Sabtu, April 20, 2024

Bungkus Berganti Isi Tidak, Provinsi Minangkabau?

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Fadli Zon, anggota DPR RI Fraksi Gerindra belum lama ini mengeluarkan pernyataan soal pergantian nama Provinsi Sumatera Barat menjadi Provinsi Minangkabau. Pernyataannya itu menjadi buah bibir masyarakat Minang, di kampung maupun di rantau.

Apa alasan Fadli Zon yang menjadi anggota DPR dari Dapil “Neraka” Jabar V itu mengusulkan Provinsi Sumbar berganti nama Provinsi Minangkabau? Bukannya di alam pikir orang banyak sudah paham kalau Sumbar itu Minangkabau?

Fadli menyampaikan alasan sosio-historis bagaimana kontribusi besar tokoh-tokoh Minang masa lampau terhadap republik ini, baik sebelum maupun sesudah merdeka. Latar belakang sosial dan sejarah inilah menjadi kebanggaan masyarakat Minang yang diceritakan terus berulang, dari orde dulu sampai orde sekarang.

Ziarah masa lampau kadang menyimpan sejarah kebanggaan, tak jarang kesedihan menerpa. Hal kebanggaan memang penting untuk memacu spirit kehidupan, mewarisi dan melanjutkan keberhasilan yang telah ditorehkan sebagai sejarah gemilang. Namun, apa gunanya sekedar berbangga diri tentang masa lalu tapi nihil prestasi di masa kini. Tantangan berat yang harus dihadapi masyarakat Minang adalah menciptakan kebanggaan-kebanggaan baru, bukan melulu berbangga-bangga menceritakan soal masa lampau yang tak kan berulang itu.

Daripada menyoal berganti mana, lebih baik mengejar kerja-kerja utama di Sumatera Barat, terkait pengentasan kemiskinan salah satunya. Kemiskinan menjadi tanggungjawab dasar semua warga masyarakat Minang untuk bisa membantu program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Berdasarkan data yang dirilis BPS Sumbar pada September 2019, jumlah warga masuk kategori miskin di Sumbar sebanyak 343,09 ribu orang dan Maret 2020 meningkat jadi 344,23 ribu orang. Melihat data ini, pentingkah Sumber berganti nama? Apakah dengan berganti nama bakal menurunkan tingkat kemiskinan di Sumbar?

Krisis budaya

Kemajuan suatu daerah ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Hal ini berkaitan dengan sumber daya manusia. Pendidikan dan kemampuan manusianya adalah harta warisan terkaya masyarakat Minang sejak dulu. Tetapi hari ini kita tidak melihat lagi kejayaan itu. Minangkabau sedang mengalami krisis budaya dan krisis akal yang cukup serius.

Kualitas pendidikan dan sumber daya manusia unggul terbentuk oleh keterbukaan dan berdialog terhadap semua pemikiran. Tidak menutup diri. Menerima setiap perbedaan dan memperluas bacaan dari semua sumber pengetahuan. Warisan ini tampaknya sudah langka. Di Minang kini, kita berhadapan dengan orang-orang yang rabun sejarah yang mengakibatkan kebrutalan akal dan tak jarang laku. Emosionalisme primordial menjadi lebih dulu daripada nalar dan akal sehat. Identitas primordial lebih bernafsu ditonjolkan. Ya, barangkali sudah terlalu dalam berkubang dalam lumpur kebanggaan semu itu.

Selain itu, dalam lapang sastra dan kebudayaan, terasa mulai paceklik. Kita tidak melihat langkah nyata pemerintah mengatasi musim paceklik budaya ini. Generasi muda Minang miskin infrastruktur pengembangan bakat sastra dan budaya. Ruang-ruang ekspresi mereka terbatas. Akhirnya, kita lihat, banyak mereka terjerumus akal dan laku negatif seperti pengguna dan pengedar Narkoba. Ya Allah.

Tak heran, kalau Sumatera Barat mencatatkan prestasi sebagai provinsi tertinggi dalam persoalan Narkoba di Indonesia, 37,7 %! Data ini merujuk potensi desa (Podes) 2018 keluaran dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam kasus Sumbar, peredaran dan penyalahgunaan Narkoba tersebar di lebih dari sepertiga desa dan kelurahan. Disamping itu, paling mendasar, hampir 70 persen biaya daerah Sumatera Barat bersumber dari pusat.

Hem, apakah patut dalam kondisi begini masih ingin menonjolkan isu primordial?

Dengan setumpuk persoalan di atas, sebaiknya menfokuskan energi untuk memperbaiki dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang merundung, mungkin juga bisa bikin meradang. Ketimbang menghabiskan energi untuk mengganti sebuah nama, bukan.

Shakespeare, Sastrawan terbesar dari Inggris pernah berkata, apalah arti sebuah nama, bunga mawar akan tetap wangi meski namanya kita ganti. Nabi Muhammad SAW juga pernah mengingatkan kita, sesungguhnya Allah tidak menilai mausia sekedar dari lahir, fisik, dan penampilan, tetapi Allah menilai isi hati umatnya.

Akhir kata, apakah Tuan dan Puan lebih memilih berganti nama tapi isinya sama saja? Atau, memperbaiki diri, menciptakan sejarah gemilang pada masa kini, dan membuktikan bahwa Minang akan berkembang dan maju akal, laku, dan tentu maju prestasinya tanpa harus berganti nama. Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, Gajah di pelupuk mata buram. Wallahualam.

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.