Kamis, Maret 28, 2024

Bisnis Hewan Kurban

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

Para Sales Promotion Girl (SPG) berpakaian ala koboi menunggu pembeli di Mall Hewan Kurban H. Doni, Jalan Akses UI, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Strategi penjualan hewan kurban menggunakan SPG berbusana ala koboi tersebut dilakukan pemilik mall hewan kurban untuk menarik minat pembeli menjelang Idul Adha. [ANTARA FOTO/ Indrianto Eko Suwarso]
Tak ada lagi kejadian manusia terinjak-injak dan terluka atau meninggal antre daging kurban. Manajemen kurban kian membaik. Namun, perbaikan itu belum menyentuh masalah dasar: bisnis hewan kurban.

Bisnis hewan kurban amat menarik. Keuntungannya selangit. Karena itu, momentum Idul Adha setahun sekali selalu dinanti-nantikan banyak pihak: peternak (sapi/kerbau/kambing/domba), belantik, pedagang perantara dan musiman.

Galibnya dalam komoditas pangan, distribusi keuntungan bisnis hewan kurban tidak adil. Porsi keuntungan terbesar dinikmati pedagang (perantara dan musiman), belantik dan juga pejagal, bukan oleh peternak. Ini terkait mata rantai pasokan ternak yang panjang dari peternak ke konsumen, sehingga transparansi harga, cara bayar, kualitas, dan risiko usaha tak diketahui peternak. Pendek kata, sistem distribusi hewan kurban masih jauh dari efisien.

Ini semua tidak bisa dilepaskan dari karakteristik bisnis hewan kurban. Pertama, konsumen hewan kurban umumnya orang awam. Mereka tidak memiliki “ilmu” menaksir berat badan dan karkas (daging) ternak hidup. Sebaliknya, ilmu taksir-menaksir menjadi makanan sehari-hari pejagal, belantik, dan pedagang. Ke-awam-an konsumen ini mudah “dieksploitasi” penjual. Bentuknya macam-macam, yang paling sering tentu eksploitasi harga.

Kedua, bisnis hewan kurban tidak mengenal hukum supply-demand. Penjual akan menawarkan harga hewan kurban setinggi-tingginya kepada pembeli. Penjual sadar para pembeli selain “awam”, mereka “orang-orang mampu” dan berdaya beli tinggi. Hampir pasti konsumen membeli, tidak mungkin menangguhkan berkurban tahun depan.

Jika harga tidak terjangkau, konsumen akan mengalihkannya kepada ternak yang lebih murah. Selain itu, transaksi jual-beli hewan kurban terjadi dalam kurun waktu pendek. Ini membuat penjual dalam posisi tawar tinggi. Penjual memiliki kekuatan besar untuk mempermainkan harga.

Karena karakteristik itu, harga daging (baca: hewan kurban) saat Idul Adha dipastikan lebih mahal ketimbang menjelang atau saat Idul Fitri. Anehnya, meskipun harga melambung, pemerintah tak sibuk seperti menghadapi Idul Fitri. Saat Idul Fitri, kenaikan harga daging membuat pemerintah panik. Agar tidak berdampak besar pada inflasi, pemerintah menggelar operasi pasar.

Barangkali penyebab utamanya adalah pembeli hewan kurban orang-orang mampu. Sebaliknya, menjelang dan saat Idul Fitri seolah-olah ada keharusan bagi semua keluarga, tak terkecuali yang miskin, untuk menyediakan masakan berkomponen daging.

Harga ternak hidup dan daging sapi seperti layaknya tanah, dari tahun ke tahun selalu naik. Penyebab utamanya karena daging sapi memiliki elastisitas pendapatan di atas satu. Artinya, jika pendapatan meningkat, konsumsi daging ikut meningkat.

Bagaimana agar kenaikan harga daging berlangsung normatif, khususnya di Idul Fitri dan Idul Adha sehingga ekonomi tidak terganggu inflasi dan peternak bisa menikmati margin keuntungan adil?

Pertama, mengedukasi konsumen ihwal kualitas hewan kurban yang hendak dibeli. Konsumen bisa mengajak mereka yang mengerti ilmu hewan ternak saat membeli. Jika ini tidak mungkin dilakukan, transaksi jual-beli harus didasarkan timbangan berat badan hewan kurban. Cara ini akan menutup peluang pedagang mengeksploitasi konsumen karena pembelian tidak lagi berdasarkan taksiran. Ini sepele, tetapi bukan pekerjaan mudah. Para pedagang biasanya, sengaja atau tidak, tidak menyediakan timbangan di tempat berjualan.

Kedua, mengatur bisnis hewan kurban. Pengaturan ini dilakukan dengan cara mengharuskan penjual hewan kurban menempatkan jualannya di lokasi yang layak tidak ubahnya kandang. Bukan dibiarkan tersengat panas matahari dan terpapar hujan seperti selama ini. Pakan juga harus terjamin. Dengan cara itu, hewan kurban akan diperlakukan dengan baik, produktivitas daging tetap terjaga dan manfaat buat mustahik semakin besar.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.