Judul tulisan ini tidak dimaksudkan menggeneralisir seluruh umat Islam, sebab umat Islam itu macam-macam. Umat Islam yang dimaksud adalah spesies manusia yang sedang menjalankan proses menuju Tuhan. Populernya di Jawa dinamai “ng-Allah”.
Singkatnya, spesies manusia itu macam-macam, jadi dalam menjalankan proses ber-Islam pun macam-macam. Di sini, kita dapat pahami bahwa Islam itu satu, tapi orang-orangnya macam-macam dengan level, presisi, dimensinya masing-masing.
Di sini kita pahami bahwa sesama umat Islam dilarang nge-judge, menilai, mem-frame atau mengata-ngatai.
Konteks Zaman COVID-19
Demikian pula pendapat saya tentang COVID-19. Pendapat ini hanyalah subjektivitas pikiran seseorang dalam proses keber-Islam-annya. COVID-19 muncul di konteks zaman dimana manusia begitu kuat mengendalikan alam.
Modernitas membawa manusia pada keunggulan rasio/akalnya. Sebelum era modern, manusia pernah tergantung pada alam dan manusia pernah pula tergantung pada teks-teks keagamaan.
Manusia spesies modern ini, mereka kira sudah sampai pada tahap mengontrol semesta alam, apalagi ketika manusia tengah (seolah-olah) menaklukkan luar angkasa. Mereka pikir dengan ilmu pengetahuan ilmiah (sains), semuanya dapat diselesaikan, diukur, diperkirakan, ditakar, diprediksi dan dikendalikan. Kasus epidemi COVID-19 membuktikan bahwa manusia spesies modern begitu rentan dan lemah.
Kita bisa lihat kepanikan yang luar biasa. Tisu toilet saja habis di beberapa negara. Kepanikannya melebihi berbahayanya COVID-19. Untuk beberapa manusia, tampaknya mereka tak bisa hidup tanpa tisu toilet. Demikian pula beberapa supermarket yang habis maskernya, stok makanannya dan stok pembersih tangannya. Dunia seperti akan kiamat dilanda bahaya kekeringan atau badai sehingga orang-orang harus bias bertahan selama beberapa minggu dirumah tanpa keluar.
Beberapa negara menutup ‘pintu gerbangnya’ dari penerbangan luar negeri, khususnya dari Cina, Korea Selatan, Iran, dan Italia. Mereka mengisolasi negeranya sesuai dengan takarannya masing-masing. Kekhawatiran ini masuk akal bagi manusia modern. Hal ini menunjukkan manusia modern lemah dan lepas kendali dalam menghadapi COVID-19.
COVID-19 belum ada obatnya dan masih belum jelas sebabnya –walaupun ada yang bilang dari kelelawar yang dimakan–itu hanya salah satu medianya saja, masih banyak faktor lain yang masih misterius. Hal ini meruntuhkan keangguhan manusia modern yang merasa tahu segala-galanya dan mengandalkan sains. COVID-19 memberi kesadaran pada manusia bahwa alam merespon atas segala tindakan arogan manusia.
Modernitas adalah awal manusia menjadi sombong atas akalnya, padahal akal itu salah satu instrumen ikhtiar saja kepada Allah. Ketika manusia lebih percaya sains daripada Allah dan ketika manusia modern berjarak antara akal dan Allah, maka disitulah manusia melakukan kerusakan dimuka bumi ini.
Kita kutip surat Ar-Ruum:41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Alam modernitas dengan manusia ilmiah justru ambivalen. Dengan dalih-dalih ilmiah, manusia modern melakukan kerusakan semesta. Misalnya, buat pabrik ini aman sudah dicek secara ilmiah kondisi alamnya. Eksploitasi tambang ini dan itu aman karena sudah diukur keilmiahannya. Buang limbah di sungai pun sama sudah diukur dalih sainsnya. Ada wabah penyakit lalu dicari obatnya secara ilmiah, dan seterusnya.
Respon alam melalui banyak kerusakan alam seperti banjir, wabah, epidemi, gempa, dan sebagainya disalahartikan sebagai azhab atau musibah atau bencana atau pasukan Tuhan. Semua ini adalah respon manusia dalam suatu definisi pikiran modernnya atau pikiran agama yang termodernkan.
Sesungguhnya semua itu adalah akibat ulah manusia modern sendiri. Jadi ada yang menanam ada yang menuai. Apakah itu azhab atau musibah atau apa-lah simpan saja untuk diri sendiri. Hal itu hanyalah interpretasi manusia dalam menutupi kerentanan dirinya saja atau defensive manusia lalu menyalahkan pihak lain (alam itu sendiri).
Padahal dalam surat Ar Ruum 41 sangat jelas bahwa manusialah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini. Kerusakan ini semakin massif dan terakumulasi sepanjang industrialisasi dan ekspansi kapitalisme global.
Dalam surat Al Baqarah: 30, bahkan malaikat pun bertanya-tanya kepada Allah, kok bisa-bisanya Allah menciptakan makhluk yang akan berbuat kerusakan di muka bumi ini?” Di sini Allah tahu betul bahwa manusia mempunyai akal (budi) dan mata batin (nur Ilahi) yang membuatnya bertanggung jawab. Namun hal itu tidak juga membuat manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi sebagaimana dijelaskan dalam Ar Ruum 41.
Singkatnya, Allah memberi kebebasan pada dalam mengambil keputusan di muka bumi. Ketika manusia menduakan Allah, manusia menjadi arogan lalu bertindak misalnya salah urus alam. Alam tidak lagi dihormati sebagai bagian dari dirinya dan titipan Allah. Alam dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi dan hasrat kemajuan.
Begitu banyak surat (QS. Ali ‘Imran: 191; QS. Al An’aa:11; QS. Qaf: 38; QS. Al-An’aam:73; QS. Al A’raaf: 54; QS. At Taubah: 36; QS. Al Anbiyaa: 30.) yang menceritakan tentang alam adalah titipan Allah yang perlu dihormati dan dijaga manusia. Manusia sebagai wakil Allah (khalifah) di muka bumi ini ditujukan untuk berbuat baik kapada sesama ciptaan Allah: manusia tidak hanya harus menghormati pada sesama manusia, tapi juga pada saudara tuanya: hewan, tumbuhan dan semesta alam. Singkatnya, manusia diberi hak penuh (kuasa) dalam mengelola semesta alam, tapi jika salah olah, maka alam akan balik merusak manusia, salah satunya kasus COVID-19.
Prof. Tariq Ramadan dalam karyanya, “Islamic Reform” (2009, 236-237) memberi saran kepada umat Islam untuk menghormati binatang. Nabi Muhammad SAW tidak serta merta menyuruh kita baca ritual “Bismillah, Allahu Akbar!” pada saat pemotongan hewan korban atau hewan untuk kita makan demi kehalalan.
Hal yang lebih substantif menurut Prof Tariq adalah sejauh mana kita menghormati binatang yang kita bunuh, apakah dengan cara yang baik atau kejam. Nabi Muhammad SAW mempraktekkan pembunuhan hewan dengan baik, yakni dengan pisau tajam agar tidak terasa pada saat penyembelehan dan saat membunuh hewan sesamanya jangan sampai terlihat. Singkatnya konsep “baik” dimata ajaran Muhammad SAW adalah ketika kita tidak menyakiti hewan atau mengurangi penderitaan sedikit mungkin bagi hewan yang kita bunuh untuk kita makan. Jadi bukan fokus pada ritualnya saja.
Oleh sebab itu, dalam menghadapi COVID-19 umat Islam tidak hanya mengandalkan ritual saja apalagi terobsesi dengannya. Umat Islam harus bermula dari ritual lalu mempraktekkannya dengan cara-cara baik sesuai dengan anjuran ahlinya. Prosesnya persis sama dengan anjuran sholat pada surat Al ‘Ankabut: 45. Sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Problemnya jika sholat dan tetap melakukan tindakan keji dan munkar, lalu apakah sholatnya sudah ditegakkan?
Jadi dalam menghadapi COVID-19, kita harus fokus pada Allah dan keseimbangan lingkungan. Selain ritual sholat, doa, sikap tawadhu dan pasrah kita kepada Allah, tentunya kita tetap harus melakukan tindakan yang baik terhadap alam. Secara teknis kita harus menjaga kebersihan baik diri dan lingkungan.
Dalam mencegah bahaya lebih fatal seperti COVID-19, tindakan yang lebih sistemik dan struktural penting dilakukan umat Islam, yakni ingat kepada Allah sehingga sains yang ada digunakan demi menyeimbangkan hidup manusia dengan alam, bukan malah mengeksploitasi alam demi kerakusan manusia. Jangan terjebak pada ritual Islam dan pikiran dogmatis-mistis (seolah-olah dengan doa-doa saja selesai urusan), tapi juga jangan terjebak pada mengagungkan sains dan memakai dalih sains demi kerakusannya.
Hal yang besar dan menjadi PR besar umat Islam adalah mengubah sistem dunia yang kapitalistik yang prinsipnya bertentangan dengan surat Ar Ruum: 41. Sistem ini membuat masyarakat ignorance (masyarakat jahiliyah), yakni pembiaran atas kerusakan ekosistem dunia dan memunculkan begitu banyak ketidakseimbangan alam semesta yang implikasinya kemunculan wabah epidemi seperti COVID-19. Melihat kondisi umat Islam dan para pemimpinnya dewasa ini, saya merasa merasa mengalami kebuntuan berpikir.