Jumat, April 19, 2024

Belajar Corona dari Negeri China

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Penyebaran virus Covid-19 di Indonesia makin meningkat dan meluas. Data resmi dari Gugus Tugas Covid-19 menunjukkan jumlah kasus positif telah melewati angka seribu orang, dengan kematian lebih dari 100 orang, sejak diumumkan kasus pertama pada 2 Maret lalu.

Diduga angka tersebut belum menggambarkan kenyataan sebenarnya, seperti ditengarai sejumlah peneliti. Pemodelan yang dilakukan tim epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) mengacu pada awal Februari sebagai dimulainya kasus corona di Indonesia.

Data tersebut berdasarkan pada meningkatnya kasus penderita pneumonia dan gejala mirip Covid-19 dari sejumlah rumah sakit. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun mengklaim sudah mengantisipasi sejak bulan Januari terhadap penyebaran penyakit “pneumonia Wuhan”.

Wuhan sendiri sebagai kota yang disebut sebagai asal-mula pandemi corona kini mulai bangkit. Sebelumnya kota Wuhan dan provinsi Hubei di-lockdown oleh pemerintah China untuk mencegah penyebaran ke daerah-daerah lain di China dan meluas ke seluruh dunia.

Pemerintah China awalnya gagap menghadapi kemunculan penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru tersebut. Pada 31 Desember 2019 Cina memberitahukan kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO) terhadap munculnya pneumonia jenis baru yang berasal dari Wuhan.

Dirunut sebelumnya sejak awal Desember, atau bahkan mulai November 2019, penyakit tersebut diduga bermula dari pasar seafood yang juga menjual beragam hewan liar untuk dikonsumsi. Pasar tersebut segera ditutup begitu merebak kasus yang disebabkan oleh virus corona baru.

Masih simpang-siurnya informasi saat itu menimbulkan korban, dokter Li Wenliang yang dituduh pihak kepolisian telah menyebarkan hoaks. Melalui grup WeChat, Li mengabarkan adanya penyebaran pneumonia yang disebut sebagai SARS.

Sindrom pernapasan akut tersebut mewabah pada 2003 terutama di Cina dan Hongkong, sebelum kemudian menyebar ke seluruh dunia. Sindrom sejenis yang sama-sama disebabkan oleh virus jenis corona adalah MERS yang merebak di Arab Saudi pada 2014 silam.

Cina belajar dari kasus SARS, di mana saat itu dituduh lambat memberitahu WHO. Kali ini Cina bergerak cepat, mengambil langkah agresif untuk membendung penyebaran virus. Per 23 Januari 2020, kota Wuhan di-lockdown, disusul dengan provinsi Hubei, membuatnya terisolasi dari dunia.

Padahal saat itu masyarakat Cina sedang bersiap-siap menyambut tahun baru Imlek. Serupa dengan tradisi mudik Lebaran, jutaan orang pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga. Ditunjang dengan jaringan kereta api cepat, dikhawatirkan virus akan merebak ke mana-mana.

Pun Cina saat ini sudah jauh berubah dari masa ketika wabah SARS mendunia. Kini Cina telah menjadi kekuatan ekonomi dunia, bahkan menantang dominasi Amerika di kancah global. Perang dagang yang berlangsung beberapa waktu belakangan menunjukkan kebangkitan ekonomi Cina.

Berbagai perusahaan kelas dunia membuka investasi di Cina, mempekerjakan banyak ekspatriat dan menyerap banyak sumber daya manusia. Maskapai penerbangan dari seluruh dunia membuka rute ke kota-kota di Cina, termasuk Wuhan sebagai sumber awal wabah corona.

Sebaliknya, meningkatnya kesejahteraan warga Cina meningkatkan arus wisatawan ke berbagai negara. Turis asal Cina, khususnya dari Wuhan, menjadi faktor pertama penyebaran Covid-19 ke luar Cina. Misalnya, kasus kematian pertama di Filipina adalah wisatawan Cina dari Wuhan.

Presiden Xi Jinping yang juga sekretaris jenderal Partai Komunis Cina menggelar rapat politbiro, menyadari betapa gawatnya situasi yang dihadapi. Tetapi Xi Jinping juga menegaskan tekad dan optimisme bahwa “pertempuran melawan wabah corona” bakal dimenangkan.

Kepemimpinan serta kesatuan komando dan aksi menjadi kata kunci dalam perang Cina melawan corona. Dikombinasikan dengan pengetahuan ilmiah dalam upaya mencegah dan mengendalikan epidemi. Kemajuan teknologi menjadi faktor berikutnya dalam membendung penyebaran wabah.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, rumah sakit khusus corona dibangun di Wuhan untuk menampung pasien yang membeludak. Modelnya dibangun berdasarkan rumah sakit serupa yang dibangun di Beijing saat merebaknya wabah SARS.

Rumah sakit darurat lainnya dibangun seiring lonjakan kasus. Tenaga medis dari seluruh provinsi dimobilisasi untuk membantu tim medis di Wuhan dan Hubei yang sudah kewalahan. Kelangkaan masker dan alat pelindung diri diatasi dengan mendorong produksi dari pabrik-pabrik yang ada.

Hasilnya, pertumbuhan kasus dan angka kematian berhasil ditekan. Jika semula kasus corona di seluruh dunia didominasi Cina, sejak akhir Februari situasinya mulai berbalik. Kasus corona di luar Cina merebak, di antaranya Korea Selatan, Iran, dan Italia.

Pada paruh awal Maret, rumah sakit darurat terakhir di Wuhan ditutup karena jumlah kasus sudah sangat berkurang. Akhir Maret, transportasi umum di Wuhan dan Hubei mulai dioperasikan kembali setelah dua bulan lamanya terhenti selama lockdown.

Ironisnya, dunia justru tengah bergulat dengan epidemi corona. Saat ini Amerika Serikat menjadi episentrum baru, meninggalkan Eropa yang mulai melandai kurvanya. Presiden Donald Trump yang kerap menggunakan istilah rasis “virus Cina” akhirnya menyerah dan minta bantuan kepada Cina.

Bantuan Cina sendiri mengalir deras ke berbagai negara seiring keberhasilan mengatasi wabah di dalam negeri. Tidak terkecuali dengan Indonesia, bantuan peralatan medis dan test kit dikirim untuk mengatasi Covid-19 yang juga sedang merebak.

Sementara Wuhan telah bangkit dan mulai membuka diri, pemerintah Indonesia baru mempertimbangkan opsi untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah. Seruan untuk me-lockdown kota-kota juga dilontarkan oleh sejumlah kepala daerah dan elemen masyarakat.

Meskipun demikian, lockdown bukan satu-satunya solusi. Negara-negara seperti Korsel, Singapura, dan Swedia mengambil jalan berbeda. Korsel memilih upaya tes massal, Singapura melakukan contact tracing yang intensif, dan Swedia mengandalkan trust warga negara dalam social distancing.

Indonesia harus belajar dari keberhasilan negara-negara tersebut, tidak pula serta-merta copy paste. Seperti ditegaskan oleh Presiden Jokowi, bangsa kita memiliki karakteristik yang berbeda. Solusi yang diambil harus tetap berdasarkan pada konteks dan situasi yang membumi.

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.