Pandemi COVID-19 yang sudah membunuh lebih dari 2000 masyarakat Indonesia ini kembali menyadarkan kita bahwa ada hal krusial lain yang harus segera dibenahi di negara tercinta kita ini, hal itu adalah nalar riset dan logika pembuktian empiris beberapa peneliti di Indonesia.
Berita heboh tentang penemuan obat COVID-19 dengan mudah dijumpai di media massa, televisi, koran, social media, bahkan dari konferensi pers pemerintah yang disiarkan langsung oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Kita disuguhkan dengan informasi ilusif yang sayangnya juga disajikan oleh beberapa kalangan peneliti yang memahami bagaimana konsep riset bekerja dalam membuktikan keabsahan suatu temuan.
Informasi yang beredar tentang ditemukannya obat COVID-19 contohnya, ditulis menjadi headline di beberapa surat kabar, yang padahal, saat dibaca isinya hanya harapan palsu, penelitian yang belum selesai, atau hanya potensi-potensi yang diambil dari studi pustaka negara lain, yang sama sekali belum dibuktikan secara tatalaksana riset. Parahnya lagi, tidak ada usaha klarifikasi dari beberapa peneliti tersebut untuk meluruskan pemberitaan media akan penelitiannya.
Seharusnya (oknum) para peneliti tersebut membuktikan terlebih dahulu ide dan konsepnya di laboratorium dan menyampaikan hasilnya di tempat yang benar, seperti jurnal terkemuka atau paling tidak, jika dikejar waktu pandemi, di preprints jurnal, ya minimal yang diklaim adalah preliminary riset mereka, bukan paparan sekelas tinjauan pustaka. Publikasi penelitian bertujuan agar hasil penelitian dapat dibaca dan dianalisa, dikritisi oleh peneliti lain, dan menjadi sumber dan landasan penelitian selanjutnya untuk dikembangkan oleh peneliti lainnya.
Hal mengejutkan lain adalah overclaim antivirus buatan salah satu kementerian di Indonesia. Langkah pembuatan antivirus sendiri tidak semudah itu. Efektifitasnya harus diujikan melalui tahapan yang luar biasa kompleks dengan uji klinis acak untuk menghindari bias dan menunjukkan bahwa memang zat tersebutlah yang menjadi antivirus dari SARS-CoV2, bahkan bukan virus sejenis, karena kerja antivirus pada level molekuler dikenal sangat spesifik.
Dosis dan konsentrasi optimum dari kandidat antivirus pun juga harus terlebih dahulu ditentukan. Selain itu, Ethical clearance penelitian seyogyanya disampaikan secara terbuka. Pendaftaran paten hanya bertujuan untuk melindungi secara hukum atas karya intelektual di bidang teknologi kepada pemilik paten, sama sekali bukan menunjukkan efisiensi obat, antivirus, atau vaksin.
Secara teoritis, penelitian bertujuan untuk verifikasi hipotesis, bukan ketika ada suatu dugaan kemudian langsung diumumkan kepada masyarakat awam. Hal ini akan sama seperti meluluskan mahasiswa yang baru sidang proposal penelitian, tanpa sidang hasil penelitian.
Pilar utama dalam penelitian adalah struktur logis sains dan pengujian klaim, saat ini kedua pilar tersebut ditabrak habis oleh overclaim di tengah pandemi. Dua dari lima norma sains menurut Roberto Merton adalah universalisme dan skeptisme. Universalisme adalah usaha peneliti dalam mempertahankan argumen dengan pijakan dan tradisi ilmiah. Sedangkan Skeptisme sendiri merupakan sikap tidak gampang percaya terhadap sesuatu yang akhirnya melahirkan adanya validasi data dan uji kebenaran.
Peneliti menapaki jalan sunyi dalam hidupnya untuk kebermanfaatan. Jarang ada peneliti menyukai hingar bingar media, kalaupun ada, biasanya karena terpaksa untuk mengedukasi bukan untuk overclaim. Peneliti selalu tahu batasan diri dan kepakaran mereka, menjadikannya agak terlihat canggung saat ditanya hal lain yang bukan ranah penelitiannya.
Masyarakat awam harus diedukasi bahwa langkah-langkah pembuktian dalam penelitian bukan hal yang mudah. Setiap detail proses tersebut harus menghilangkan bias hasil penelitian agar semata-mata memang yang mempengaruhi hasil tersebut adalah memang berasal dari kandidat obatnya, bukan sugesti seperti kerja khas paranormal.
Sains itu bukan kuat di penjelasan tapi pada argumentatif pembuktian. Indonesia memang kurang sekali sains-komunikator, tapi bukan berarti para peneliti yang suka kamera televisi dapat seenaknya menjelaskan apapun kepada masyarakat. Membiarkan judul-judul clickbait berseliweran tanpa usaha klarifikasi. Peneliti boleh salah, tapi tidak berbohong. Itulah sebabnya meskipun yang disampaikan adalah sebuah harapan, tapi bisa jadi itu hanya harapan palsu.
Kita masih punya PR besar untuk mengedukasi media dengan mengecek validitas informasi dari sumber utamanya, untuk menghindari klaim palsu atau klaim yang dilebih-lebihkan. Akademisi juga berharap selalu dilibatkan dalam semua pertimbangan keputusan Pemerintah. Dengan harapan, Pemerintah Indonesia akan meningkatkan implementasi Evidence Based Policy Making (EBPM) atau Pengambilan Kebijakan berbasis Bukti/Fakta. Lalu apa kabar kondisi basis bukti dan fakta tersebut yang jika disajikan secara tergesa oleh para peneliti?
Mungkin tulisan ini menyinggung banyak (oknum) peneliti di Indonesia, ya memang benar itulah tujuan tulisan ini dibuat. Saran saya, segeralah kembali ke pekerjaan yang fokus pada pembuktian, jangan terlalu tergesa-gesa membagikan sesuatu yang hipotesisnya masih mungkin ditolak. Mari mulai memahamkan media massa kita yang gagap akan dunia penelitian untuk membuat judul-judul berita yang terukur dan tidak menjadi budak clickbait. Jangan gadaikan integritas peneliti yang tinggi dengan godaan momentum pandemi ini.
Akhirnya, kita tidak bisa juga menyalahkan masyarakat yang lebih tertarik kepada teori konspirasi tuna logika terkait COVID-19 ini, seperti Bill Gates yang dituduh menjadi biang keladi pandemi dunia untuk meraih keuntungan diri, atau teori Lab Wuhan China yang disangka sebagai tempat pembuatan SARS-CoV2.
Hal yang paling berbahaya adalah jika masyarakat tidak lagi mempercayai peneliti sama dengan mereka tidak mempercayai jaksa pada kasus Novel Baswedan yang menuntut pelaku dengan satu tahun penjara karena dinilai tidak sengaja. Ops…