Majma’ al-Bahrain menekankan kesamaan ajaran keesaan Tuhan (tauhid) dalam ajaran Sufi Islam dan Vedanta Hindu seperti ditafsirkan dari kitab Upanisyad. Seperti dibahas Profesor Yohannan Friedman dalam Medieval Muslim Views of Indian Religions (1975), Dara Shukoh berpandangan, penyembahan patung memiliki peran positif dalam kesadaran keagamaan umat Hindu.
Patung-patung itu tidak dapat dihindari dari orang-orang yang belum menyadari makna batin agama, karena mereka masih membutuhkan perwujudan Tuhan dalam bentuk konkret. Ketika mereka memahaminya, mereka tidak lagi membutuhkan patung-patung itu.
Seorang sufi Mirza Mazhar Jan-i Janan (w. 1781) mengakui kitab Weda adalah wahyu Tuhan dari sejak penciptaan manusia, yang terdiri dari empat bagian dan memuat perintah, larangan, dan informasi tentang masa lalu dan masa depan, diturunkan melalui perantara malaikat Brahma, yang juga perantara penciptaan alam semesta. Semua aliran Hindu dahulu percaya Tuhan Esa, dunia diciptakan, akan berakhir, dan percaya hukuman dan surga. Penyembahan patung sebagian besar mereka tidak bersifat penyamaan antara Tuhan dan ciptaan-Nya, karena esensi atau zat Pencipta dan makhluk berbeda.
Ketundukan mereka itu berperan memenuhi kebutuhan material dan spiritual mereka, tulis Jan-I Janan. Ketundukan mereka itu bentuk penghormatan yang tinggi (sajda-yi tahiyyat), seperti halnya penghormatan kepada orang tua dan guru-guru spiritual mereka, tapi bukan penyembahan (sajda-yi ‘ubudiyyat).
Menurut Jan-i Janan, ketundukan umat Hindu itu tidak bisa disamakan dengan kafir dan musyrikun Arab yang meyakini berhala-berhala itu wujud-wujud yang berdiri sendiri dan bukan perantara kekuasaan Tuhan. Di kalangan musyrikun Arab sebelum dan zaman Nabi Muhammad, patung-patung adalah tuhan-tuhan di bumi dan Allah Ta’ala adalah Tuhan di langit, keduanya berdiri sendiri, dan penyekutuan kedua seperti itulah syirik.
Lebih lanjut Jan-i Janan menyebut dalil Qur’an bahwa tidak ada satu komunitas pun yang tidak diturunkan Nabi. Ia yakin, India, yang amat luas dan besar itu, pun punya nabi-nabi, seperti Khrisna dan Rama Chanda, meski orang India menyebut mereka sebagai Avatar. Mereka menunjukkan ke jalan keselamatan agung (maha mukti). Meskipun Jan-i Janan kemudian berpendapat, setelah Nabi Muhammad, semua pengikut agama lain merupakan kafir, ia berpandangan ajaran Hindu dan kitab-kitab suci yang aslinya adalah wahyu Tuhan.
Karena itu, menurutnya, manusia tidak berhak menuduh seluruh umat Hindu sebagai musyrik dan kafir, dan tidak juga perlu meyakini secara mutlak bahwa mereka pasti muslim dan mu’min menurut Tuhan.
Di India zaman moderen, karena mayoritas Hindu dan minoritas Muslim yang sangat signifikan, ada cukup banyak sarjana yang melakukan dialog Islam-Hindu. Sebut saja Rasyiduddin Khan dan Abid Husain. Mereka membandingkan aspek-aspek Islam dan Hindu, seperti gerakan Sufisme dan gerakan Bakti, zikir dan nam, rumah ibadah masjid dan pura, salat dan puja ataupun yoga, Tuhan Allah dan Tuhan Brahma, konsep nabi dan avatar, Al-Qur’an dan Kitab Weda, zakat sadaqah dan darma, ajaran tentang keadilan, kasih sayang, dan perdamaian.
Di negeri-negeri di luar India, cukup banyak usaha pemikiran dialog dan ekumenikal. Universalisme-nya Reza Shah-Kazemi asal Iran, atau pluralisme perennial-nya Hassan Khalil, pluralisme non-reduksionis-nya Mohammed Legenhausen, membuka kemungkinan Hindu (dan Buddha, Konghucu) adalah Ahlul Kitab juga, karena mereka memiliki kitab suci dan mengajarkan kebajikan. Bagi Legenhausen, misalnya, tidak ada batas bagi kasih sayang Tuhan kepada semua makhluk-Nya kapan dan di mana pun.
Agama dan kebudayaan India lebih dahulu masuk dan memengaruhi agama dan kebudayaan umat seluruh Nusantara, termasuk umat Islam. Banyak sekali kata dan praktik umat Islam berasal dari pengaruh Hindu dan kebudayaan India. Sebut saja bahasa-bahasa yang sampai kini digunakan: agama, bhineka tunggal ika, sembahyang, puasa, pengajian, puja (dan memuja), derma, bakti, Wisnu, Ganesha, dwi/dewi, candra, bayu, Indra, Sura, surga neraka, kiyai, santri, guru, Indonesia, Pancasila, Tuhan, jiwa, duka, sengsara, bahagia, cipta, rasa, bakti, negara, bumi, langit, samudra, dan begitu banyak kata pinjaman lain dari bahasa penganut agama Hindu.
Umat Hindu sangat beragam. Ada yang menekankan kepercayaan pada animisme dan tuhan-tuhan alam, ada yang politeistik, ada yang monistik dan monoteistik dari Vedanta, ada yang menekankan yoga atau meditasi, non-teistik; ada yang dualistik; ada yang menekankan darma, dan ada yang menekankan bakti kepada Tuhan.
Baca ini: Keragaman Agama Itu Sunnatullah
Di Indonesia, sebagian besar umat Hindu menekankan keesaan Tuhan, dengan tuhan-tuhan minor sebagai pancaran atau perwujudan dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Parisada Hindu Darma Bali (dan kemudian disebut Hindu Darma Indonesia), hanya ada satu Tuhan, Yang Maha Agung, Dewa Wisnu atau Siwa. Sedangkan Dewi Saraswati, Dewi Sri, dan yang lain, merupakan perwujudan Satu Tuhan itu. Sebagian besar meyakini Sang Hyang Widhi Wasa, merujuk pada Brahman, sebagai Tuhan Esa yang disembah.
Gagasan Trimurti Brahma, Wisnu dan Siwa, dipahami ulang menjadi perwujudan saja dari Tuhan Yang Esa: Sang Hyang Widhi Wasa. Nama ini sering diterjemahkan sebagai “Yang Maha Kuasa, Yang Ilahi, Penguasa Alam Semesta”, atau bagi yang lain “Hukum Ilahi dan Kosmik Yang Kuasa”, meski banyak umat Hindu memuja dan berdoa bagi leluhur mereka dan mengikuti tradisi keagamaan keluarga dan tempat mereka berada.
Dalam salah satu publikasi resmi diuraikan siapa Sang Hyang Widhi Wasa: “Dia adalah sumber semua ciptaan, Tuhan semua tuhan, pusat semua, Satu Tuhan, Yang Maha Tinggi, sumber segala sumber di alam. Hyang Widhi menciptakan wujud-wujud tuhan yang berbeda untuk menjalankan tugas menjaga dan melindungi alam semesta dan ciptaan-Nya.
Setiap wujud itu, seperti Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Bersama dengan Sakti, Dewi Saraswati, Dewa Sri, dan Dewa Dhurga, merepresentasikan karakteristik-karakteristik yang berbeda dari Satu tuhan Sang Hyang Widhi Wasa.”
Karena itu, agama Hindu Darma ini dipahami agamawan dan umat Hindu sebagai “Agama Langit”, agama wahyu, bukan agama bumi, buatan manusia, seperti yang sering dianggap sebagian umat Islam tentang agama Hindu.
Mereka juga memahami kitab-kitab Weda, Ramayana, Bhagawad Gita, sejajar dengan kitab-kitab suci lain seperti Al-Qur’an, Perjanjian Baru, dan kitab-kitab lain. Para manusia suci atau reshi, mereka ibaratkan nabi-nabi. Mereka juga memiliki lima rukun: ketuhanan yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa), jiwa (atman), karma dan akibatnya (karmapala), reinkarnasi (samsara) dan kebebasan dari reinkarnasi (moksha). Ajaran etika mereka berpusat pada keyakinan, ucapan, dan perilaku yang baik.
Dengan demikian, ada cukup keragaman pandangan ulama mengenai agama Hindu di India dan di Indonesia, yang memang sangat majemuk dan dinamis. Ada keinginan di kalangan ulama, sarjana, dan penulis Muslim untuk belajar dan memahami Hindu secara apa adanya, dan sebagiannya ingin berdialog secara teologis dan keagamaan dengan para agamawan dan cendekiawan Hindu.
Di kalangan ulama dan penulis Muslim, ada ambiguitas sikap, dan ketika menilai, ada ketidakmutlakan dalam menilai aspek-aspek keyakinan dan praktik umat Hindu dulu dan sekarang. Artinya, tidak semua ulama dan penulis Muslim dulu dan sekarang berpandangan bahwa umat Hindu adalah musyrik yang dimaksud dan dikecam dalam Al-Qur’an.
Bacaan terkait
Apakah Semua Umat Hindu Musyrikun dalam Pandangan Muslim? [Bag. 1]
Serial Non-Muslim Bisa Masuk Surga. Siapa Mereka?