Budi Darma baru saja meninggalkan kita semua beberapa hari seusai kita merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-76 tahun, Sabtu (21/8/2021). Kedukaan ini betul-betul menyelimuti dunia sastra Indonesia, lebih-lebih manakala para pembaca menghajatkan air mata kearifan lewat tulisan-tulisan beliau di saat segenap anak bangsa bertungkus lumus menghadapi pandemi Covid-19.
Perjumpaan terakhir saya dengan Budi Darma berlangsung pada 2014 dalam sebuah kuliah umum di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Lewat perjumpaan ini dan pembacaan atas tulisan-tulisan serius beliau berikutnya, saya beroleh kesan bahwa Budi Darma adalah sastrawan Tanah Air yang mengabadikan hidupnya untuk membangkitkan kesadaran sastrawan dan pengarang bahwa sastra Indonesia adalah bagian sastra dunia yang punya hak sejarah untuk mewarnai jalannya sastra dunia
‘Bayangan Masa Lalu’
Pikiran-pikiran Budi Darma tentang sastra dunia relatif kurang mendapatkan perhatian. Ini cukup ironis mengingat beliau adalah seorang akademisi sastra yang kerap menjadi dosen tamu di pelbagai universitas di luar negeri. Hemat Budi Darma (2006), banyak pengarang dan sastrawan antarbangsa yang kembali ke masa lalu dalam proses kreatifnya. Ia menyebut beberapa tamsil. Dai Sijie menulis Balzac and the Little Steamstress tentang Revolusi Kebudayaan di Tiongkok. Yukio Mishima, merasa resah sebelum merampungkan Madame de Sade, drama tentang istri Marquis de Sade, tokoh sastra sadis di Prancis abad ke-19. Bahkan seorang novelis pop, Dan Brown, tidak bisa menghilangkan Leonardo da Vinci dari benaknya, hingga ia berhasil menulis novel laris, Da Vinci Code.
Daniel Defoe, seorang penulis besar abad ke-18, menjadi sumber inspirasi bagi JM Coetzee, pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra pada tahun 2003. Novelnya, Foe (1986), dan pidato Nobelnya, “He and His Slave,” tidak dapat dipisahkan dari Daniel Defoe dan novelnya, Robinson Crusoe. Heart of Darkness, karya Joseph Conrad, memengaruhi penulisan Heart of the Country (1977) karya Coetzee, sebagaimana Waiting for Godot karya Samuel Beckett menginspirasi Coetzee menyelesaikan Waiting for the Barbarians (1980). Budi Darma menegaskan bahwa besarnya pengaruh Crusoe, Conrad, dan Beckett tersebut tidak menunjukkan kelemahan Coetzee tetapi malah memperlihatkan kecemerlangannya dalam memanfaatkan sastra masa lalu.
Perjalanan menuju masa lalu membuat fiksi sejarah sebagai keniscayaan yang membawa pembaca tenggelam dalam latar sejarah dengan cara yang berbeda daripada buku nonfiksi lainnya. Namun demikian, Budi Darma mewanti-wanti bahwa penulisan fiksi sejarah kerap kali membuat pengarang terjebak pada hal-hal yang justru mengaburkan hakikat fiksi sejarah itu sendiri. Ini terlihat dari kecenderungan pengarang yang tidak melakukan riset secara mendalam, memilih untuk menulis tokoh-tokoh penting ketimbang rakyat biasa hingga romantisasi masa silam.
Ada perbedaan antara riset ringan dan riset serius. Melakukan riset secara daring bukanlah riset yang serius. Mengingat pengarang bakal memilih ruang dan waktu untuk novel yang ditulisnya, ia perlu menemukan buku-buku yang relevan dengan subjek tersebut. Riset ini krusial karena seorang pengarang akan menulis dari sudut pandang seseorang yang benar-benar tinggal di rentang waktu masa lalu. Pengarang perlu menyadari kompleksitas masyarakat yang ditulisnya.
Menurut Budi Darma, membaca fiksi tentang kehidupan raja/ratu sama saja membaca biografi para tokoh masyarakat. Sungguhpun ini soal selera, godaan untuk menulis kehidupan orang-orang besar bisa disikapi dengan cerdas. Girl With a Pearl Earring oleh Tracy Chevalier adalah contoh yang menarik. Meskipun novel ini berkisah tentang seorang pelukis terkenal Johannes Vermeer, tapi pengarang tidak menjadikannya sebagai protagonis. Chevalier menciptakan karakter fiktif Griet dan menceritakan kisahnya dari sudut pandangnya sebagai pengarang. Ini adalah contoh yang baik tentang bagaimana menggunakan peristiwa atau orang terkenal tanpa harus membahayakan akurasi sejarah.
Sementara, romantisasi masa silam membuat pengarang gagal menampilkan orisinalitas dalam masyarakat yang kompleks. Budi Darma mengakui ada kebiasaan menulis novel sejarah tampak lebih baik dan indah daripada keadaan yang sebenarnya. Padahal fiksi sejarah sudah ada selama berabad-abad. Sepanjang sejarah, kita dapat melihat bahwa rasisme, misogini, homofobia, kekejaman terhadap binatang tersebar di seluruh dunia. Saat menulis fiksi sejarah, pengarang cenderung mengurangi atau bahkan mengabaikan sama sekali agar karya mereka lebih sesuai dengan khalayak modern. Memang orang enggan membaca tentang hal-hal menyakitkan seperti itu. Meskipun demikian, sangat penting bahwa kita tidak melupakan penindasan dan ketidaksetaraan masa lalu hanya karena kisah itu tidak menyenangkan hari ini.
‘Pencarian Diri’
Mencermati bahwa sastra berada di bawah bayang-bayang masa lalu, Budi Darma mengingatkan bahwa sastra selalu dalam proses mencari rumah atau akarnya. Menulis sastra adalah proses pencarian diri (individual quest) demi beroleh kepuasan. George Sand (Lucile-Aurore Dupin), misalnya, menegaskan bahwa dalam kapasitasnya sebagai pengarang, dia hanya seorang wanita yang mengamati hidupnya sendiri dan mengungkapkannya. Dengan menulis dia bernapas sehingga semua tulisannya adalah masalah pribadinya. Sementara itu, Proust menulis untuk dirinya sendiri dalam kesepiannya. Gao Xingjian memafhumi sastra sebagai suara individu. Sastra adalah sarana pencarian individu.
Sungguhpun bergeliat dengan jati dirinya, pengarang tidak bisa melepaskan dirinya dari lingkungan dan jati dirinya. Ia tidak bisa menjadi juri bicara dari apa yang tidak diketahuinya. Mengenai hal ini saat menganalisis novel-novel Jane Austen, Budi Darma dalam disertasinya (1980) menulis nasihat Jane Austen kepada keponakannya untuk tidak menulis tentang apa pun yang tidak dikenal, sesuatu yang hari ini masih valid. Jane Austen tidak pernah mengikuti karakternya ke London karena dia tidak terbiasa dengan kota ini.
Dalam kumpulan cerpennya, Orang-Orang Bloomington, Budi Darma secara ketat menulis apa yang diketahuinya. Ini terlihat, misalnya, dari dialog antara seorang warga Indonesia dengan Ny. Nolan. Ketika tokoh aku menelpon Ny. Nolan untuk menawarkan bantuan membersihkan pekarangannya, alih-alih merasa senang, Ny. Nolan berang seraya menanyakan apakah pekarangannya kotor dan menjijikkan. Tokoh aku melongo kenapa bantuannya disalahartikan. Ny. Nolan menjawab, “Kalau saya memerlukan bantuan seseorang, tentu saya akan memasang iklan.”
Orang Amerika yang tiba-tiba ditawari bantuan oleh orang Indonesia untuk melakukan pekerjaan yang dapat dilakukan sendiri oleh akan memandang tawaran bantuan dari seorang sebagai hal yang ganjil, dan dapat membuat orang itu tersinggung. Dari sini kita belajar salah satu ‘American value’, yakni individualisme. Seorang individualis cenderung lebih mandiri daripada seorang kolektivis, meskipun kemandirian ini tidak selalu menguntungkan dalam setiap situasi. Lewat cerita ini, Budi Darma mengajarkan pentingnya komunikasi lintasbudaya.
***
Sebagai seorang sastrawan yang akademis, Budi Darma telah meninggalkan banyak gagasan penting, di antaranya bahwa para sastrawan tidak pernah selesai mereguk kebijaksanaan dari masa lalu di satu sisi dan selalu berdialog dengan hari ini guna mendefinisikan jati dirinya dan memahami lingkungan ia tumbuh kembang di sisi lain. Di saat saya dan juga para pembaca karya beliau tengah menunggu terjemahan bahasa Inggris dari kumpulan cerpen beliau Orang-Orang Bloomington oleh Penguin Classics, Allah berkenan menjemput beliau ke pangkuan-Nya. Semoga Allah membalas kerja-kerja keilmuan beliau yang bermanfaat bagi siapapun sebagai penikmat sastra dan pecinta budaya di Tanah Air.