Kamis, Maret 28, 2024

Buya Syafii dan Tafsir Kemerdekaan Perempuan

Siti Lutfi Latifah
Siti Lutfi Latifah
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Angkatan Ke- IV MAARIF Institute for culture and humanity

Gus Ulil—sapaan akrab Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual Muslim—yang menjadi salah satu narasumber dalam acara Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif yang diselenggarakan oleh Maarif Institute di Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada tanggal 12 November 2022 mengatakan, tidak jarang orang mengenal Buya Ahmad Syafii Maarif saat beliau wafat. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab ucapan bela sungkawa, duka dan kesedihan atas wafatnya Buya Syafii, yang dijuluki Sang Muadzin Bangsa dari Makkah Darat tersebut, menghiasi dinding media sosial, baik di Instagram, twitter, Facebook, status Whatsapp, TV, Radio dan lain-lain.

Dalam suatu kesempatan berbincang dengan Kang Shofan—Direktur Program Maarif Institute, yang juga sebagai Kepala Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif—ia mengatakan bahwa wafatnya Buya, menyisakan duka yang mendalam, bukan hanya keluarga yang ditinggalkan, atau di lingkungan Muhammadiyah sebagai rumah ideologisnya, tetapi juga bangsa Indonesia.

Berita wafatnya Buya, menurut Kang Shofan, menyapu sudut-sudut halaman nusantara ini: di warung kopi, bengkel sepeda, tukang kayu, pasar-pasar tradisional, di pesisir laut, alun-alun kota, dan tentu saja di kalangan pendidik, politisi, pengusaha, birokrat, dan kawiwara. Di mana-mana tak pernah sunyi dari obrolan tentang Buya Syafii dengan segala kesederhanaannya dan gagasan-gagasan besarnya. Hal ini sangatlah wajar, sebab Buya Syafii pernah memimpin organisasi besar Muhammadiyah (1998-2005) dan menjadi salah satu ikon intelektual Islam gelombang pertama di Indonesia.

Saya sepenuhnya mengamini apa yang telah dikatakan oleh Gus Ulil dan Kang Shofan di atas,  karena saya menjadi salah satu anak muda yang mengetahui Buya Syafii justru saat beliau wafat. Di group-group Whatsapp yang saya ikuti, banyak sekali ucapan bela sungkawa dan ucapan duka atas wafatnya beliau. Terus terang, pengetahuan saya tentang beliau sebagai seorang cendekiawan Muslim, sangatlah minim—jika tak boleh saya katakan tidak mengetahui sama sekali—, bagaimana sosok beliau, bagaimana pemikirannya dan seperti apa kiprahnya dalam membangun Indonesia.

Setelah saya mendengar kabar beliau wafat dan merasakan duka yang mendalam dari postingan-postingan sahabat-sahabat saya di media sosial, akhirnya rasa itulah yang mendorong keinginan untuk mengetahui dan menelusuri lebih jauh sosok seperti apa Buya ini? Setelah saya membaca dari berbagai sumber, baik internet maupun berbagai buku, saya menemukan keteduhan, ketenangan dari setiap pemikiran dan setiap laku lampahnya. Buya hadir membawa pesan-pesan kemanusiaan untuk kaum-kaum minoritas dan kelompok yang termarginalkan.

Buku pertama karya Buya Syafii, yang saya baca adalah Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman pada bagian keempat yang berjudul ‘Membangun Tanah Harapan Indonesia’. Di situ Buya membahas Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 dan Buya mengatakan bahwa ayat tersebut sering dikutip atau diterjemahkan dengan superiornya posisi laki-laki atas perempuan, Buya mengatakan bahwa prinsip kesetaraan gender sepenuhnya didukung oleh Al-Qur’an. Jika melihat realitas hari ini tidak hanya suami yang berperan dalam ruang publik untuk mencari nafkah, tetapi dua-duanya bisa bekerja di ruang publik untuk mensejahterakan keluarga atau bahkan sebaliknya.

Buya juga menjelaskan ayat Al-Qur’an yang menggambarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yaitu Qur’an Surat At-Taubah ayat 71, “Dan, orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, mereka adalah penolong terhadap satu sama lain, mereka menyuruh berbuat baik dan melarang perbuatan jahat; mereka mendirikan salat, membayar zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan mendapat rahmat dari Allah. Sesungguhnyya, Allah itu gagah dan bijaksana”. Ayat tersebut menurut Buya secara gamblang menegaskan bagaimana peran perempuan dan laki-laki yang setara  dalam ruang lingkup pergaulan yang sangat luas.

Pemikiran-pemikiran Buya dalam konsep kesetaraan gender memberikan kekuatan kepada saya untuk terus maju dan bergerak memerdekakan perempuan-perempuan yang laku lampahnya dibatasi oleh jenis kelaminnya sebagai perempuan, atau bahkan dibatasi oleh ayat-ayat suci yang dipelintir. Tidak jarang saya mendengar pengalaman-pengalaman perempuan yang rela dijadikan objek seksual oleh laki-laki dengan dalih “tidak apa-apa saya terluka niat saya ibadah, sudah menjadi kewajiban saya untuk melayani, saya sebagai istri tugas saya melayani kalau ditolak  nanti Allah murka”.

Dalih-dalih atas nama agama tersebut sering digunakan perempuan untuk menormalisasi perlakuan yang didapatkannya termasuk kekerasan verbal atau bahkan dijadikan laki-laki sebagai dalih untuk menjadi penguasa atas perempuan, seolah-olah agama membenarkan itu semua padahal kata Buya Al-Qur’an sangat mendukung kesetaraan gender, tidak ada yang superior atas satu jenis kelamin kepada jenis kelamin lainnya.

Buya Syafii menekankan bahwa Qur’an tidak punya tangan dan kaki maka kitalah yang harus menjadi tangan dan kaki Al-Qur’an sehingga nilai-nilai Islam rahmatal lil alamin dalam Al-Qur’an bisa terwujud dan tersampaikan kepada setiap hamba-Nya. Tidak ada lagi manusia yang terdzalimi oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang dipelintir sehingga ayat tersebut ditafsirkan melemahkan satu pihak. Allah itu Maha Adil dan tidak mungkin ayat-ayatnya menggambarkan ketidak adilan, Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang maka tidak mungkin ayat-ayat menggambarkan kemurkaan-Nya, dan Buya menerjemahkan ayat-ayat tersebut melalui pemikiran dan laku lampahnya.

Pemikiran-pemikiran Buya Syafii tentang konsep kesetaraan gender, memang tidak banyak ditemukan dalam buku-bukunya. Buku Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan Untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif, yang ditulis oleh para aktivis perempuan sebagai kado ulang tahun ke-86, dimaksudkan agar supaya muncul perspektif jender yang kuat, karena seperti yang ditulis oleh beberapa kontributor buku ini, Buya Syafii dinilai minim berbicara isu jender dibandingkan, misalnya masalah Islam dan negara, atau Islam dan demokrasi. Dengan kata lain, beberapa tulisan di buku ini dialamatkan sebagai kritik terhadap Buya Syafii.

Prof Alimatul Qibtiyah, saat mengisi materi Gender dalam Pemikiran Buya Syafii, dalam acara Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, mengatakan bahwa setiap laku lampah Buya menggambarkan kesetaraan dan itu terlihat dari kesehariaan Buya yang terbiasa melakukan tugas-tugas domestik yang dianggap menjadi tugas seorang perempuan oleh budaya patriarki seperti mencuci pakian, mengupas bawang, memasak, belanja sayur dan lain-lain.

Bahkan, salah seorang peserta SKK, Inggit Prabowo, menceritakan kembali cerita Bu Lip—panggilan akrab Buya kepada istrinya, Nurkhalifah—tentang bagaimana sosok Buya di rumah, yang katanya, setiap pagi Buya bertanya kepada istrinya tentang pekerjaan rumah apa yang harus dikerjakannya. Dari cerita tersebut tergambar bagaimana sosok Buya dalam kesehariannya, yang bukan hanya tokoh  panutan bagi anak-anak bangsa, tetapi juga suami panutan yang harus dijadikan role model oleh laki-laki  untuk menerapkan konsep kesetaraan dalam keluarga, konsep yang memang seharusnya dilaksanakan.

Satu hal yang saya sesali ketika saya mulai mengenal Buya dan hal tersebut menjadi pertanyaan yang terus berulang dalam pikiran saya dan jawabannya saya hindari, “mengapa saya menjadi anak muda yang terlambat mengenal Buya?” “Andai Buya masih ada akan kutemui sosok meneduhkan itu”. Pemikiran tersebut tidak jarang berlalu lalang di kepala saya ditambah dengan rasa sesal, akan tetapi pikiran tersebut juga membawa saya untuk bersemangat melanjutkan kiprahnya.

Bulan November 2022 ini menjadi salah satu bulan yang sangat saya syukuri, karena berkat Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) angkatan ke-IV yang diselenggarakan oleh Maarif Institut pada tanggal 12 – 17 November 2022 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) saya diberi kesempatan untuk mengenal Buya lebih dalam lagi, menyelami dan memahami pemikiran-pemikirannya. Tidak hanya itu, saya juga bertemu dengan anak-anak ideologis Buya yang penuh semangat siap melanjutkan perjuangan Buya.

Kini, Buya memang sudah wafat tapi pemikiran dan gerakan-gerakan yang sudah Buya lakukan untuk Indonesia harus terus dihidupkan dan anak muda, seperti saya tentunya, harus mampu menjadi penerus untuk melanjutkan pemikiran dan perjuangan Buya dan menunaikan cita-citanya yang mulia, yaitu menjaga Indonesia agar tetap utuh sampai sehari sebelum Indonesia Kiamat.

Siti Lutfi Latifah
Siti Lutfi Latifah
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Angkatan Ke- IV MAARIF Institute for culture and humanity
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.