Jumat, April 26, 2024

Benarkah Kaum Muda Mengubah Indonesia?

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.

Selain kaya dan rupawan, menjadi muda juga merupakan privilese. Di Indonesia, anak muda kerap dikaitkan dengan inovasi, gagasan, dan perubahan yang tidak henti diperbincangkan. Sebuah anggapan yang kian melarutkan anak muda ke dalam sebuah harapan buta atas buruknya kondisi sosial Indonesia: pendidikan, ekonomi, dan politik.

Bukan tanpa sebab, asumsi kasar ini merupakan konsekuensi logis dari modernisme. Perubahan pola mode produksi serta gelombang revolusi teknologi yang berlangsung secara terus-menerus berhasil memaksa para generasi tua untuk segera angkat kaki lebih awal. Sebab, selalu terdapat generasi baru yang dipersiapkan untuk dapat menerima segala pembaharuan—sehingga membentuk siklus tanpa ujung.

Muda sebagai komoditas

Corak produksi yang bergeser menyebabkan perubahan pada banyak tatanan. Sistem yang begitu kapitalistik ini kerap menciptakan kelas-kelas sosial serta komodifikasi pada banyak hal. Pada kasusnya, muda kerap dikapitalisasi menjadi sesuatu yang bernilai jual tinggi. Maka jangan heran apabila banyak lapangan pekerjaan yang memburu para anak muda dengan titel fresh graduate. Sebab dalam kacamata pebisnis, selain gigih anak muda juga dapat dibayar murah.

Dalam konteks politik, muda juga merupakan barang mewah. Di tengah buruknya iklim politik serta korupnya politisi kondang, wajar apabila kehadiran anak muda dalam arena politik dianggap menjadi angin segar. Balutan idealisme serta rasa ingin tahu yang tinggi—sesuatu yang melekat pada anak muda, membuat anak muda seringkali dipercaya untuk setidaknya dapat merumuskan satu kebijakan yang benar.

Menurut data dari KPU, anak muda yang memiliki hak suara pada pemilu serentak kemarin mencapai angka 40% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam negeri. Dalam kalkulasi kekuatan politik, angka tersebut merupakan sebuah konsentrasi suara yang sangat besar. Munculnya para pendatang baru pada pagelaran pemilu tahun lalu juga menandakan bahwa partai politik kerap menjadikan anak muda sebagai modal politik. Atau lebih jelasnya, muda adalah selera pasar.

Masalahnya, partai politik hanya menjadikan anak muda sebagai barang pajangan tanpa isi kepala yang mumpuni. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan minimnya proses kualifikasi para calon oleh internal partai—partai politik yang semakin pragmatis, serta sistem demokrasi yang sejatinya memang mengehendaki para awam untuk dapat masuk ke ranah politik (Mohammad Hatta-dkk, 1984, 102).

Untuk dapat menjadi pejabat publik di Indonesia, gagasan adalah sesuatu yang dapat ditanggalkan selagi para calon dituntut untuk punya banyak uang, sebab kontestasi politik elektoral memang memiliki ongkos yang cukup mahal.

Menakar kelas sosial

Keadaan ini menciptakan pembelahannya sendiri. Terdapat kelompok anak muda yang kaya akan gagasan tanpa privelese pun sebaliknya. Gaya hidup yang sangat berbeda dari dua kelompok ini jelas menciptakan perbedaan cara pandang. Anak muda pinggir kota yang terbiasa hidup di tengah lingkungan menengah kebawah seringkali melihat gejala berbasis realitas.

Sulitnya mencari lapangan pekerjaan, mahalnya harga pangan, serta gilanya biaya pendidikan merupakan hal-hal yang lazim jadi sorotan. Sedangkan kelompok anak muda dengan privilese tentu tidak pernah kesulitan dengan tingginya nominal biaya hidup. Indikator kesuksesan hari ini yang dihitung dari seberapa besar “usaha” dan “kerja keras” kerap menjadi pembenaran untuk membungkam kemiskinan struktural yang sekaligus melanggengkan ketimpangan kelas sosial.

Situasi makin diperkeruh oleh minimnya jumlah peserta didik di Indonesia. Dilihat dari jumlah peseta didik, jumlah anak muda yang mengenyam pendidikan terus merosot seiring meningkatnya jenjang pendidikan formal. Pada tahun 2018, terdapat 15,8 juta peserta didik yang harus putus sekolah (Databooks Katadata, 2019).

Besarnya angka putus sekolah ini tentu menghadirkan lebih banyak pengangguran terbuka yang mencapai 7,04 juta jiwa pada tahun yang sama. Rendahnya angka pendidikan ini membuat kebanyakan anak muda lebih memilih untuk berpikir “bagaimana cara survive di dunia kerja” daripada harus memikirkan negara. Sulitnya mencari lapangan pekerjaan saja sudah cukup membuat penat, apalagi harus terjun ke dunia politik?

Ditinjau lewat angka kursi DPR, terdapat 10 anak muda dibawah umur 26 tahun yang berhasil lolos ke Senayan. Para nama baru ini tentu bukan nama-nama dari kelompok anak muda tanpa privilese. Masing-masing dari mereka merupakan anak para konglomerat, keluarga pejabat politik, dan juga keluarga elit purnawirawan.

Nama-nama seperti Hillary Brigitta Lasut (23), anak dari Elly Engelbert Lasut—Bupati Kepulauan Talaud 3 periode, sampai Puteri Anetta komarudin (26), anak dari Ade Komarudin—mantan ketua DPR RI, turut menghiasi perputaran nama para elit baru pada pagelaran pemilu kemarin. Para pendatang baru tersebut dapat terpilih bukan semata-mata gagasan yang mereka bawa, melainkan karena tiket emas yang sejak awal mereka kantongi: uang, akses, dan popularitas. Tiga modal yang banyak digemari partai politik sebagai jalan pintas untuk dapat merebut kursi.

Kinerja anak muda di parlemen dapat terpantau dari aktivitas pembahasan draft RUU. Lambatnya pembahasan RUU—yang terdaftar pada prolegnas 2020-2024, membuktikan bahwa terdapat iklim politik yang belum juga berubah: dengan ada atau tidak adanya anak muda di parlemen.

Dari 237 daftar prolegnas, baru satu RUU yang rampung. Itupun RUU Mineral dan Batu bara (Minerba) yang banyak menuai kritik karena dianggap sebagai karpet merah untuk para pemilik modal eksploitatif. Belum lagi disusul rampungnya RUU Cipta Lapangan kerja (Omnibus Law) yang tidak kalah mengkhawatirkannya.

Staf Khusus Milenal Presiden yang belakangan populer juga belum banyak berbuat apa pun. Kasus terakhir malah mengungkapkan adanya sebuah konflik kepentingan yang dibawa oleh anak muda di istana negara.

Permasalahan-permasalahan yang lebih pokok untuk dibahas seperti penyelesaian berbagai kasus HAM dan perampasan lahan kian ditanggalkan di bawah meja. Perubahan pada wajah Indonesia tidak akan sampai pada cita jika anak muda yang ada dalam politik tidak berhenti memproduksi status quo sehingga membuat anak muda di luar sana terjebak pada sistem yang kapitalisitik.

Dari titik ini, mari cukupkan romantisme berlebihan tentang anak muda selagi bepikir ulang: muda mengubah Indonesia, benarkah?

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.