Labuan Haji, Lotim, kini dikenal sebagai sebuah ‘kawasan lama’ saja dengan cuaca teluknya yang hangat dan area pantai yang khas karena aroma ikan bakarnya. Tetapi, sejarah memastikan itu merupakan pusat mobilitas yang penting di Lombok sejak masa kerajaan hingga pulau Lombok menjadi bagian dari propinsi Sunda Kecil di awal Republik.
Tak lain, karena Labuhan Haji merupakan pelabuhan penyeberangan pemberangkatan haji, darimana proses transformasi sosial dan budaya bermula. Oleh karena dengan pergi berhaji, masyarakat Lombok memproklamasikan diri sebagai bagian dari masyarakat global dan membuka pintu bagi proses pergaulan budaya yang urbanis sifatnya. Dari masyatakat yang sepenuhnya.agraris dan feodal, ke masyarakat urban.
Pada masa kini, ketika kota pelabuhan bukan lagi pusat dari mobilitas urban itu, Labuhan Haji tentu surut pula perannya. Pantai-pantainya pun untuk waktu lama menjadi tempat tamasya yang tak terurus. Rusak karena abrasi, salah kelola, bahkan dipenuhi sampah kiriman dari laut. Sangat menyedihkan, karena kenyataan itu terus berlangsung di saat NTB mengangkat Pariwisata sebagai prioritas pembangunannya.
Kira-kira satu semester lalu, kenyataan itu mendorong sekumpulan pemuda asal Labuhan Haji untuk menata kembali bagian pantai-pantainya yang paling baik, membersihkan sampah yang menimbun pantai setiap hari, dan memperbaiki cara pengelolaan. Adalah Qori Bayyinaturossy, pemuda asal dusun Montong Meong, yanv merintis kerja itu dengan sekelompok pemuda Labuhan Haji sepulangnya ia menyelesaikan studi pasca sarjana di sebuah universitas di Yogyakarta.
Berbeda dengan model pengelolaan pariwisata yang bergantung pada investasi dan kehendak pemodal besar, para pemuda ini mengelola pantai mereka dengan semangat komunitas. Pariwisata Komunitas menantang pariwisata modal, menekankan aspek budaya lokal dan berdiri di atas prinsip: hak dan akses keindahan yang setara bagi masyarakat kawasan wisata dan pengunjung yang datang. Hak-hak dan idealisme yang hilang dalam proses pariwisata modal, dengan demikian dipulihkan.
Itulah yang kita temui di Sunrise Land sejak satu semester ini. Dengan ideologi pariwisata berbasis komunitas, mereka sesungguhnya tengah melakukan koreksi atas kesalahan besar dalam proses pembangunan wisata konservatif berlandaskan kapitalisme yang diamalkan dengan penuh nafsu oleh pemerintah selama ini.
Di sisi lain, pariwisata komunitas dapat menjadi alternatif branding bagi pariwisata NTB ke depannya. Khususnya untuk membangun suatu model pembangunan wisata yang lebih humanis, bertanggungjawab pada alam dan manusia. Dampak dari suatu pembangunan pariwisata tidaklah sederhana sebatas pariwisata saja. Ia beroperasi langsung pada proses transformasi sosial budaya yang akan terjadi ke depan.
Hal itu karena tourism pada hakikatnya merupakan perpanjangan dari ideologi modal yang mengendalikan masyarakat dunia pada hari ini. Mengoreksinya, walaupun dengan tindakan sekecil debu, sebagaimana dilakukan para pemuda Labuhan Haji di Sunrise Land, merupakan gerakan kemanusiaan. Itu mulia, baik dunia dan akhirat karena menunjukkan tanggungjawab terhadap keselamatan alam dan kehidupan. Pada titik inilah para pemuda Sunrise Land terkoneksi secara langsung dengan idealisme puisi, seni dan gerakan kreatifitas lainnya. Layaklah Puisi menyambut itu, mendorongnya dan memberikan dukungan.
Dengan dasar pemikiran ini, maka gagasan ‘kerjasama’ dalam pelaksanaan kegiatan Wirid Pergantian Tahun Labuhan Haji 31 Desember 2022, dapat menjadi inspirasi bagi gerakan kebudayaan ke masa hadapan. Untuk menyatakan dan mewujuskan suatu idealisme puisi yang bertanggungjawab, mandiri dan bermoral di masa-masa sulit ini.
Saya mengucapkan selamat bekerja kepada kawan-kawan yang sedang bersama angin garam di Sunrise Land Labuhan Haji. Semoga cuaca berpihak kepadamu…
Jum’at 30 Desember 2022