Jumat, Maret 29, 2024

Semerah Darah (2020): Perangkap Fiksi Sejarah

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Beberapa hari lalu saya membedah sebuah novel sejarah berjudul Semerah Darah (2020) yang ditulis oleh Kusuma Widjayanti. Novel ini menghadirkan pelbagai kisah penculikan dan pembunuhan warga Madiun setelah Muso memproklamirkan berdirinya sebuag negara tanggal 18 September 1948. Dalam novel ini, pengarang melukiskan bagaimana Madiun bagai neraka. Selama dua belas hari dikuasai ribuan manusia bersenjata karabjin dan kelewang yang berpakaian serba hitam dan ikat kepala berwarna merah?

Tafsiran (interpretation) menjadi kunci untuk memahami hubungan antara sejarawan dan novelis sejarah. Seperti sejarawan, novelis sejarah meneliti fakta-fakta sejarah. Tetapi, alih-alih menafsirkannya secara analitis, para novelis sejarah berusaha menghidupkan masa lalu dan menafsirkan pentingnya peristiwa sejarah melalui konvensi sastra: penokohan, plot, dan tematisasi. Mereka menggunakan perangkat retoris, seperti simbol, pencitraan, paralelisme, dan lainnya untuk memberikan penafsiran.

Dalam fiksi sejarah, periode waktu bukan sekadar latar. Ini adalah elemen penting dan nilai jual dari cerita. Fiksi sejarah adalah sebuah perjalanan menarik yang membawa pembaca tenggelam dalam latar sejarah dengan cara yang boleh jadi jauh lebih menarik daripada buku nonfiksi lainnya. Namun, genre ini sarat jebakan sebagai berikut.

Pertama, lemahnya riset. Ada perbedaan antara penelitian ringan (light research) dan penelitian yang serius (serious research). Riset secara daring bisa dianggap sebagai riset ringan. Setelah memilih latar waktu dan tempat sebuah novel, pengarang perlu menemukan buku-buku yang relevan dengan subjek tersebut.

Untuk itu, pengarang perlu membaca sumber primer yang berasal pada masa tertentu di masa lalu, sedangkan sumber sekunder ditulis oleh sejarawan tentang masa lalu di saat sekarang. Mengapa penelitian sangat penting? Sebab jika hendak menulis dari sudut pandang orang yang betul-betul hidup di masa lalu, pengarang perlu menyadari kompleksitas masyarakat tersebut.

Dalam novel Semerah Darah, pengarang belum memasukkan sumber-sumber primer peristiwa Madiun (seperti terlihat dari Daftar Pustaka yang digunakannya), seperti koran, buku, atau diary yang ditulis di masa peristiwa itu terjadi (1948) dan lebih banyak menggunakan sumber-sumber sekunder.

Fiksi sejarah yang kuat selalu ditopang oleh bibliografi di belakangnya. Namun, pengarang menemukan pintu masuk (point of access) yang menarik dalam mengarang cerita. Ia mengembangkan kisah tragis yang dialami oleh kakeknya Eyang Amadi—Mbah Lurah Desa Cabean yang gugur di masa pemberontakan Laskar FDR/PKI di Madiun 1948. Kehadiran tokoh Mbah Lurah dalam novel ini boleh jadi terinspirasi dari sosok Eyang Amadi.

Kisah tragis yang menimpa sang kakek menjadikan pengarang menemukan cara unik untuk mengakses narasi ketimbang hanya menceritakan kembali cerita yang mungkin sudah familiar bagi pembaca. Kita tidak bisa mengambil fakta begitu saja dan mengubahnya menjadi narasi. Kita perlu menemukan cara baru untuk melihat fakta. Anda ingin menceritakan versi fiksi dari peristiwa sejarah dengan akurasi sebanyak mungkin, namun Anda masih perlu menemukan cara yang menarik untuk melihat, mengakses dan membingkai cerita. Anda boleh menceritakan kisah nyata tetapi mengembangkan kebebasan dalam penceritaan atau penokohan.

Kedua, lemah dalam detail. Ini menjadi perangkap berikutnya dalam fiksi sejarah. Karena kemiskinan, bukan berarti penggambaran rinci tentang hal-hal kumuh (grossy stuff) menjadi hal yang memalukan. Pembaca ingin tahu bagaimana sanitasi di rumah-rumah atau kebersihan gigi warga masa lalu. Ini sangat penting jika pengarang ingin pembaca benar-benar tenggelam dalam kenyataan pahit dalam peristiwa masa lalu. Detail yang tajam tapi jujur diperlukan. Meski tampak kasar, detail tersebut adalah bagian normal dari kehidupan sehari-hari selama periode waktu tertentu dan membantu dalam memperkuat cerita dalam kenyataan sejarah.

Di samping kisah kekejaman dan pembunuhan yang diperbuat oleh gerombolan FRD/PKI terhadap Mbak Lurah atau perilaku bengis dengan menjemput dan membawa paksa orang-orang yang rumahnya bertanda X seperti Pak Parto, pengarang bisa lebih mengeksplorasi bagaimana penyajian pecel khas Madiun ketika terjadi dialog di tengah suasana mencekam di antara karakter di dalam novel, corak pakaian masyarakat di kala itu (laki-laki dan perempuan), gambaran langgar yang diobrak-abrik oleh kelompok FRD/PKI, dan lain-lain. Ini tentu menghajatkan intensitas yang tinggi terhadap sumber-sumber primer sejarah.

Dalam novel kontemporer, kita mungkin tidak tertarik dengan detail harian kehidupan seseorang — ketika seseorang bangun tidur, sarapan, pergi bekerja — karena kita melakukannya saban hari. Dalam fiksi sejarah, apa yang dahulu normal bukanlah hal normal untuk sekarang. Ia sesuatu yang baru bagi pembaca hari ini. Fiksi sejarah adalah genre di mana karakter normal menjadi hal menarik. Penting untuk mengetahui bagaimana orang mencuci pakaian dan makanan apa yang mereka santap di era 1940-an. Pembaca tentu penasaran ingin mengetahuinya karena berbeda dengan apa yang mereka ketahui.

Ketiga, menulis karakter historis. Menulis tentang orang-orang terkenal alih-alih menciptakan karakter sendiri amat berisiko. Pilihan untuk menulis tokoh-tokoh ril dalam sejarah berpotensi menulis biografi, bukan lagi fiksi sejarah. Menulis novel memang tergantung minat dan selera, tetapi mengarang kehidupan sosok historis boleh jadi menggiring pembaca seolah-olah membaca biografi. Godaan untuk menulis figur historis perlu disikapi dengan cerdas.

Dalam novel ini, pengarang mengatasi perangkap tersebut dengan menciptakan tokoh-tokoh rekaan sendiri (Mbah Lurah, Mbah Lurah Putri, Yo, Lik Mirun, dll) dengan latar sejarah atau peristiwa yang faktual (hilangnya dr Moewardi di RS Jebres di Solo, terbunuhnya Gubernur Suryo di hujan jati di Ngawi, kedatangan pasukan Siliwangi untuk memberantas Muso dan PKI, pasukan Hizbullah yang membantu melawan PKI di Madiun, tragedi Kresek, Asrama Pahlawan di Jl Raya No 91 Madiun, Radio Gelora Pemuda, atau pabrik gula Gorang Gareng). Artinya, pengarang menciptakan cerita menarik dengan menggabungkan imajinasi dengan fakta tentang latar dan peristiwa sejarah.

Ketika kita menulis fiksi sejarah, kita tidak hanya ‘menciptakan’ kisah tetapi juga menambal cerita berdasarkan apa yang direkam dan apa yang diteorikan. Sah-sah saja menggunakan latar belakang sejarah untuk cerita yang sepenuhnya fiksi. Kisah yang kita tulis mungkin tidak sesuai dengan orang atau peristiwa nyata.

Kita ingin penggambaran periode waktu akurat, tetapi cerita yang dirangkai sepenuhnya fiksi. Kita dapat menggunakan peristiwa sejarah atau orang sebagai inspirasi untuk cerita fiksi. Ini dapat memberi kita lebih banyak kebebasan karena kita tidak hanya menceritakan kembali apa yang terjadi. Kita membuat fiksi itu. Kita punya lebih banyak kebebasan dalam penulisan karena kita menciptakan karakter baru yang terinspirasi oleh orang-orang nyata. Kita dapat menulis karakter yang terinspirasi oleh Shakespeare tetapi tidak benar-benar Shakespeare.

Menulis kehidupan rakyat jelata lebih menarik sebab ia tidak membahayakan akurasi sejarah. Saya pernah baca novel Girl With a Pearl Earring oleh Tracy Chevalier. Meski berkisah tentang kehidupan seorang pelukis terkenal, Johannes Vermeer, namun ia tidak menggunakannya sebagai protagonis utama. Ia menciptakan karakter fiksi, Griet, dan menceritakan kisah dari sudut pandangnya. Ini adalah contoh yang baik tentang bagaimana menggunakan peristiwa atau sosok historis tanpa mengorbankan akurasi faktual atau historis.

Keempat, historical fiction is scene not summary. Dalam fiksi sejarah, pengarang menunjukkan sejarah lewat adegan (scene) bukan ringkasan (summary). Jika tertarik pada sejarah, seseorang bisa membaca buku teks sejarah. Dalam fiksi sejarah, pembaca ingin membaca cerita. Ringkasan dan eksposisi yang panjang tidak terlalu menarik bagi pembaca. Dalam Muso di Ponorogo, pengarang menciptakan adegan melalui percakapan penting antara tokoh Kadri (yang ternyata mendukung Muso) dengan pengunjung warung Lik Mirun ketimbang menjelaskan siapa Muso yang dengan mudah bisa  diketahui pembaca lewat buku-buku sejarah.

Kelima, menulis dialog yang akurat. Cara orang-orang berbicara pada 2021 berbeda dengan yang dilakukan masyarakat pada 1948. Bahkan pada tahun yang sama di masa silam, cara berbicara juga berbeda tergantung di mana tinggal. Ini adalah upaya besar. Ada banyak hal yang terjadi pada waktu tertentu.

Lalu apakah sebaiknya pengarang menciptakan dialog yang meniru cara orang berbicara di tahun 1948 di Madiun? Hemat saya, tentu akan lebih baik memasukkan kosa kata, frasa, idiom atau kalimat umum yang digunakan di waktu peristiwa Madiun mengingat sumber-sumber primer masih cukup dapat diakses. Tapi jangan sekali-sekali berlaku anakronis.

Sastra adalah pekerjaan imajinasi. Kebenaran ada di tangan pengarang sehingga kebenaran bersifat subjektif. Pengarang memiliki kebebasan penuh. Ia hanya dituntut untuk taat azaz dengan dunia yang dibangunnya sendiri. Bila sejarah harus memberikan informasi informasi selengkap-lengkapnya, sastra bisa berakhir dengan pertanyaan.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.