Sebenarnya korupsi bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Sederhana dipahami orang sebagai pencurian. Larangan untuk mencuri dan hukuman juga diumumkan. Kita kenal salah satu Hukum Musa kira-kira empat ribu tahun yang lalu: “Jangan Mencuri”. Dan sepertinya, “Jangan Mencuri” menjadi kata kunci menjaga keharmonisan masyarakat; dalam arti luas, juga menjaga keharmonisan hidup bernegara dan berbangsa.
“Jangan Mencuri” itu jika diperluas maknanya bisa berarti juga “Jangan membunuh” (jangan mencuri nyawa orang lain). Korupsi selain mencuri juga bisa membuat orang lain terbunuh gara-gara bantuan sosial yang tidak sampai.
Kita juga banyak mendengar bagaimana kisah kerajaan-kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan berantakan dan jatuh karena korupsi mulai merajalela. Pajak-pajak yang ditarik dari warga-negara tidak digunakan sebagaimana mestinya tetapi justru menjadi sarana untuk bergaya hidup mewah dan pesta pora yang menjadi budaya para petinggi kerajaan. Rakyat pun sengsara dan makin lama tidak sudi menjadi tunggangan kesejahteraan elit kerajaan. Begitulah Dinasti Tang dan Dinasti Ming jatuh.
Begitu juga VOC, kompeni Dagang di Nusantara, yang mampu memerkaya orang-orang Belanda pada masanya bubar karena korupsi walau akhirnya wilayah kuasa VOC langsung di bawah kendali Pemerintahan Kerajaan Belanda dan pencurian kekayaan alam negeri dan sumber daya lainnya pun justru semakin berlipat-ganda.
Kisah-kisah korupsi yang membawa sengsara itu bila ditarik ke berbagai kasus korupsi yang menghiasi tanah air kita pada hari ini sepertinya hanyalah dongeng pengantar tidur saja. Kisah-kisah korupsi yang ditolak agama dan sejarah itu tidak menjadi “alarm” bagi kita untuk berhenti melakukan tindak korupsi yang bisa menyebabkan rakyat sengsara dan negara bubar.
Hukuman untuk para koruptor juga tidak menakutkan sebab bisa diatur dan dikondisikan; tidak seperti jamannya Ratu Sima pada abad ke-7 dalam sejarah kita, karena terasa jelas bahwa korutor tidak mencuri sendirian tetapi menjadi bagian dari elit berkuasa atau partai politik yang menguasai jalur-jaur kekuasaan dalam bernegara.
Tidak heran, kalau kemudian bekas koruptor bisa kembali lagi menduduki jabatan publik: menjadi bupati atau jabatan di BUMN terlebih bila ada jejaring rakyat dalam lingkaran koruptor itu yang menjadi basis pendukung. Moralitas koruptor sudah dikaburkan dan seakan tidak mengenal batas antara kebaikan dan kejahatan atau kriminalitas.
Dalam tradisi kita, juga dikenal pencuri yang baik dan jahat. Yang baik dikenal dengan bandit-bandit sosial yang mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin. Sementara pencuri jahat, hanya untuk kesenangan dan keserakahan. Negara yang sering diidentifikasi sebagai wilayah suci pun bisa bekerja sama dengan para bandit sosial ini atau bandit jahat tergantung perspektif penguasanya dalam berekonomi politik.
Untuk itu dalam kaca-mata Machiavelian, kita bisa berkata bahwa politik tidak mengenal moralitas. Karena itu curilah harta sebanyak-banyaknya, kemudian bagikan ke rakyat untuk meraih jabatan dan kekuasaan; lalu sejahterakan rakyat dengan kekuasaan itu, pastilah sang pencuri atau koruptor itu bisa menjadi manusia setengah dewa yang kelak juga akan dipuja rakyat. Bukankah begitu juga tradisi cerita kita berkaitan dengan Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa Singhasari yang menjadi cikal bakal Majapahit?
Koruptor yang berpolitik dan menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan ini tak peduli apakah negara akan bubar atau tidak dengan tindakan korupsi mereka . (Sebab) negara hanyalah sarana dan alat mereka untuk mengeruk kekayaan dan mengkapitalisasi atau melipatgandakan kekayaan yang berguna untuk mengontrol dan mengatur kekuasaan. Mereka lentur dengan bentuk negara kesatuan atau federasi atau bahkan negara bubar. Mereka juga lentur dalam hal moralitas: pengampunan bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Karena pada dasarnya para koruptor berpolitik ini hanya mengabdi pada keuntungan dan laba dan selalu menjadi pendukung atau bagian dari sistem yang dapat membesarkan kapital mereka entah bagaimana caranya.
Barangkali koruptor berpolitik ini yang kita juga tidak tahu di mana ruang kendali utamanya bisa disebut juga Oligarki. Oligarki yang sedikit orang itu bisa mengatur warga negara yang banyak jumlahnya kalau warga negara itu telah menjadi buruh-buruh yang terindustrialisasi tanpa melek konstitusi yang menjadi landasan hidup berbangsa dan bernegara.
Oligarki pun akan semakin nyaman, aman dan berbahagia selama-lamanya, tak berubah dan tak terbantahkan bila buruh-buruh dan cadangan buruh-buruh yaitu mahasiswa dan pelajar itu juga tidak mengenal ajaran sesat tentang pencurian nilai lebih dalam sistem yang mengabdi pada pengejaran keuntungan dan laba.
Ilustrasi: Devide et Impera karya Ki Suhardi