Selasa, Desember 10, 2024

Buya bersama Orang-orang Biasa

David Krisna Alka
David Krisna Alka
Penyuka kopi susu gula aren. Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity
- Advertisement -

Setelah tulisan ringan saya tentang Buya Syafii dan Bung Jokowi, Buya Syafii dan Kintani, Buya Syafi, Pak Taufik Kiemas, dan Mas Hajri, selanjutnya kita tengok kisah Buya Syafii Maarif bersama orang-orang biasa. Orang-orang biasa yang memiliki nurani yang tajam luar biasa, begitulah pandangan Buya tentang orang-orang biasa ini. Siapakah mereka?

Ada satu kisah lama yang saya ingat, sebab sosok ini cukup akrab dengan saya. Sosok supir yang luar biasa ini pernah ditulis Buya di Kompas. Saya mencoba mengingat nama sosok ini. Emak, maafkan saya, apa daya ingatan ini ternyata tak sampai.

Akhirnya, saya mengirim pesan bertanya kepada Fajar Riza Ul Haq (Direktur MAARIF Institute 2010-2016). Ya, nama supir MAARIF itu Irman. Pada masa itu Irman sering mengantar Buya bila ada agenda di Jakarta. Decak kagum Buya kepada Irman karena dia gesit dan lincah mencari jalan alternatif atau jalan tikus untuk menghindari kemacetan jalanan ibu kota. Tentu banyak cerita lain yang menarik dari kebersamaan Buya dengan Irman.

Kemudian di Yogyakarta, Buya juga pernah menulis tentang supir taksi bernama Marsudi. Saat itu Marsudi mengantar Buya dari Bandara Adisucipto ke rumah Buya. Singkat kisah, dalam percakapan bersama Buya, Marsudi dengan penuh ceria bercerita tentang proses kepindahannya dari seorang non-Muslim menjadi Muslim setelah beranak dua, tanpa dorongan istrinya.

Selama setengah jam dalam perjalanan bersama Marsudi, Buya merasakan betapa bangganya Marsudi sebagai seorang Muslim yang dijalani melalui proses pilihan merdeka dan sangat pribadi sifatnya. Marsudi juga telah “mengislamkan” tujuh temannya yang lain. Ketika kabar gembira itu disampaikan Marsudi kepada seorang kiai, bukan main senangnya.

Bahkan, kiai itu menangis karena belum pernah berhasil “mengislamkan” seorang pun, sementara Marsudi sebagai seorang Muslim biasa telah jauh melangkah. Rupanya, di tingkat akar rumput, proses pindah agama secara damai ini selalu saja terjadi. Nah, kisah lengkap yang menarik ini pernah ditulis Buya di Resonansi Republika.

Setelah kisah supir MAARIF Institute Irman dan supir taksi Marsudi, Buya pernah menulis mengenai tukang cat, juga dalam Resonansi di Republika. Tukang cat itu berinisial W, M, S, dan D. Mereka bekerja sangat rapi, tertib, dan fokus selama tiga minggu di rumah Buya di Nogotirto, Yogyakarta. Buya Syafii menikmati bergaul dengan W, M, S, dan D. Bisa jadi, Si D kependekan dari David. Bisa saja, nanti saya tanya Buya, apakah Si “D” ini David atau bukan.

Singkat kisah, Buya Syafii salut dan juga merasa kagum terhadap W, M, S, dan D ini. Konsentrasi mereka adalah pada pekerjaan yang ditekuninya, demi melangsungkan hidup berkeluarga. Disiplin kerja tukang cat ini demikian tinggi. Buya sangat menikmati kebersamaan dengan mereka. Makan bersama dengan para tukang cat ini sungguh menyenangkan bagi Buya. Suasana egaliter, tanpa ada sekat sama sekali. Sebagai anak kampung, Buya adalah bagian dari mereka.

Cerita Buya, tanpa mereka, banyak sekali keperluan hidup ini yang akan terbengkalai. Para pekerja adalah tiang ekonomi yang sangat vital bagi desa dan kota. Jika mereka bekerja dengan penuh keceriaan, itu adalah pertanda mereka senang. Panas terik seperti dibawa lalu saja, karena hatinya gembira. Maka, menjadi sebuah kemuliaan sekiranya bos-bos besar perusahaan, misalnya, menyapa para pekerjanya dengan sapaan kemanusiaan yang tulus yang dapat mempertalikan hati dengan hati.

Demikian pesan terakhir Buya dalam tulisan kebersamaannya dengan W, M, S, dan D. Ya, betul Buya, semoga saja bos-bos besar itu membaca tulisan ini. Jangan sampai pesan para pekerja tak dibaca. Kalau bisa ya dibalas. Sungguh orang-orang biasa akan mengurut dada jika pesannya tak dijawab bos-bos besar. Semoga curhat saya ini dibaca, eh.

- Advertisement -

Ada satu kisah lagi yang menarik perhatian saya. Tulisan Buya tentang tukang sapu bernama Bejo. Bejo, Perawat Lingkungan, begitu Buya menulis kisah tentang Bejo di Resonansi Republika. Hatinya putih bak kapas, sikapnya lurus, polos tanpa minta dikasihi. Dia sudah difabel sejak bayi, tetapi masih bisa berjalan tanpa tongkat dan lihai bersepeda. Entah berapa puluh halaman rumah warga di Nogotirto Elok 2 yang disapunya saban hari.

Nama kecilnya Bejo Sudarsono. Tugasnya bukan hanya sebatas menyapu, tapi juga menggarap sawah. Cerita Buya, sekarang semakin banyak saja rakyat kecil yang menjual sawah miliknya sehingga jadilah dia sebagai buruh tani dengan menggarap sawah orang lain, bisa jadi bekas miliknya. Tragedi akuisisi lahan ini semakin masif di Jawa, tidak saja di kawasan perdesaan, tapi juga di perkotaan.

Wong cilik semakin tersingkir dalam suatu negara berdasarkan Pancasila dengan sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Namun, Bejo salah seorang warga bangsa yang tidak mau menggantungkan nasibnya kepada orang lain. Dia bekerja, menyapu, kadang-kadang memangkas tanaman jika diminta warga.

Tulisan pengalaman Buya Syafii berbincang dengan orang-orang biasa sungguh menyentuh nian. Selain supir, tukang cat, dan tukang sapu, ada juga kisah Buya bersama tukang cukur, penjaja keset, tukang asah pisau, bapak bengkel sepeda, dan kisah sosok lain yang menyentuh akar kemanusiaan kita.

Saya, yang juga orang biasa, belajar banyak dari kisah-kisah Buya tentang orang-orang biasa yang luar biasa itu. Bisa jadi inisial “D” tukang cat itu adalah saya. Tukang pikir yang menjelma menjadi tukang cat yang sedang berjuang dan bertarung supaya takhta kemanusiaan ini menjadi lebih kaya. Amin.

Baca juga

Kegelisahan Buya Syafii, Krisis Arab, dan Masa Depan Islam

Buya Syafii Maarif, Gejala Ateisme, dan Hoax

Usia Senja dan Kegelisahan Buya Syafii Maarif

Tentang Gus Mus, Quraish Shihab, dan Buya Syafii

Belajar Meneguhkan Toleransi dari Buya Syafii

David Krisna Alka
David Krisna Alka
Penyuka kopi susu gula aren. Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.