Kamis, April 25, 2024

Catur: Seni Memahami Peradaban Islam 

Zacky Khairul Umam
Zacky Khairul Umam
Kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin. Salah satu karyanya, "Adonis: Gairah Membunuh Tuhan Cendekiawan Arab-Islam"

Bermain catur identik dengan pengangguran, tidak pernah sembahyang, lalai akan kewajiban berusaha, dan pemalas. Maka, penegasan ulang atas fatwa haramnya bermain catur cenderung akan banyak diterima lantaran pandangan dan kecenderungan umum seperti itu. 

Padahal, jika menelisik kepustakaan Islam klasik, yang belakangan ini kita mudah melakukannya melalui aplikasi digital, akan muncul beragam pendapat mengenai catur menurut banyak mazhab hukum. Selain haram, ada yang membolehkannya, ada pula yang memakruhkannya.

Untuk soal fikih ini, sudah banyak diulas oleh berbagai santri dan ustaz yang mampu menelaah khazanah kepustakaan Islam, terutama yang berbahasa Arab. Saya berada pada spektrum memperbolehkan. Dulu catur dianggap sebagai cara berkomunikasi dan bergaul di kalangan elite kerajaan dan, jika diserupai melalui analogi zaman ini, itu sama dengan cara kita bermedia sosial.

Bagi yang suka catur, sama dengan bermain media sosial, mesti tahu kadarnya. Bahkan kita perlu melakukan detoxifikasi digital jika sudah berlebihan. Barangkali itulah cara lain menerjemahkan sikap berimbang dalam hidup kita. Keberimbangan ialah fitrah manusia. 

Salah satu cara terbaik untuk menghargai permainan catur yakni melihatnya melalui lensa sejarah Islam awal atau masa purba lanjut (late antiquity atau Spätantike dalam tradisi Jerman). Zaman yang terentang kira-kira sejak abad ke-3 hingga ke-10 Masehi ini begitu kaya akan silang kebudayaan dan transformasi sosial-politik di kawasan Eropa, Mediterrania, dan Timur Tengah.

Eropa memandangnya sebagai era transisi antara masa purba dan Abad Pertengahan. Masa inilah Islam muncul sebagai kekuatan revolusioner yang mengubah haluan politik kawasan itu, sekaligus proses transmisi pengetahuan dari tradisi Yunani, Persia, dan India berlangsung.

Helenisasi adalah kata yang tidak tepat lagi disebut, sebab banyak sekali kreasi dan re-kreasi kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang muncul pada masa ini yang mengantarkan pada kemajuan masa Islam klasik. 

Islam tidak datang pada ruang hampa. Banyak hal yang dipinjam Islam dari tradisi India purba, misalnya ialah angka dan lalu dikembangkan seperti halnya kisah umum tentang aljabar dan algoritma yang diciptakan oleh Khwarizmi, ilmuwan Persia di Baghdad pada abad ke-9 M.

Cerita Kalilah wa Dimnah begitu populer sebagai sastra dunia masa pramodern, digubah berdasarkan fabel yang berasal dari India, lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa secara global hingga masa modern awal. Kita bisa memasukkan permainan catur dalam deretan perkembangan budaya ini. Ada dua hal yang ingin dibahas singkat di sini, secara kebahasaan dan kegunaan, yang saya ulas dari telaah sejarawan Persia klasik Touraj Daryaee (2002).  

Secara bahasa, kata catur yang kita kenal, ialah kependekan dari caturanga, istilah Sansekerta yang awalnya disebut dalam epos India kuno, Mahabharata. Melalui epos ini, Vyasa sang bijak bestari menjelaskan kepada Yudhistira, sang pangeran Pandawa yang agung, mengenai cara bermain catur.

Vyasa kemudian menjelaskan papan catur terdiri dari empat kelompok: hasty-asva-nauka-padata (gajah, kuda, kapal, dan infanteri). “Empat bagian militer” inilah yang menjadi dasar dari penamaan caturanga itu sendiri. Alkisah, pada abad ke-6, nauka diganti dengan ratha yang berarti kereta tempur yang membawa raja dan penasihatnya. Bahasa Arab catur, yakni shatranj, terbentuk dari kata Sansekerta itu melalui perantaraan bahasa Pahlavi, bahasa Persia zaman Imperium Sasaniah (berkuasa pada 224-661 M), chatrang

Semasa dinasti Sasaniah di bawah pemerintahan Khsrow I, raja India bernama Devisharm melakukan standar tes untuk mengetahui pengetahuan dan kebijaksanaan bangsa Persia. Dikirimlah papan catur dengan enam belas bagiannya dari raja hingga bidak dibuat dari zamrud dan batu rubi. Gampangnya, kini, seperti orang Amerika yang membuat soal Graduate Record Examinations (GRE) untuk mengetes seberapa hebat otak bangsa non-Amerika.

Devisharm bukan saja ingin mengetes, tetapi juga mengancam jika tak ada satu pun bangsa Persia yang terkenal cerdas dan bijaksana tak mengetahui logika permainan catur, maka dinasti Persia itu harus membayar upeti dan pajak ke India. Bozorgmehr, perdana menteri dinasti pada abad ke-6 M itu, mengarang kitab yang disingkat namanya sebagai Chatrang-nama atau Buku tentang Catur untuk membuktikan bahwa dirinya menguasai permainan itu beserta logikanya.

Panjang lebar ia jelaskan soal kearifan di balik permainan catur mengenai politik, kekuasaan, dan kejayaan. Singkat cerita, justru Bozorgmehr diberi hadiah dari kaisar Khosrow I dan upeti serta pajak dari Devisharm.  

Bozorgmehr meninggalkan sebuah penjelasan yang menarik mengenai logika catur. Ia menyingkat tentang ini dengan baik, “Kemenangan melalui kepiawaian, sebuah cara yang disebut oleh seorang bijak bestari dengan: juara yang menang melalui kebijaksanaan, yang memiliki pengetahuan mendasar melalui perang tak bersenjata.” Ini mengingatkan kita pada khazanah Jawa yang agung nglurug tanpa bala menang tanpa ngasorake, “menyerang tanpa pasukan dan menang tanpa merendahkan.”

Jika permainan catur dan juga backgamon yang populer kala itu banyak cela, sangat mungkin para penguasa Muslim era awal sudah menafikannya. Buktinya terbalik. Catur dan bakgamon kemudian menjadi permainan favorit, terutama di kalangan elite para penguasa.

Sejarawan Tha’alibi bercerita ketika pasukan Muslim Arab menaklukkan Ctesiphon, ibukota Imperium Sasaniah, mereka menemukan satu paket papan backgamon milik Raja Khosrow II (memerintah pada 590-628 M) yang terbuat dari batu karang dan pirus. Orientalis terkemuka, Frans Rosenthal, bahkan menulis jenis permainan ini sudah masyhur di Arabia pada masa Nabi Muhammad. Banyak cerita mengenai asyiknya orang bermain catur ini, bukan saja kalangan Muslim, melainkan juga Kristen dan Yahudi semasa Islam berkuasa, seperti bisa dibaca dalam Seribu Satu Malam

Pandai bermain catur dan backgamon ialah sebuah keterampilan yang perlu dimiliki seorang terpelajar dan bangsawan di masa silam. Melalui peradaban Islam, catur kemudian menyebar ke Eropa. Bahasa Latin menyebutnya sebagai ludis scaccorum atau permainan para raja/shah. Dari sinilah turunan berbagai bahasa Eropa menyebut catur itu berasal. Kata yang paling populer kita ketahui skakmat berasal dari shah mat, yaitu sang raja mati atau kalah.

Sejarawan Iberia Olivia Constable (2007) yang menelisik budaya catur semasa Alfonso X di Castilla, Spanyol, menulis, “Bermain catur, sebagaimana berkuda dan berburu, serta mengapresiasi musik dan sastra, merupakan ekspresi dari budaya standar ala istana baik di Eropa zaman pertengahan maupun di dunia Muslim.”

Catur bukan saja sebagai cara untuk rekreasi di masa luang. Secara simbolis, permainan catur bermakna sebagai perjuangan dalam kehidupan, sementara backgamon mengingatkan pada nasib dan lingkaran kosmik.

Jika kita mengenalnya sebagai olah raga otak, maka catur dulu memang dianggap sebagai olahraga yang mensimulasikan tantangan fisik dari kehidupan dan pertempuran, sekaligus latihan otak untuk menjadi seorang yang berpengetahuan luas, seseorang yang—dalam tradisi Persia dan lalu diterima dalam kebudayaan Islam—memiliki farhang, beradab! 

Patut diakui bahwa tidak semua yang berkembang di lingkaran istana atau kalangan terdidik zaman dulu dipahami dan dipraktikkan sama oleh kalangan bawah. Seperti halnya catur, juga kopi di abad ke-16, yang sebetulnya menggairahkan untuk menghargai budaya hidup, bisa dianggap berbahaya oleh banyak fukaha pada zamannya.

Ada kalanya pendapat seorang ulama punya strategi. Misalnya, menolak filsafat dan logika di muka umum, tapi tulisannya bernuansa filsafat dan logis. Saya membayangkan, mungkin ada yang mengharamkan catur di depan orang awam, tapi ia diam-diam bermain bersama yang lain. Jika ada, memang benar satire ini: alangkah lucunya ustaz ini

Bacaan terkait

Salib bukan Sekadar Kayu!

Ceramah Salib Somad dan Pentingnya Pemahaman Antar-Iman

Mempermalukan Salib

Belajar Agama atau Belajar tentang Agama

Zacky Khairul Umam
Zacky Khairul Umam
Kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin. Salah satu karyanya, "Adonis: Gairah Membunuh Tuhan Cendekiawan Arab-Islam"
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.