Jumat, April 19, 2024

Budi Waseso dan Inkonsistensi Kebijakan Pemerintah

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

Tahun 2019 dan setelahnya menjadi tahun-tahun krusial bagi Bulog terbukti sudah. Ini terbaca dari dua curhatan Direktur Utama Bulog Budi Waseso sepanjang September 2019.

Pertama, ia khawatir Bulog bakal bangkrut. Pasalnya, dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan publik (PSO), Bulog tidak ditopang dana APBN, tetapi memakai dana bank berbunga komersial. Beban bunga bank tiap bulan hingga Rp250 miliar.

Kedua, diduga ada oknum memanipulasi beras bantuan pangan nontunai (BPNT) milik Bulog. Memakai kemasan Bulog, beras medium itu ditulis dan dijual dengan harga premium.

Ini semua tak bisa dilepaskan dari perubahan drastis kebijakan pemerintah terkait tugas pelayanan publik Bulog dalam melayani warga miskin. Dimulai 2017, transformasi Beras Sejahtera (Rastra)—yang semula bernama Raskin—menjadi bantuan pangan nontunai ditargetkan tuntas tahun 2019. Itu berarti 15,5 juta kelompok penerima manfaat (KPM) yang semula menerima subsidi dalam bentuk beras berubah menerima uang. Jika pun tersisa, hanya di daerah-daerah 3T: tertinggal, terisolasi, dan terluar. Mereka masih dapat subsidi dalam bentuk beras bernama Bansos Rastra. Ini berarti Raskin/Rastra hanya tinggal cerita.

Bagi Bulog, perubahan itu menjadi genting karena tugas-tugas PSO telah menyita seluruh energi awak BUMN tersebut. Lewat BPNT dan Bansos Rastra, secara teoretis tak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang dalam setahun bisa mencapai 2,5–3,4 juta ton. Ketika tugas-tugas PSO dikempiskan, agar tetap eksis, Bulog harus mengembangkan dan bisa bertumpu pada usaha komersial.

Masalahnya, kebijakan pemerintah yang bersifat ad hoc, pragmatis, dan berubah-ubah dalam tempo amat cepat, membuat manajemen sulit beradaptasi, apalagi mengembangkan usaha komersial. Meskipun dirintis sejak puluhan tahun lalu, divisi komersial belum menjadi andalan. Baru 15% dari seluruh usaha Bulog.

Dibandingkan Raskin/Rasta, skema BPNT dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat miskin/rentan bisa memilih sendiri beras dan pangan lain. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan tidak perlu menyediakan uang untuk menebus seperti pada Raskin/Rasta. Selain itu, dana APBD pendamping dari kabupaten/kota dapat dihapus dan direalokasikan untuk yang lain.

Masalahnya, perubahan PSO secara drastis ini menabrak aturan dan inkonsisten dengan tugas Bulog. Ada dua aturan yang dilanggar. Pertama, Inpres No. 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Dalam diktum kelima disebutkan Bulog sebagai pelaksana kebijakan pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.

Kedua, Perpres No. 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional. Di Pasal 2 ayat 3 disebutkan, Bulog bertugas menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk beras, jagung, dan kedelai. Di Pasal 3 ayat 2 disebutkan, Bulog dapat menyalurkan Pangan yang dikelolanya untuk masyarakat berpendapatan rendah untuk beras, industri pakan ternak untuk jagung, dan pengrajin tahu dan tempe untuk kedelai. Aturan ini masih berlaku.

Merujuk aturan itu, Bulog masih menjadi operator pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi untuk masyarakat miskin, yang dalam dua aturan tersebut disebut “masyarakat berpendapatan rendah”. Tugas pengadaan dan penyaluran merupakan dua sisi dari mata uang: saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Jika salah satu tugas ditiadakan, pasti mengganggu keseluruhan kinerja Bulog. Jika gangguan berlangsung terus-menerus, bisa saja muncul komplikasi. Situasi itulah yang terjadi pada Bulog akhir-akhir ini: tugas penyerapan beras masih melekat, tapi outlet penyaluran dipangkas.

Sebagai gambaran, stok akhir beras Bulog tahun 2018 sebesar 2,1 juta ton. Ini jumlah yang amat besar. Satu dekade terakhir, stok akhir tahun berkisar 1,3 juta-1,5 juta ton beras. Stok akhir 2018 menjadi besar karena penyaluran PSO sepanjang tahun hanya 1,5 juta ton, terdiri dari 1 juta ton Bansos Rastra dan 0,5 juta ton operasi pasar.

Stok akhir yang kemudian menjadi stok awal 2019 ini membawa konsekuensi serius. Beras selain bersifat bulky juga mudah rusak. Tanpa outlet penyaluran yang jelas dan pasti, akan dikemanakan beras Bulog? Saat ini di gudang Bulog menumpuk 2,4 juta ton beras.

Paparan ini menuju satu titik: menyelesaikan 6 ketidaktepatan dalam penyaluran Raskin/Rastra dengan menanggalkan peran Bulog telah menimbulkan masalah baru. Bukan hanya tugas PSO Bulog kempis, masalah yang tidak kalah penting adalah tiadanya lagi instrumen stabilisasi harga gabah dan beras.

Beras adalah salah satu komoditas biang inflasi. Ketika Raskin/Rasta tidak ada lagi, tidak ada pula instrumen mengendalikan harga gabah/beras. Harga gabah/beras mudah terombang-ambing oleh perilaku culas para tengkulak dan pedagang. Harga gabah rentan jatuh saat panen raya. Petani akan sengsara jika Bulog tak lagi menyerap gabah mereka. Ini konsekuensi hilangnya outlet penyaluran.

Sebaliknya, harga beras rawan melejit tinggi. Jumlah penyaluran Raskin/Rasta 232 ribu ton/bulan atau 10% dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga. Ketika harga stabil, inflasi akan terkendali. Ketika 15,5 juta keluarga tidak lagi menerima subsidi dalam bentuk beras, mereka pergi ke pasar membeli beras. “Serbuan” mereka potensial membuat harga beras tertarik ke atas. Inflasi bakal meroket karena instrumen stabilisasi absen.

Bagi rakyat, terutama yang miskin, kenaikan harga beras dan kenaikan inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Setiap 1% kenaikan harga beras terdapat potensi kenaikan jumlah orang miskin hampir 300 ribu orang (Yusuf 2018).

Agar hal itu tidak terjadi, ada dua jalan keluar. Pertama, memperbesar cadangan beras pemerintah (CBP) dari 0,35 juta ton jadi 1,5–2 juta ton. CBP sebagian besar diisi beras kualitas premium. Penggunaan CBP premium, selain untuk operasi pasar, bisa digunakan buat beragam program pemerintah seperti food for work, ekspor, program antikemiskinan dan bantuan internasional. Opsi ini menuntut anggaran yang tidak kecil.

Kedua, menugaskan Bulog untuk mengisi beras di outlet pembelian pangan nontunai bagi para KPM. Cara ini tidak mengubah secara signifikan skema penyaluran Raskin/Rasta, terutama dalam kaitan fungsi Raskin/Rasta sebagai stabilisasi harga gabah/beras. Lebih dari itu, cara ini juga membuat eksistensi Bulog sebagai penyangga harga pangan tetap terjaga.

Bacaan terkait

Buwas Vs Enggar, Kisruh Kebijakan Impor Beras

Impor Beras dan Validitas Data   

Ontran-ontran Beras

Impor Beras yang (Tak) Waras

Jokowi dan Politik-Ekonomi Impor Beras       

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.