Sabtu, April 20, 2024

Belajar Merusak Negara dari Fir’aun (Bagian 1)

Hatib Rahmawan
Hatib Rahmawan
Koordinator Program Pegiat Pendidikan Indonesia, Dosen Universitas Ahmad Dahlan

Fir’aun, tokoh antagonis yang paling terkenal di dalam Al-Qur’an. Ratingnya mengalahkan Abu Lahab yang menjadi musuh Nabi Muhammad. Namanya disebut 61 kali lebih banyak dari Ibrahim yang disebut 56 kali dan Yusuf 20 kali. Tentu, penyebutan nama sebanyak itu menunjukan pengaruh yang kuat dalam sejarah manusia.

Selama ini  pelajaran bernegara hanya diambil dari tokoh baik, seperti Musa sang pembebas dan Muhammad saw sang pembangun peradaban. Sementara tokoh jahat ditinggalkan dan dicemooh begitu saja. Tulisan ini mengambil perspektif yang berbeda, yakni mengambil pelajaran dari tokoh antagonis, khususnya cara merusak negara yang diajarkan oleh Fir’aun.

Ilmu tentang bernegara yang baik sudah banyak diajarkan, tapi hanya sedikit yang ditiru oleh pemimpin negeri ini. Mungkin dengan menjelaskan cara Fir’aun merusak negara, dapat memberikan perspektif baru bagi para pemimpin di negeri ini.

Jika ingin total merusak negara, dia dapat meniru langkah-langkah dan strategi Fir’aun. Namun, jika enggan dicap sebagai Fir’aun abad 21, setidaknya dia akan menghindari siasat Fir’aun yang busuk tersebut. Menghindarkan yang buruk berarti mempelajari yang baik.

Kisah Fir’aun dalam Al-Qur’an

Kisah (qashash) Fir’aun di dalam Al-Qur’an selalu berkaitan dengan tokoh utama Musa as.

Alur cerita (plot) Musa as tersebut jika dibagi berdasarkan kronologisnya ada empat bagian: Pertama, kelahiran musa hingga dibesarkan dalam kerajaan Fir’aun (Surah Al-Qashash (26): 1-13). Kedua, huru-hara Musa as dan pelariannya ke Madyan (Babilonia) (Surah Al-Qashash (26): 14-28). Ketiga, pembebasan Bani Israil hingga kematian Fir’aun dan bala tentaranya (Surah Al-Qashash (26): 29-43; Al-A’raaf (7): 103-136). Keempat, kematian Karun (Surah Al-Qashash (26):76-82).

Beberapa hal penting dari alur di atas yang perlu diketahui pembaca adalah bahwa Fir’aun pada alur pertama dan ketiga adalah tokoh yang berbeda. Menurut Hamka dalam Al-Azhar, kebijakan awal untuk membunuh bayi laki-laki Bani Israil adalah Fir’aun dalam alur pertama dan hal ini kemudian diteruskan pada generasi sesudahnya (Al-A’raaf (7): 129). Fir’aun pada alur pertama lebih dikenal sebagai Ramses II dan Fir’aun pada alur ketiga dikenal dengan sebutan Merneptah.

Dalam Al-Azhar, Hamka menjelaskan, bahwa Musa as melarikan diri ke Madyan pada umur 30 tahun. Dia berdiam diri di sana sebagai buronan selama 10 tahun. Salah satu motif yang membuat Musa kembali ke Mesir adalah karena dia mendengar Fir’aun (Ramses II) telah meninggal dan digantikan anaknya (Merneptah). Dari sini dapat disimpulkan, bahwa Fir’aun bukanlah nama personal, melainkan sebuah rezim kekuasaan.

Di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan alasan Fir’aun membunuh bayi Bani Israil. Dalam Surah Al-Qashash (26): 4 dan Ibrahim (14): 6, semuanya menjelaskan kekejaman tersebut, tapi tidak dijelaskan alasannya secara detail. Dalam Surah Al-A’raaf (7): 127, jawaban Fir’aun atas pertanyaan pembesar-pembesarnya juga tidak relevan dengan pokok persoalan. Jawaban Fir’aun tersebut lebih tepat sebagai kebijakan.

Berdasarkan kisah yang beredar, motivasi Fir’aun tersebut disebabkan karena sebuah mimpi, bahwa akan lahir seorang anak Bani Israil yang akan menggulingkan kekuasaannya. Namun, sebagian besar mufassir (ahli tafsir) tidak mencantumkan kisah ini dalam karya-karyanya. Mungkin, hanya Ibnu ‘Adil dalam Tafsiir Al-Lubab, yang mengutip kisah ini, itupun tanpa dijelaskan sumber aslinya.

Motif-motif Busuk Merusak Negara

Kisah Fir’aun yang didengar, sejak kecil hingga dewasa, hanyalah seputar kejahatan, kekejaman, dan kebengisannya. Tidak banyak yang mengulas motif-motif ekonomi, politik, dan agama yang melatar belakanginya. Kalau hanya motif mimpi yang membuat Fir’aun sangat bengis, rasanya terlalu menyederhanakan persoalan.

Oleh karena itu dalam membaca Al-Qur’an, sekat-sekat dogma yang tidak jelas sumbernya harus dilepaskan terlebih dahulu. Selanjutnya, pikiran dibuka selebar-lebarnya, dengan melihat data-data sejarah yang ada. Memahami ayat-ayat sejarah, tanpa membuka data-data sejarah tidak akan menghasilkan penafsiran yang bermakna.

Dalam pelacakan penulis, setidaknya ada tiga argumentasi yang mendasari kekejaman Fir’aun, yakni: agama, ekonomi, dan politik. Pertama, motif agama. Orang-orang Mesir Kuno (Ancient Egypt) meyakini ada banyak dewa (polytheisme) yang mengatur kehidupan. Beberapa dewa yang mereka sembah antara lain dewa matahari (Re), dewa kehidupan (Amon), dan dewa kasih (Isis), dan mungkin masih banyak lagi.

Sejarah tersebut dapat dilihat sejak zaman Ibrahim as hingga Yusuf as. Di zaman Yusuf as, keyakinan tersebut mulai ditinggalkan. Yusuf as yang bertugas sebagai Perdana Menteri, berhasil menanamkan monoteisme (ajaran tauhid), keyakinan pada Tuhan yang Esa. Namun sepeninggal Yusuf as dan pergantian kekuasaan Mesir, keyakinan-keyakinan tersebut mulai ditinggalkan kembali.

Pada era Ramses II, peralihan keyakinan tersebut muncul. Entah sebabnya apa, dia memiliki keyakinan, bahwa raja adalah titisan dewa. Hanya raja yang dapat memimpin Mesir selama 40 tahun lah yang dapat dianggap keturunan dewa. Keyakinan ini kemudian diteruskan pada Merneptah —Firaun yang tenggelam ketika mengejar Musa as.

Pada era Merneptah lebih parah lagi, dia bukan hanya menghapus keyakinan terhadap banyak dewa, melainkan ingin menjadi dewa tunggal penguasa dunia. Jadi secara tidak langsung, dia membuat pertentangan di antara kaumnya sendiri, bangsa Qibti, dan sekaligus Bani Israil yang mengakui Tuhan Ibrahim as (monoteisme).

Kedua, motif ekonomi. Selain motif teologis di atas, motif ekonomi menjadi hal penting dalam kejahatan Fir’aun, bahkan faktor inilah yang kemudian mendorong terjadinya genosida terhadap bayi Bani Israil. Ini adalah kejahatan rasis pertama dan mungkin terbesar yang terjadi di dunia ini.

Menurut catatan Abu Fida’ dalam ِAl-Mukhtashar fii Akhbari al-Bashra, pembunuhan bayi laki-laki Bani Israil tersebut berlangsung selama 80 tahun —terjadi dua generasi sejak Ramses II hingga Merneptah—dan ada sekitar 90.000 bayi yang telah dibunuhnya. Sungguh biadab.

Namun, hal itu dilakukan Fir’aun bukan tanpa sebab. Gary North dalam bukunya Moses and Pharaoh: Dominion Religion Versus Power Religion, menjelaskan bahwa peningkatan populasi Bani Israil yang begitu pesat adalah penyebabnya. Hal ini terkonfirmasi kebenarannya dalam Bible.

Dalam catatan Gary Nort ada sekitar 2.5 juta jiwa Bani Israil yang hidup di Mesir, yang semula cuma berjumlah 7 orang, dengan laju pertumbuhan 2.5 % setiap tahunnya. Gary North menghitungnya sejak mangkatnya Ibrahim as hingga Musa as, yang menurutnya memakan waktu 215 tahun. Jika dibandingkan data dari Bible mungkin lebih besar lagi, karena tercatat Bani Israil tinggal di Mesir selama 430 tahun (Keluaran 12: 40).

Data ini belum termasuk jumlah pembantu atau budak yang dimiliki Bani Israil. Jika ditotal mungkin melebihi jumlah tersebut. Artinya, dominasi populasi Bani Israil mengancam ketahanan negara. Itulah yang membuat Fir’aun cemas dan khawatir. Ditambah Bani Israil terkenal dengan keuletan, pekerja keras, dan perempuan-perempuannya yang tangguh. Diceritakan dalam Al-Azhar, sebelum bidan datang untuk membantu persalinan, perempuan-perempuan Bani Israil dapat melahirkan bayi sendiri dengan selamat.

Singkat cerita, di Mesir terjadi lonjakan jumlah penduduk yang berdampak pada sistem perekonomian, salah satunya kesenjangan antara pribumi (Mesir) dan pendatang (Bani Israil). Meskipun ada suku kulit hitam dari Afrika, tetapi yang menjadi sorotan adalah Bani Israil, sebab mereka mendominasi sistem perekonomian. Mereka berhasil menguasai perdagangan, industri, dan pertanian.

Ketiga, motif politik. Besarnya populasi Bani Israil yang kemudian mendominasi sektor ekonomi, dikhawatirkan juga akan merambah pada urusan politik. Apalagi keyakinan Bani Israil dengan Fir’aun berbeda. Otoritas dia sebagai titisan dewa, dengan keyakinan monoteisme Ibrahim as yang dianut Bani Israil, sedikit banyak akan merusak loyalitas dan kewibawaan di depan kaumnya sendiri.

Inilah maksud pertanyaan dari pembesar-pembesar Fir’aun yang terdapat dalam Surah Al-A’raaf (7): 127: “Apakah kamu (Fir’aun) akan membiarkan Musa membuat huru-hara di negeri ini (Mesir)”. Padahal mereka mengetahui, bahwa Musa as adalah anak angkat Fir’aun (Ramses II) ayahnya Merneptah.

Sigmund Frued dalam bukunya Moses and Monotheism, menjelaskan nama Musa berasal dari kata Mesir, mose yang artinya anak. Namun, sepertinya dia terjebak dengan nama itu. Sehingga dia meyakini bahwa Musa as adalah orang Mesir, bukan dari Bangsa Israil. Namun, hal ini menjadi sebuah fakta, ada upaya me-Mesirkan bayi yang masih kecil tersebut, meskipun tidak berhasil.

Meskipun Musa sejak kecil diajarkan menjadi orang Mesir, tetapi dia tidak patuh dengan kerajaan. Dia dididik dan dibesarkan di istana, tapi tidak loyal dengan dengan istana. Tentu saja hal ini adalah bentuk pembangkangan terhadap otoritas Fir’aun, yang sangat memalukan.

Selain itu, kemenangan-kemenangan dalam pertempuran besar sebelumnya, seperti peperangan Kadesh (the Battle of Qadesh), antara Mesir dan Het (Ramses II versus Mutawalli), membuatnya semakin percaya diri untuk menguasai dunia. Mesir bersama Fir’aun menjadi imperium terbesar pada waktu itu. Dengan persenjataan tempur yang lebih baik (canggih) ketimbang Het.  Tanpa ada faktor ini, mungkin Fir’aun tidak akan mendeklarasikan dirinya sebagai dewa. (Bersambung)

Hatib Rahmawan
Hatib Rahmawan
Koordinator Program Pegiat Pendidikan Indonesia, Dosen Universitas Ahmad Dahlan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.