendera bintang dan garis, elang botak yang gagah, dan seruan lantang akan kebebasan, kini harus bergulat dengan kenyataan bahwa warganya sendiri meragukan masa depan demokrasi mereka.
Amerika Serikat, yang kerap menyandang gelar sebagai “demokrasi tertua di dunia”, telah lama menggunakan citra kebebasan dan demokrasi sebagai landasan moral untuk berbagai tindakannya di panggung global. Namun, sejarah mencatat bahwa banyak intervensi militer Amerika, terutama di negara-negara kaya sumber daya seperti Irak dan Libya, menimbulkan pertanyaan tentang motif sebenarnya di balik slogan “menyebarkan demokrasi”.
Meskipun ada klaim bahwa tujuan utama adalah membebaskan rakyat dari rezim otoriter, realitas di lapangan seringkali berbeda. Negara-negara yang menjadi sasaran intervensi Amerika seringkali berakhir dalam kondisi yang lebih buruk, terjerumus dalam konflik berkepanjangan dan ketidakstabilan politik. Kini, ironisnya, rakyat Amerika sendiri mulai meragukan keabsahan demokrasi mereka sendiri, mempertanyakan apakah nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi benar-benar tercermin dalam tindakan pemerintah mereka.
Dalam menghadapi krisis kepercayaan terhadap demokrasi di Amerika Serikat, muncul pertanyaan mendesak: apa yang bisa dilakukan untuk memulihkan keyakinan rakyat? Mungkin dunia internasional dapat berperan. Dengan meniru strategi yang sering digunakan Amerika Serikat sendiri, negara-negara lain dapat mengirimkan pengamat pemilu independen, mungkin di bawah naungan PBB, untuk memastikan integritas proses pemilihan.
Langkah ini bisa menjadi sinyal kuat bahwa dunia internasional peduli terhadap kesehatan demokrasi Amerika dan bersedia membantu menjaga transparansi serta keadilan pemilu. Selain itu, komunitas global dapat secara aktif memantau dan mengomentari perkembangan politik di Amerika Serikat, menerbitkan laporan berkala tentang kondisi demokrasi di sana, dan menyuarakan keprihatinan jika ada indikasi penyimpangan atau ancaman terhadap nilai-nilai demokratis.
Komunitas internasional harus siap untuk secara konsisten menyoroti setiap penyimpangan dari norma-norma demokratis di Amerika Serikat, dan tidak ragu untuk mengeluarkan kecaman keras jika diperlukan. Dalam skenario terburuk, di mana demokrasi Amerika benar-benar terancam, sanksi ekonomi atau diplomatik dapat dipertimbangkan sebagai langkah terakhir.
Meskipun terkesan keras, pendekatan ini sejalan dengan bagaimana Amerika Serikat sendiri kerap merespons negara-negara lain yang dianggap gagal menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Kini, ketika rakyat Amerika sendiri merasa bahwa demokrasi mereka sedang goyah, mungkin sudah saatnya bagi dunia untuk membalas perlakuan serupa.