Betulkah Bumi Manusia sekadar roman percintaan seorang remaja baru sunat bernama Minke? Izinkan saya menjawabnya dengan menguraikan “biografi” Minke yang akan diperankan Iqbaal Ramadhan itu secara lengkap, dari remaja berprestasi di “salah satu SMA” di Surabaya hingga mampus mengenaskan pada 1918 di Mangga Dua, Batavia. Tanpa harta, tanpa kawan. Ia dibekuk oleh cita-cita yang kandas dan asmara tak sampai selepas menjalani hukum buang di Bacan, Maluku.
Saya rangkumkan secara lengkap mulai dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, hingga Rumah Kaca supaya kita bisa utuh memandang tokoh ini yang kelak orang menautkannya sebagai “biografi fiksi” dari jurnalis Tirto Adhi Soerjo.
Dari situ kita bisa membentangkan kontur sosial kolonial dan kompleksnya roman Pramoedya Ananta Toer ini. Minke yang selalu gagal dalam asmara, Minke yang memberi penghormatan kepada kaum peranakan (Tionghoa), Minke yang drop out dari sekolah kedokteran Stovia karena kesibukan menulis dan pergerakan, Minke yang berkarier jurnalistik yang dimulai dari seorang copywriter, Minke yang pemikir pergerakan nasional dan Islam sebelum Boedi Oetomo lahir, Minke pengusaha pers yang selalu tak kembali modal, dan seterusnya, dan sebagainya.
Inilah mini biografi Minke yang akan segera identik dengan Iqbaal Ramadhan untuk mereka yang tak berpikir mini.
Minke. Seorang pemuda terpelajar, siswa kelas akhir H.B.S. Surabaya. Lahir 31 Agustus 1880. Pribumi tulen, anak Bupati B. Banyak belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, juga banyak bergaul dengan orang Eropa. Bahasa Belandanya sangat bagus. Benci dengan segala sesuatu yang berbau feodal, juga adat istiadat Jawa yang kebudak-budakan: harus menyembah-nyembah dan berjalan merangkak di hadapan pembesar. Kepriyayian bukan dunianya.
Oleh karena itu, Minke tak pernah sedikitpun bercita-cita menjadi bupati seperti ayahandanya. Minke lebih suka menjadi penulis, menjadi orang yang tidak diprintah dan tidak memrintah, menjadi manusia bebas. Sewaktu di H.B.S. ia sudah banyak menulis teks iklan dan artikel pendek untuk koran lelang. Karier awalnya adalah copywriter.
Sejak perkenalannya dengan keluarga Nyai Ontosoroh, Minke mulai rajin menulis/mencatat tentang orang-orang yang dikenalnya, baik yang simpati ataupun antipati. Dan cerpennya yang pertama berjudul Een Buitengewoon Gewoone Nyai die Ik ken (Seorang Nyai Biasa yang Luar Biasa yang Aku Kenal) dimuat di koran S.N.v/d D. dengan nama pena Max Tollenar. Setelah itu, cerpen maupun artikelnya sering muncul di koran.
Kunjungan pertamanya ke BoerderijBuitenzorg langsung membuat Minke kagum pada Nyai Ontosoroh, seorang nyai pribumi berwawasan luas layaknya perempuan terpelajar Eropa. Sekaligus ia juga jatuh cinta pada Annelies, dara cantik jelita putri Nyai Ontosoroh. Dayung bersambut, Annelies juga cinta pada Minke dan Nyai Ontosoroh pun suka pada Minke sebagai calon menantunya. Atas permintaan Nyai Ontosoroh, Minke akhirnya tinggal di rumah mereka.
Sasus hubungan Minke dengan keluarga Nyai Ontosoroh tercium pihak sekolah. Minke dikeluarkan dari H.B.S. karena berdasarkan jawaban-jawaban Minke di pengadilan sebagai saksi kasus pembunuhan Herman Mellema; Minke telah tidur sekamar dengan Annelies. Minke dianggap sudah terlalu dewasa bergaul dengan sesama murid H.B.S. Namun tak lama kemudian, tepatnya sepuluh hari setelah terbit tulisan Max Tollenar tentang totok, pribumi, dan Indo, Minke dipanggil kembali oleh pihak sekolah. Minke dinyatakan diterima kembali sekolah di H.B.S.
Dalam waktu bersamaan Minke ditawari bekerja sepenuhnya di koran S.N.v/d D, jika ia telah dipecat oleh pihak sekolah. Minke belajar semakin rajin. Di pesta kelulusan, Minke dinobatkan sebagai siswa dengan prestasi terbaik. Kebahagiaan Minke bertambah-tambah karena Direktur Sekolah mengumumkan undangan pesta pernikahan Minke di tengah-tengah pesta kelulusan.
Kebahagiaan Minke dengan Ann hanya berlangsung enam bulan. Ir. Maurits Mellema (saudara tiri Ann dari pernikahan sah) meminjam tangan Pengadilan Amsterdam memisahkan Ann dengan orang-orang yang dicintainya, ibu dan suaminya dengan cara yang amat kejam. Selama-lamanya.
Minke kemudian meneruskan sekolah ke S.T.O.V.I.A, sekolah Pendidikan Dokter Pribumi di Batavia. Tahun 1901. Meski terlambat masuk, Minke dengan cepat dapat mengejar ketertinggalannya. Bahkan, ia dibebaskan dari klas persiapan yang biasanya ditempuh selama dua tahun. Di masa-masa awal, waktu Minke hanya untuk belajar dan belajar. Setelah memasuki bulan keenam, siswa tingkat satu mulai mendapat kelonggaran keluar asrama pada Sabtu sore dan sepenuh Minggu. Di Sabtu sore, siswa biasanya gentayangan mengeluyur entah ke mana.
Ya, siswa Sekolah Dokter dengan uang saku sepuluh golden sebulan, makan tanggungan asrama, sudah bisa bertingkah semau dan sesuka hatinya. Bisa mencicil sepeda sebagus-bagusnya, atau mengirmkan lima gulden untuk membantu keluarga, atau dapat kawin dan mendirikan rumah tangga sederhana, bahkan tanpa itu pun orang sudah dapat memikat calon istri. Penduduk kampung Ketapang, Kwitang, kampung Abang Puasa adalah pemburu menantu calon dokter.
Maka juga Kwitang menjadi daerah perburuan para siswa. Bukan hanya karena banyaknya orang yang ingin jadi mertua calon dokter, bukan hanya karena gadis-gadisnya, juga bukan karena orang-orang di sini menghormati para éléve.
Ada alasan pokok: setiap siswa butuh satu keluarga. Di sana ia dapat melepas pakaian kebangsaan berganti pakaian Eropa, jadi sinyo. Dengan pakaian Eropa orang bebas bergentayangan, beridentitas netral, apalagi dalam mencari nyai-nyai. Semua orang kampung Kwitang kenal adat para siswa ini. Dan, keluarga-keluarga bersaing, gigih berebut kesempatan menjamu. Dengan layanan dari anak gadis masing-masing yang telah di ambang masa kawin. Seorang siswa tinggal hanya mengangguk, besok atau lusa ia telah punya seorang istri, tunggal atau yang kesekian. Tidak terkecuali Minke.
Minke mendatangi Ibu Badrun, wanita tua, janda, hidup dari pensiun mendiang suaminya, dengan dua orang anak lelaki pungut. Teman-temannya heran, mengapa keluarga seperti itu yang Minke pilih. Bila hendak mengeluyur entah ke mana, di situlah Minke berganti pakaian Eropa. Di tempat itu pula Minke meninggalkan sebuah sepeda yang diangsur dari toko sepeda Van Hien. Juga ke rumah Ibu Badrun-lah surat-surat Minke dialamatkan.
Memasuki bulan kesembilan, Minke berkenalan dengan seorang wanita China, Ang San Mei. Bukan karena kebetulan Minke kenal dengan gadis Ang. Tapi, Ang San Mei adalah orang yang seharusnya dia cari; kepadanya ia harus menyampaikan surat mendiang sahabatnya di Surabaya, Khouw Ah Soe. Mei yang ramping, mendekati kurus, cantik, sipit, dan pucat, didukung dengan pengetahuan dan kepribadian telah memikat hati Minke sejak pertemuan pertama.
Ketika Mei sakit, Minke merawat dan mengusahakan obat untuknya. Ketika kontrak Mei sebagai guru Bahasa Inggris di Tiong Hoa Hwee Koan dibatalkan secara sepihak karena Mei dianggap punya hubungan dengan seorang pribumi, Minke menjadi tertantang sekaligus merasa bertanggung jawab membantu Mei; gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara di negeri orang. Minke kemudian membawa Mei tinggal di rumah Ibu Badrun. Untuk tambahan penghasilan, Minke bekerja menulis teks advertensi di koranlelang.
Sebelum tutup tahun pengajaran, Tuan Direktur memanggil Minke, mengingatkan Minke tentang hubungannnya dengan Mei yang bisa mengganggu pelajarannya. Minke tak menggubris. Hubungannya dengan Mei berjalan terus.
Tak lama kemudian, Minke dan Mei menikah. Seterusnya, Mei tinggal di rumah Ibu Badrun. Mei rajin belajar bahasa Melayu. Pada hari-hari tertentu di pagi hari Mei memberikan pelajaran privat bahasa Mandarin dan Inggris anak-anak Tionghoa dari keluarga kaya di sekitar Kramat. Di sore hari dia duduk sambil membaca, menunggu kedatangan Minke dari kantor koran lelang. Pada jam sembilan malam, bila Minke kembali pulang ke asrama, Mei mengantarnya sampai pintu pagar.
Tahun 1904 adalah tahun penting dalam kehidupan Minke dan Mei. Mereka menerima undangan dari Sekretariat Gubernur Jenderal untuk menghadiri resepsi perkenalan Jenderal Van Heutsz menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda menggantikan Gubernur Jenderal Rooseboom. Hanya karena sepucuk undangan yang dialamatkan di sekolah itu, semua orang memandang lain, hormat, kagum, dan terheran-heran. Tuan direktur sekolah dan para siswa menyarankan agar Minke dan Mei datang secara patut.
Di lain waktu, di suatu senja Minke dipanggil menghadap Jenderal Van Heutsz. Dalam pertemuan singkatnya, Van heutsz meminta pendapat Minke sebagai terpelajar pribumi menghadapi kemungkinan kemenangan Jepang. Minke menjadi sibuk mempersiapkan tulisan sebagai jawaban pertanyaan Van Heutsz. Dan, ia ingin berdiskusi dan bertukar pikiran dengan Mei sebagaimana yang sudah-sudah. Ketika pulang ke Kwitang, Minke tidak mendapatkan Mei di rumah. Dan, itulah pertama kalinya dalam kehidupan perkawinannya Mei keluar malam.
Minke sadar, Mei telah menemukan dirinya kembali sebagai aktivis yang bersemangat memenangkan perjuangan Angkatan Muda bangsanya. Malam-malam berikutnya, Mei pulang larut malam, bahkan tidak pulang. Minke akhirnya enggan pulang ke Kwitang. Ia sadar, kebahagiaan dan kedamaian perkawinannya memang telah berakhir sampai di sini. Bila hendak menemui Minke, Mei datang ke kantor koranlelang di jalan Kramat. Setiap Mei datang, Minke menyerahkan seluruh penghasilannya untuk hari itu kepada Mei. Mei selalu menghitung, mencatat dalam buku, dan seperempatnya dia kembalikan pada Minke sebagai belanja.
Begitulah bulan demi bulan hampir-hampir menginjak setahun. Sampai suatu ketika Mei tidak datang-datang lagi ke kantor selama seminggu. Mei terbaring sakit di kamar, ia menolak dibawa Minke ke rumah sakit. Dan, Minke menuliskan sebuah resep untuk Mei.
Dari situlah awal bencana itu dimulai. Bukan obat yang diperoleh, justru Minke kemudian digelandang ke kantor polisi karena dianggap menulis resep palsu. Minke lantas diambil Direktur Sekolah dari tahanan. Mei tergeletak sakit di rumah sakit. Dua bulan lamanya Minke merawat dan menunggu istrinya di rumah sakit. Pelajarannya semakin tercecer dan tak tersusul lagi terutama dalam praktikum. Penyakit Mei semakin parah dan akhirnya meninggal.
Dalam suasana berkabung, Minke dipecat sebagai siswa dari sekolah. Ia harus mengembalikan biaya pelajaran dan asrama sebesar 4 tahun kali 11 bulan kali 40 gulden. Tanpa ragu, Minke menandatangani surat hutang itu dengan janji pelunasan selama tiga bulan. Ia pun ogah mengikuti anjuran Direktur Sekolah untuk menghadap Gubernur Jenderal supaya memperoleh keringanan. Tak lama berselang, Minke membayar lunas semua hutangnya pada sekolah dengan uang bantuan dari Surabaya.
Minke sama sekali tak bersedih dengan pemecatan dirinya dari sekolah dokter. Justru ia merasa mendapat jalan lapang menjadi manusia bebas. “Jadi menusia bebas lebih cocok bagiku daripada menjadi dokter Gubermen, Tuan-tuan. Kita akan bertemu di masyarakat besar nanti.” ucap Minke di hadapan teman-temannya. Ia berangkat dengan dada membusung.
Minke lalu menjadi pemrakarsa berdirinya Syarikat Priyayi. Organisasi modern pertama milik pribumi yang mendapatkan pengesahan dari gubermen. Dari organ inilah kemudian muncul gagasan membikin suara mencapai masyarakat luas tanpa batas melalui barang cetak. Sebuah perseroan terbentuk, dan koran mingguan “Medan” terbit.
Koran “Medan” berisi penyuluhan hukum dan peraturan. Hanya dalam waktu tiga bulan telah terdaftar seribu lima ratus langganan tetap, tersebar di seluruh Jawa, beberapa kota besar di Sumatra dan Celebes. Kebanyakan langganan koran “Medan” adalah mereka yang ingin selamat dan naik pangkat karena menjalankan peraturan dengan baik, mematuhi hukum yang ada.
Kebutuhan langganan akan penyuluhan hukum semakin membeludak. Seorang ahli hukum harus disewa untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para penanya. Perlakuan sewenang-wenang dalam perusahaan-perusahaan kereta api, perkebunan, kantor-kantor Gubermen, perampasan anak gadis dan istri oleh pembesar setempat, mengisi permohonan-permohonan pertolongan. Dan, “Medan” menjadi dewa penyelamat dalam kehidupan pribumi di Hindia Belanda. Dari koran mingguan, “Medan” terus melaju dan lahirlah koran harian “Medan”.
Sementara itu, Syarikat tidak bisa bergerak sebagimana diharapkan. Minke merasa keliru dalam mencari massa. Anggota Syarikat adalah para priyayi yang statis, tak punya inisiatif, tak punya gairah hidup, ingin menghabiskan hidup dengan tenang dalam dinas Gubermen. Karena itu, Minke sepakat dengan Raden Tomo yang bermaksud mendirikan organisasi beranggotakan anak-anak muda yang masih punya jiwa dan semangat berkobar.
Bersama siswa-siswa STOVIA, Raden Tomo melahirkan Boedi Oetomo. Minke menolak tawaran untuk duduk di dewan pimpinan BO; ia kecewa karena dalam Angaran Dasar Rumahtangganya, BO hanya beranggotakan orang Jawa, dan menggunakan Bahasa Jawa dalam bahasa resminya. BO berkembang pesat terutama di Sala dan Yogyakarta.
Minke yang sejak lama mengimpikan persatuan Hindia Belanda sebagai bangsa ganda, menthok di BO. BO hanya untuk bangsa tunggal. Harus dicari unsur yang dapat mempersatukan Hindia Belanda sebagai bangsa ganda. Pun organisasi yang dibentuk haruslah berwatak bangsa ganda, berbahasa Melayu, bukan dari golongan priyayi, tetapi dari golongan orang bebas, golongan orang merdeka.
Sahabat Minke di Syarikat Priyayi Thamrin M Thabrie mengusulkan kaum pedagang dan beragama Islam. Karena pedagang adalah golongan orang bebas, dan Islam adalah agama mayoritas bangsa Hindia Belanda. Terbentuklah Syarikat Dagang Islamiyah. S.D.I. bermaksud memajukan perdagangan kaum pribumi memperkuat barisan golongan merdeka. Membebaskan penghasil-penghasil kecil dari kesewenang-wenangan tengkulak dan periba, membangunkan modal sebesar-besarnya untuk mendirikan perusahaan-perusahaan. Hasil dari semua usaha akan dipergunakan untuk memajukan perdagangan, kerajinan tangan, pendidikan dan pengajaran. Tak lama, S.D.I.
Minke bertekad menjadi propagandis dan mengunjungi Singapura, Malaya, Siam dan Filiphina. Dalam konferensi kecil di Buitenzorg, Minke menyerahkan mandat Pimpinan Umum Syarikat pada Hadji Samadi di Sala. Sejak mandat ditandatangani, sejak itu pula Pimpinan Pusat berpindah dari Buitenzorg ke Sala.
Untuk penerbitan majalah dan koran, Minke telah mnyerahkannya pada Sandiman dan Marco. Tiga hari menjelang keberangkatan Minke, “Medan” menerbitkan tulisan Marco yang melancarkan serangan kasar pada Gubernur Jenderal Idenburg. Minke pun berang, “Medan” sudah gegabah dan mengambil tindakan bodoh. Apa boleh buat, serangan itu sudah tercetak dan beredar. Pada hari yang sama, Minke ditangkap dan diasingkan.
Selepas itu, Minke tak lagi menjadi subjek. Seorang bernama Pangemanann dengan dua n meringkus biografinya lewat pengarsipan yang rapi hingga ia terbuang. Pangemanann, sang arsiparis, merangkum ulang semua sepak terjang Minke di jalan pergerakan, di lapangan jurnalistik, serta utang-piutang percetakan. Tak lupa, juga catatan dari asmara yang tak pernah sampai. Hingga ia meninggal di Mangga Dua, Batavia, Nyai Ontosoroh yang sudah menikah dengan seniman Prancis, Jean Marais, berziarah ke kuburannya. Menurut kabar, ia dikuburkan oleh seorang yang seperti nasib Minke, tak berumah tak berharta. Sang gembel Jakarta.
Demikian. Semoga dijadikan bahan periksa oleh Iqbaal Ramadhan dan terutama sutradara Hanung Bramantyo.