Dalam kesusastraan Inggris, karya-karya sastra kontemporer telah lama mencoba menjaga jarak dari roman percintaan, bergerak pada kisah pernikahan sepasang atau sejumlah karakter dalam sebuah novel. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, novelis sastra mulai kembali ke alur-alur romantis sebagai cara untuk mengeksplorasi bagaimana seseorang menavigasi dunia yang semakin didefinisikan oleh ketidaksetaraan dan pertentangan, baik ekonomi maupun politik.
Para pengarang sastra kontemporer tidak terlalu mengikuti bahkan menyukai lagi alur novel-ala Jane Austen: plot pernikahan ‘tradisional’ yang terurai menjadi cerita pertemuan dan perpisahan atau pernikahan dan perceraian. Justru geliat fiksi yang menjalin kisah percintaan dan politik semakin mendapatkan panggung. Potensi kisah-kisah roman untuk melintasi hambatan kekuasaan menunjukkan bahwa perbedaan politik tidak semuanya dapat diatasi, dan ada kalanya kerap tersungkur di bawah manipulasi kekuasaan.
Novel berjudul Bir Hilal Uğruna (2022) karya Noni Cihan Kiykac ini mengungkapkan bagaimana distingsi politik dan relasi kekuasaan melumpuhkan rasa kasih dan sayang yang seharusnya berujung dengan pernikahan, sebuah destinasi akhir dari obsesi amora sepasang insan. Novel ini dengan latar Turki mengisahkan hubungan antara Yildiz dan Merve. Mereka sebetulnya sudah berteman semenjak kecil di bangku sekolah. Tapi karena Merve harus mengikuti ibunya yang pindah ke kota lain, mereka mesti berpisah. Beberapa tahun kemudian, nasib mempertemukan mereka pada sebuah acara yang tak terduga.
Sebetulnya perjumpaan ini adalah sebuah blessing in disguise sebab masing-masing memendam hasrat untuk bersua kembali di suatu saat sekalipun mimpi tersebut sedikit meredup seiring dengan perjalanan waktu. Hubungan ini awalnya berjalan mulus hingga mencapai titik di mana Yildiz melamar Merve. Titik balik berlaku manakala tanpa alasan yang jelas di awal ketika Merve meninggalkan Yildiz dan pergi ke Miami, tanpa diketahui oleh Yildiz sendiri. Keputusan ini tidak dapat dilepaskan dari perbedaan pandangan politik antara dua insan yang saling mencinta ini menyangkut suasana yang terjadi di Turki.
Perpisahan selama ini mengantarkan Yildiz dan Merve pada posisi yang saling berseberangan. Yildiz berdiri tegak sebagai seorang Muslim dengan etos keislaman yang kental dan bangga dengan sejarah kebesaran Turki di masa kekhalifahan Utsmaniyah. Ia adalah pembela Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan yang ingin mengembalikan kekuatan Islam dalam tatanan politik Turki.
Sebaliknya, Merve berada di kubu pihak pembangkang, Fethullah Gulen. Merve adalah orang penting FETO, organisasi yang didirikan oleh Gulen yang berada di balik kudeta (gagal) sejumlah faksi militer pada 15 Juli 2016. Suasana kian kelam ketika Yildiz menjadi korban kebengisan tantara pemberontak pada dini hari menjelang 16 Juli 2016. Ia tertembak. Raut bengis beringas sang serdadu yang tak putus-putus menendangnya tak menyurutkan langkahnya dengan tekad membara walau tubuh tertatih-tertatih. Saat napas tinggal satu persatu dan kesadaran menurun, Yildiz akhirnya menembuskan napasnya bir hilal uğruna (demi bulan sabit, artinya demi negara).
Lalu, apa dan bagaimana reaksi Merve begitu mengetahui meninggalnya pria pujaannya di tangan dan kaki serdadu yang merupakan bagian dari dirinya? Bukankah pria yang dicintainya adalah orang yang berseberangan paham dengannya? Apakah ia tidak bergeming dengan sumpah setianya pada organisasi yang membesarkannya selama ini? Atau ia memilih untuk kembali ke pangkal perasaan batinnya paling dalam? Anda harus membaca buku ini hingga tuntas untuk memastikan apa jawabannya.
Membaca lembar demi lembar novel ini mengembalikan ingatan kita kepada peristiwa historis kudeta Turki pada 2016, sebuah kegagalam militer Turki menjatuhkan Presiden Erdogan untuk kelima kalinya. Sosok Yildiz ini mewakili jutaan bangkitnya kepercayaan diri dan identitas rakyat akan menyabit setiap gerakan yang kontraproduktif dengan spirit yang menopang dua kekuatan itu.
Hijrahnya Yildiz dari dunia kelam masa lalu menuju sosok insaf sarat iman—ini dibuktikan dari sikapnya yang tak mau menyentuh kekasihnya Merve sebelum mereka menikah demi menjaga kehormatan Merve—juga mewartakan wajah Turki baru di bawah transformasi Erdogan.
Aroma Erdogan makin mewangi di Turki bahkan merambat ke dunia Islam disebabkan ia menjadikan Islam sebagai sentral kemajuan peradaban Turki modern yang selama ini direlokasi ke ranah privat par se. Antusiasme masyarakat Turki atas kebijakan-kebijakan Erdogan yang membangun ribuan masjid, memperkuat perbankan syariah, mencabut larangan hijab dan simbol-simbol Islam di area publik, menghentikan hutang ke IMF dengan melunasinya sehingga tak bisa lagi didikte oleh konglomerat hingga membuka sekolah-sekolah Alquran yang didatangi oleh ribuah siswa sejatinya mengukuhkan hasrat mayoritas rakyat Turki untuk kembali ke peraduannya, yakni Islam.
Erdogan amat mafhum bahwa kebesaran Turki hari ini maupun kebanggaan sejarahnya hanya bisa ditegakkan bila kembali ke pangkuan Islam. Ia juga paham bahwa meruah seorang pemimpin Islam bukan lagi disekati oleh batas-batas geografis tapi bergerak melintasi negara.
Bagi Erdogan, di mana azan berkumandang di sanalah negaranya. “Masjid adalah barak kami. Kubah masjid adalah topi baja kami. Menara masjid adalah bayonet kami. Orang-orang beriman adalah tentara kami” demikian Erdogan sering menyatakan. Tak mengherankan, masjid-masjid di Turki mengumandangkan azan dan takbir seraya menyeru dan menyemangati masyarakat dalam aksi perjuangannya. Masjid-masjid di Turki menjadi benteng kokoh dalam membendung kudeta.
Kisah kasih tak sampai antara Yildiz dan Merve juga mengajarkan hal lain bahwa kita perlu belajar bahwa mengenali dan menghormati sisi lain manusia secara utuh, terlepas dari perbedaan yang ada, adalah tindakan politik mendasar yang mulia. Ini juga merupakan dari perwujudan lain definisi cinta. Sikap yang tampak kecil ini sejatinya membawa bobot yang besar dalam lingkungan politik global yang kini diwarnai oleh ketakutan dan perpecahan.
Bagi para protagonis muda dalam fiksi romantis ini, titik cinta tidak terletak pada privasi pernikahan domestik (yang memang tidak tercapai) tapi dalam kapasitasnya untuk membawa sang kekasih ke dunia luar di luar pintu domestik, dalam konteks ini politik atau kekuasaan.
Ketidakmampuan Merve menegosiasikan antara cintanya kepada Yildiz dan penjara politik yang sudah membelenggunya sedari lama lewat FETO adalah upayanya menciptakan kesadaran akan kesetaraan manusia yang lebih besar—ia rela meninggalkan kekasihnya sebab penghargaannya atas kemanusiaan. Ia tak rela kekasihnya tersakiti atas pilihannya. Yang mungkin tak disadari oleh Merve bahwa kekuatan revolusioner cinta mereka mengantarkannya kepada pengambilan keputusan yang tepat, lebih-lebih tatkala ia didera oleh kejutan bertubi-tubi.
Cinta tulus kerap kali mampu menghalau segenap hambatan duniawi, ragawi dan material yang berat untuk kembali ke hadirat Ilahi. Mencari cahaya Tuhan tak semulus jalan bebas hambatan. Kadang Tuhan menyapa kita dengan belenggu tragedi agar kita kembali kepada fitrah.