Jumat, November 8, 2024

Apa yang Salah dengan Politik Jepang?

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Mari kita arahkan perhatian kita ke Jepang, sebuah negara yang saat ini sedang mengalami pergolakan politik besar-besaran. Perdana Menteri mereka, Fumio Kishida, yang selama ini memimpin, telah membuat keputusan mengejutkan untuk mundur dari jabatannya. Pengumuman ini, yang disampaikan langsung oleh Kishida pada hari ini, mengguncang panggung politik Jepang. Kishida adalah anggota terkemuka dari Partai Demokrat Liberal (LDP), partai yang telah lama memegang kendali di negeri matahari terbit tersebut.

Dalam beberapa minggu mendatang, tepatnya pada bulan September, partai ini akan menggelar kontes internal untuk memilih pemimpin baru yang pada gilirannya akan menjadi Perdana Menteri berikutnya. Namun, yang mengejutkan adalah keputusan Kishida untuk tidak mencalonkan diri dalam pemilihan ini.

alam pernyataannya, Kishida menegaskan, “Langkah pertama dan paling nyata untuk menunjukkan bahwa Partai Demokrat Liberal akan mengalami perubahan adalah dengan saya mundur dari jabatan ini. Saya tidak akan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden yang akan datang. Namun, saya akan tetap mendukung penuh pemimpin baru yang terpilih, sebagai seorang rekan sejawat yang setia.”

Keputusan Kishida ini memicu serangkaian peristiwa politik yang akan segera terjadi. Begini kira-kira prosesnya: Setelah Kishida resmi mengundurkan diri, partai akan memilih seorang pemimpin baru yang secara otomatis akan mengambil alih posisi sebagai Perdana Menteri Jepang. Namun, langkah Kishida ini menimbulkan banyak pertanyaan penting yang perlu dijawab.

Apa alasan di balik pengunduran diri Kishida? Siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin? Dan mengapa Jepang, dalam rentang waktu hanya empat tahun, akan memiliki empat orang perdana menteri yang berbeda? Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih dalam tentang kondisi politik di Jepang saat ini, yang tampaknya berada di tengah krisis kepemimpinan yang terus berulang.

Mari kita telaah lebih dalam tentang sosok Fumio Kishida, seorang politisi veteran yang kini menghadapi akhir karirnya sebagai Perdana Menteri Jepang. Pada usia 67 tahun, Kishida adalah pewaris tradisi politik yang mendalam, lahir dari keluarga yang sudah lama berkecimpung dalam dunia politik. Kariernya yang cemerlang membentang dari tahun 2012 hingga 2017, di mana ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Jepang.

Dalam perannya tersebut, Kishida mencatatkan sejarah sebagai Menteri Luar Negeri dengan masa jabatan terpanjang dalam sejarah Jepang modern, suatu pencapaian yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Pada tahun 2021, ketika Yoshihide Suga mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, Kishida dipandang sebagai figur yang mampu membawa stabilitas di tengah situasi yang tidak menentu. Ia pun mengambil alih posisi tertinggi di pemerintahan, menjadi Perdana Menteri Jepang yang baru. Namun, masa jabatan Kishida, yang berlangsung selama tiga tahun, jauh dari kata mudah. Ia harus memimpin di tengah-tengah serangkaian tantangan besar yang menguji kemampuannya sebagai seorang pemimpin.

Dalam periode tersebut, Jepang, seperti banyak negara lain, dilanda pandemi global yang mengguncang ekonomi dan kesehatan masyarakat. Selain itu, Kishida juga harus berhadapan dengan dua konflik internasional yang berpengaruh pada stabilitas regional. Di dalam negeri, pembunuhan tragis mantan Perdana Menteri Shinzo Abe mengejutkan bangsa, dan berbagai skandal yang mengguncang Tokyo menambah beban pemerintahannya.

Dengan situasi yang semakin memburuk, Kishida berusaha untuk mengatasi masalah-masalah mendasar yang dihadapi Jepang, terutama krisis demografi yang mengancam masa depan bangsa. Ia memperkenalkan serangkaian kebijakan yang ia sebut sebagai “kapitalisme baru,” yang diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan yang lebih merata. Namun, sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut gagal mencapai hasil yang diinginkan. Ekonomi Jepang terus terpuruk, laju pertumbuhan terhenti, nilai yen merosot tajam, dan popularitas Kishida mengalami penurunan drastis.

- Advertisement -

Ketika Kishida pertama kali menjabat, tingkat dukungan publik terhadapnya berada di sekitar 50%, sebuah angka yang cukup solid bagi seorang pemimpin baru. Namun, seiring berjalannya waktu dan tantangan demi tantangan terus menghantam pemerintahannya, popularitas Kishida menurun tajam.

Pada bulan lalu, peringkatnya merosot hingga mencapai 15,5%, yang merupakan tingkat terendah yang pernah dicapai oleh seorang pemimpin Jepang dalam satu dekade terakhir. Banyak pengamat dan analis politik menilai bahwa salah satu faktor utama di balik penurunan ini adalah kurangnya kharisma Kishida, yang dianggap tidak mampu menginspirasi atau memotivasi rakyat Jepang di masa-masa sulit ini.

Pada akhirnya, Kishida mengambil keputusan yang sulit namun mungkin tak terhindarkan: ia memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Meskipun secara teori dia masih memiliki peluang untuk melanjutkan masa jabatannya hingga tahun 2025, tampaknya melanjutkan kepemimpinannya tidak akan membawa perubahan positif yang berarti bagi negara. Oleh karena itu, perhatian kini beralih ke pencarian penggantinya—sosok yang mampu memimpin Jepang keluar dari krisis yang dihadapinya saat ini.

Pertanyaannya sekarang adalah: siapa yang akan menggantikan Kishida? Sejumlah nama sudah mulai mencuat ke permukaan, dan persaingan untuk menjadi pemimpin berikutnya semakin memanas. Di antara para kandidat yang paling menonjol adalah Shigeru Ishiba, seorang politisi kawakan yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan juga Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Liberal (LDP), partai yang memegang kendali pemerintahan. Ishiba saat ini dianggap sebagai calon terkuat untuk mengambil alih kendali, berkat pengalamannya yang luas dan reputasinya yang kuat di dalam partai.

Namun, dia bukan satu-satunya yang berambisi menduduki kursi kepemimpinan tertinggi. Ada juga nama-nama lain yang turut meramaikan persaingan, seperti Menteri Digital Taro Kono, yang dikenal dengan pemikiran progresifnya; Sekretaris Jenderal LDP yang memiliki pengaruh besar di dalam partai; Menteri Keamanan Ekonomi Jepang, yang berperan penting dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional; dan Menteri Luar Negeri yang memiliki jaringan internasional luas. Semua kandidat ini memiliki potensi dan pendukungnya masing-masing.

Yang menarik, jika salah satu dari mereka berhasil memenangkan pemilihan ini, Jepang bisa saja mencetak sejarah baru dengan memiliki Perdana Menteri perempuan untuk pertama kalinya. Ini akan menjadi sebuah pencapaian besar mengingat sejarah panjang kepemimpinan pria di Jepang. Sejak negara ini mendapatkan Perdana Menteri pertamanya pada tahun 1885, hingga kini sudah ada 64 pria yang menjabat sebagai kepala pemerintahan. Belum pernah sekalipun seorang wanita memegang posisi tersebut, sehingga jika hal ini terjadi, ini akan menjadi momen bersejarah dan transformasi penting dalam politik Jepang.

Pada tahun 1955, Partai Demokrat Liberal (LDP) berhasil merebut kendali Parlemen Jepang, dan sejak saat itu, mereka hampir tak tergoyahkan dalam memegang kekuasaan. Partai ini telah mendominasi politik Jepang selama hampir tujuh dekade, sebuah kekuatan yang langgeng di tengah dinamika politik yang sering berubah. Di bawah naungan LDP, Jepang pernah memiliki Shinzo Abe, seorang Perdana Menteri yang mencatat rekor sebagai pemimpin dengan masa jabatan terlama, menjabat dari 2012 hingga 2020. Meskipun delapan tahun mungkin tampak singkat, di kancah politik Jepang, itu merupakan durasi yang luar biasa panjang. Banyak Perdana Menteri Jepang lainnya hanya bertahan kurang dari tiga tahun di posisinya.

Fumio Kishida, misalnya, hanya mampu bertahan selama 35 bulan—hampir tiga tahun—menjadikannya Perdana Menteri dengan masa jabatan terpanjang kedelapan dalam sejarah Jepang. Standar durasi jabatan yang rendah ini menggambarkan betapa cepatnya pergantian kepemimpinan di negara tersebut. Pendahulu Kishida, Yoshihide Suga, hanya menjabat selama satu tahun, sebuah fakta yang mencerminkan ketidakstabilan politik yang melanda Jepang.

Meskipun LDP telah menikmati kekuasaan yang panjang, tanda-tanda ketidakpuasan rakyat mulai tampak jelas. Kepercayaan terhadap partai ini mulai terkikis, seiring dengan terungkapnya berbagai skandal, termasuk penggelapan dana kampanye, tuduhan korupsi, dan hubungan partai dengan kelompok-kelompok pinggiran yang kontroversial. Di samping itu, ada juga kekhawatiran yang meningkat tentang menurunnya populasi Jepang, serta kondisi ekonomi yang semakin terpuruk dengan utang yang terus bertambah.

Namun, ironisnya, semua masalah ini sering kali tidak tercermin dalam hasil pemilu. Jepang terkenal dengan tingkat partisipasi pemilih yang rendah, dan oposisi yang lemah membuat LDP tetap berada di puncak kekuasaan, terlepas dari berbagai skandal dan masalah yang mereka hadapi. Tapi kali ini, keadaan mungkin akan berbeda. Jepang kini berada di ambang krisis politik yang serius.

Pada bulan April, LDP mengalami kekalahan dalam tiga pemilihan sela, sebuah sinyal bahwa dominasi mereka mungkin akan segera berakhir. Dengan pemilihan umum yang dijadwalkan pada tahun 2025, partai yang berkuasa ini menghadapi momen penentuan. Jika LDP tidak segera berbenah, mereka berisiko kehilangan kendali atas negara yang telah mereka pimpin selama tujuh puluh tahun.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.