Sebulan terakhir ini ada sejumlah kasus incest yang membuat bulu kuduk kita bergidik. Yang terbaru terjadi pekan lalu di Rappocini, Makassar. Seorang lelaki berusia 56 tahun (MJ) dilaporkan mencabuli seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun. Aksi pencabulan dilakukan di toilet masjid.
Di Bekasi, Jawa Barat, seorang kakek berinisial HS (71) tega mencabuli anak asuhnya sendiri, EP (15), sampai hamil. Seusai melahirkan, korban dinyatakan tewas. Sebelumnya di Garut, seorang bapak (UR, 42), mencabuli anak kandungnya. Sang anak hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan.
Di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, seorang bapak (J) mencabuli dua putri kandungnya sekaligus yang baru berusia 13 dan 15 tahun. Sungguh bejat dan biadab!
Incest adalah hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, dan biasanya antar anggota dalam satu keluarga inti. Di berbagai kejadian, tindakan incest yang dilakukan ayah kepada anak perempuannya sendiri merupakan salah satu bentuk pelecehan pada masa kanak-kanak yang paling menyengsarakan. Ini sering menjadi trauma psikologis yang serius dan berkepanjangan. Bagaimana tidak! Seorang ayah yang semestinya melindungi dan menyayangi anak kandungnya sendiri justru mencabulinya.
Berbagai studi telah membuktikan bahwa ketika tumbuh dewasa, anak-anak yang menjadi korban incest biasanya akan menderita rasa rendah diri, acap menemui berbagai kesulitan dalam hubungan interpersonal, dan bahkan mengalami disfungsi seksual. Anak korban incest juga berisiko tinggi mengalami gangguan mental, termasuk depresi, kecemasan, reaksi penghindaran fobia, gangguan somatoform, penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian garis-batas, dan gangguan stres pasca-trauma yang kompleks (Trepper, 1989).
Anak Korban Incest
Studi yang penulis lakukan terhadap 137 kasus incest yang diberitakan media massa dalam 7 tahun terakhir menemukan, anak perempuan yang menjadi korban incest sebagian besar (75%) berusia sekitar 10 hingga 17 tahun. Sebagian besar korban merupakan anak remaja yang sedang mekar-mekarnya. Ayah kandung atau kakek korban yang tidak kuat menahan syahwatnya tampaknya memilih orang yang seharusnya mereka sayangi sebagai pelampiasan napsu bejat mereka dengan berbagai dalih. Namun, ada pula anak korban incest yang masih berusia di bawah 10 tahun.
Dari 137 kasus incest yang diteliti, 9% korban diketahui masih berusia 8-9 tahun, 7% berusia 6-7 tahun, 4% berusia 4-5 tahun, dan yang membuat miris adalah adanya korban yang masih berusia di bawah 3 tahun (2%). Hanya 3% kasus yang korbannya anak berusia 18 tahun.
Berbeda dengan tindak perkosaan yang dilakukan orang lain, yang biasanya terjadi satu kali kesempatan, kejadian incest umumnya berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, bahkan bertahun-tahun. Dari 137 kasus yang ada, separuh kasus (50%) incest umumnya terjadi kurang dari 1 tahun. Namun demikian, sebanyak 22% kasus incest berlangsung 1-2 tahun, 17% berlangsung 3-4 tahun, dan ada 11% kasus incest yang berlangsung lama, di atas 5 tahun.
Kenapa incest sering berlangsung dalam kurun waktu yang lama? Sebab, ketidakberdayaan dan posisi korban yang tergantung yang menyebabkan pelaku dengan leluasa bisa bertahun-tahun memanfaatkan korban tanpa perlawanan. Selain mengancam tidak menyekolahkan atau memukul korban, misalnya, biasanya senjata yang dipakai pelaku adalah ancaman ia akan melukai atau bahkan membunuh ibu korban jika si korban melaporkan apa yang dia alami.
Dengan posisi tawar pelaku yang kuat, melalui berbagai tekanan serta ancaman, bisa dipahami jika tindak perkosaan incest umumnya berlangsung bertahun-tahun, atau minimal lebih dari sekali.
Banyak bukti memperlihatkan, anak-anak yang menjadi korban incest, selain mengalami trauma post-sexual abuse, yang tak kalah mencemaskan mereka biasanya juga akan tumbuh menjadi pribadi yang berpotensi mengalami mental disorder. Dari hasil penelusuran data di lapangan diketahui mereka yang menjadi korban incest cenderung mengalami depresi parah, memiliki self-esteem (harga diri) yang rendah, tidak mudah percaya pada orang lain, dan menarik diri.
Tak hanya itu, hingga mereka menginjak dewasa pun tidak sedikit yang kemudian terjerumus dalam perilaku minum-minuman keras, obat terlarang, dan bahkan menjadi pelaku child abuse, tanpa sadar mengulang kembali apa yang pernah mereka alami.
Pola Kejadian Incest
Dari 137 kasus incest yang penulis teliti, sebagian besar memang berlangsung aman-aman saja karena tidak ada yang mengetahuinya (84%). Tindakan incest sering dialami korban selama bertahun-tahun, tanpa pernah terbongkar karena korban yang takut ancaman si pelaku. Tetapi, yang memprihatinkan, dari 137 kasus incest yang terdata, 9% kasus itu ternyata diketahui istri pelaku. Bahkan incest yang terjadi dilakukan atas izin atau sepengetahuan istri pelaku atau ibu dari sang anak yang menjadi korban. Sebanyak 3% kasus incest diketahui oleh saudara korban, dan 4% kasus incest diketahui orang lain.
Seeorang ibu kandung yang tega membiarkan anaknya menjadi korban pemerkosaan suaminya biasanya terjadi karena si ibu juga takut ancaman suaminya. Jawa Pos pernah melaporkan beberapa kasus incest ternyata terjadi atas sepengetahuan atau bahkan atas bantuan istri pelaku. Karena ibu korban takut jika menolak atau melarang kelakuan suaminya, maka ia dan anak-anaknya akan diusir dari rumah dan hidup terlunta-lunta. Ketakutan dan ketidakberdayaan inilah yang mengakibatkan sebagian ibu akhirnya memilih tutup mata dengan penderitaan yang dialami anak kandungnya sendiri.
Ada beberapa ibu yang tahu anaknya menjadi korban incest, tetapi mereka mendiamkannya. Selain takut pada ancaman suaminya, sebagian besar mereka juga tidak ingin aib keluarganya terbongkar di hadapan publik. Berdiam diri dan memilih menyimpan rapat-rapat aib keluarganya, tanpa mempertimbangan penderitaan anaknya, adalah hal yang acapkali dilakukan ibu-ibu yang terhegemoni ideologi patriarkhis.
Bagi ibu-ibu yang lebih berdaya dan punya posisi daya tawar yang kuat umumnya tidak akan berdiam diri jika mengetahui anaknya menjadi korban incest. Studi ini menemukan, pihak yang melaporkan kejadian incest ke aparat penegak hukum sebagian besar adalah ibu korban (63%). Dari 137 kasus, sebanyak 23% dilaporkan saudara korban, 4% dilaporkan kakek-nenek korban, dan 10% dilaporkan korban itu sendiri.
Banyak ibu korban yang memilih melaporkan kasus incest yang dialami anaknya, dan bahkan memilih bercerai dengan suaminya karena tindakan suaminya benar-benar sudah di luar nalarnya sebagai manusia normal.
Incest pada dasarnya adalah sebuah peristiwa kejahatan seksual yang terjadi di ruang-ruang tertutup, di balik tembok rumah yang jauh dari amatan publik, sehingga kemungkinan peristiwa ini terjadi berulang-ulang dalam kurun waktu yang lama sangat terbuka. Pelaku incest acapkali adalah justru orang dekat atau orang yang dikenal korban—bahkan ayah kandung korban—dan sering terjadi pada keluarga-keluarga yang marjinal, broken home, dan terbiasa dengan kekerasan.
Studi penulis menemukan, anak-anak yang menjadi korban incest umumnya memiliki ketergantungan dan tekanan sosial yang kuat dari pelaku, yaitu figur ayah yang superior. Di sisi lain, ketidakmampuan ayah, kakek atau anggota keluarga lain untuk mencari pasangan seksual di luar rumah dan juga karena kebutuhan untuk memperlihatkan keakuan dan posisinya dalam keluarga yang patriarkhis sering mendorong terjadinya incest.
Bagi pelaku, tindakan incest merupakan bentuk sanksi terselubung terhadap ibu yang dinilai tidak mampu berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri.
Untuk mencegah agar kasus incest tidak terus terjadi, selain upaya penanganan hukum yang tegas, yang tidak kalah penting adalah keberdayaan para ibu dan dukungan komunitas setempat untuk ikut mengawasi sebagai wactdog kemungkinan terjadinya kasus-kasus serupa di sekitar. Tanpa dukungan komunitas di tingkat lokal, jangan harap upaya pencegahan kasus incest dapat berjalan efektif. Demi masa depan anak-anak kita!
Konten terkait
Menolak Tudingan “Salah Sendiri” Korban Kasus Kekerasan Seksual
Pelecehan Seksual dan Wajah Layu Santri
Perkosaan dan ”Kebangkitan Nasional” Bangsa Patriarkis
Kekerasan terhadap Perempuan: dari Budaya Patriarki sampai Penegakan Hukum