Minggu, April 28, 2024

Cak Nur dan Nilai Peradaban Islam

Yudhi Andoni
Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.

Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), makna Islam sebagai agama peradaban secara empiris dapat dilihat dalam situasi “Negara Madinah” yang dikembangkan Nabi Muhammad Saw. Praktik Negara Madinah pada awalnya merupakan jalinan dua unsur etika Islam yang berdasarkan pada komitmen dan keadilan sosial bagi seluruh warga-negara.

Pertama, peradaban berdasarkan Islam dapat diraih melalui adanya komitmen akan keluhuran budi dengan landasan Taqwa kepada Allah. Komitmen ini dalam artian akan adanya semangat Ketuhanan Yang Maha Esa atau rabbaniyah. Sementara keluhuran atau berakhlak mulia merupakan hasil dari bentuk penghayatan hubungan dengan Allah (habl-un min-‘lLa-i) yang kemudian secara tulus dan sejati memancar dalam bentuk hubungan sesama manusia (habl-un min-a ‘nas-i).

Secara tulus perikemanusiaan tersebut membentuk hubungan pergaulan sesama manusia yang penuh budi luhur. Maka dari itu, perlu dipahami Nabi sangat menekankan keluhuran budi ini yang merupakan inti sari tugas suci beliau dan hal ini dapat dilihat dalam sebuah Hadits, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk agar aku menyempurnakan berbagai keluhuran budi” (Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 1999).

Berpangkal dari pandangan hidup berketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan pada sesama manusia, maka seorang pemimpin menurut Cak Nur wajib bersifat terbuka dengan memberi ruang partisipasi pada masyarakat, menilai atau menentukan kepemimpinan. Untuk itu dalam pembentukan masyarakat Muslim pada awal pertumbuhannya, dengan terbukanya ruang publik untuk melakukan koreksi terhadap pemimpin, masyarakat madani warisan Nabi, telah melangkah lebih maju.

Masyarakat Madani sebagai pengejawantahan Islam berperadaban merupakan sistem sosial yang menekankan sisi kebersamaan setiap orang di mata hukum dan pergaulan. Secara kapasitas politik ia memberi jalan ke arah demokratisasi dengan adanya pemilihan pemimpin oleh rakyat.

Selama tiga puluh tahun di bawah pimpinan khulafaur rasyidin, Negara Madinah bentukan Nabi tumbuh dan berkembang jadi satu masyarakat dengan prinsip etis setiap orang mesti menekankan keluhuran budi dalam pergaulan sosialnya, masyarakat Muslim awal itu telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik masyarakatnya.

Kedua, adanya praktik keadilan untuk semua orang tanpa terkecuali. Tegaknya masyarakat Madani tidak terlepas dari landasan keadilan. Keadilan ini bersangkut pada adanya kepastian hukum bagi semua orang, tidak terkecuali seorang pemimpin. Masyarakat berperadaban tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakan dengan adil yang dimulai oleh komitmen pribadi secara tulus.

Cak Nur menyatakan, bahwa atas pertimbangan ajaran itulah Nabi Saw dalam rangka menegakkan masyarakat madani atau civil society, tidak pernah membedakan “orang atas”, “orang bawah”, ataupun keluarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa dahulu adalah jika “orang atas” melakukan kejahatan dibiarkan, tapi jika “orang bawah” melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi pun menegaskan, bahwa seandainya Fathimah putri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka baliau akan hukum dia sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Lebih jauh Cak Nur menjelaskan kala penerapan sisi etis peradaban Islam dalam konteks Indonesia, adalah dengan kembali memahami nilai al khayr, ‘amr ma’ruf, dan nahyi munkar. Ketiga nilai ini dalam sejarah manusia, sebagaimana 30 tahun “Negara Madinah”, telah mencatatkan Islam sebagai agama peradaban terpenting dan terbesar. Maka dari itu persoalan penting dalam membentuk sisi etis bermasyarakat di Indonesia adalah dengan menangkap makna nilai ketiga trilogi ini. 

Al khayr berarti kebaikan universal atau dalam makna luas adalah penjabaran al islam. Umat Muslim Indonesia dituntut memiliki kemampuan mengangkat khayr itu pada level normatif dengan memahaminya menjadi nilai-nilai etis dan moral yang universal, dan hal tersebut baik sekali dicontohkan pada mayarakat Madinah. Adapun ‘amr ma’ruf dan nahyi munkar, dua hal ini merupakan praktik sosial dalam penjabaran kebaikan universal al islam.

‘Amr ma’ruf mestilah dipahami umat Islam Indonesia dengan konsep operatif-kondisional, atau menyesuaikan al khayr secara kongkret dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat yang terikat ruang dan waktu. Sementara nahyi munkar adalah bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan hidup budaya, sosial, politik dan ekonomi masyarakat, yang memungkinkan terjadinya perangai, tindakan, dan perbuatan yang berlawanan dengan kebaikan, atau ma’ruf (Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, 1999).

Oleh adanya prinsip titik temu sebagaimana dicontohkan Nabi dengan Piagam Madinah terhadap masyarakat non-Muslim, maka kondisi tersebut sejalan dengan apa yang ada di Indonesia. Bahwa di Indonesia kita ternyata memiliki hal yang sama, yakni Pancasila.

Maka dari itu, idealnya, dalam wadah Pancasila sebagai titik temu tersebut, dengan memahami ketiga trilogi di atas sebagai nilai dan praksis bermasyarakat di Indonesia sebagai penjabaran secara mendalam akan keuniversalan, inklusifitasnya dan sisi kemanusiaannya. Umat Islam Indonesia akan mampu menyatakan diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat.

“Sehingga nanti Indonesia tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya masalah keyakinan, tetapi juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia itu kan mayoritas Islam”, demikian Cak Nur menyatakan satu kali.

Yudhi Andoni
Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.