Selasa, Oktober 15, 2024

Antara Perubahan dan Kemajuan: Membedah Diksi Capres

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Sudah menjadi keniscayaan, dalam pesta demokrasi lima tahunan, pemilu presiden (pilpres), setiap calon membawa misi tertentu. Tak terkecuali pada palagan Pilpres 2024 mendatang. Yang paling mencolok, misi itu lantas diterjemahkan ke dalam diksi yang khas.

Anies Baswedan yang telah menahbiskan diri paling dini sebagai calon presiden, termasuk juga paling awal mendeklarasikan pasangannya, Muhaimin Iskandar, mengusung diksi ”perubahan”. Diksi itu kemudian dijadikan sebagai nama koalisi: Koalisi Perubahan.

Pada pilpres kali ini, Anies dilabeli sebagai pihak oposisi karena diusung mayoritas partai di luar pemerintahan, sebelum kemudian Partai Demokrat keluar dan bergabung ke kubu seberang. Kini partai oposisi di kubu Anies tersisa PKS. Adapun Partai Nasdem dan PKB sebelumnya merupakan bagian dari pemerintahan.

Calon lawannya, Prabowo Subianto, membawa narasi kemajuan yang kemudian dituangkan ke dalam Koalisi Indonesia Maju. Nama yang sama dengan kabinet era pemerintahan Joko Widodo di periode kedua. Sebelum bernama Koalisi Indonesia Maju, Prabowo menamai gerbongnya Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.

Di sisi lain, Ganjar Pranowo sampai sejauh ini belum memberi nama koalisinya. Ia bersama partai koalisi yang dipimpin PDIP baru memberi nama pada tim suksesnya, yaitu Tim Pemenangan Nasional.

Diksi Tokoh

Untuk menyampaikan sebuah pikiran agar diterima dengan baik oleh masyarakat, seorang tokoh memerlukan pilihan kata atau diksi yang tepat. Tidak hanya tepat, diksi itu dipilih juga agar masyarakat gampang mengingat-ingat apa yang disampaikan oleh tokoh tersebut.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Fachruddin Ambo Enre (1988), diksi adalah penggunaan kata-kata secara tepat guna mewakili pikiran dan perasaan yang ingin disampaikan seseorang.

Gorys Keraf (1996), seorang pakar bahasa, mempertegas bahwa diksi merupakan kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan menemukan bentuk yang sesuai atau cocok dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat.

Soekarno, misalnya, kerap membawakan diksi ”revolusi” di setiap pidatonya untuk membakar semangat rakyat Indonesia yang urung merdeka. Revolusi dimaknai sebagai perubahan yang sangat mendasar. Kemudian, Soeharto menawarkan hal lain untuk menegaskan bahwa dirinya berbeda dengan pendahulunya. Ia pun lekat dengan diksi ”pembangunan”. Maka, tak heran kalau kemudian Soeharto memiliki slogan ”ekonomi dan pembangunan adalah panglima”.

Di tahun 1998, saat gerakan demonstrasi mahasiswa besar-besaran, Amien Rais ke mana-mana membawa diksi ”reformasi”. Mirip dengan revolusi, reformasi merupakan gerakan perubahan secara drastis. Reformasi membawa setidaknya enam misi, di antaranya adalah menghapus dwifungsi ABRI (kini TNI) dan menghilangkan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Berkat itulah Amien Rais ditabalkan sebagai tokoh reformasi.

Kemajuan, Perubahan, Percepatan

Nah, agenda pesta demokrasi 2024 sekarang juga tak lepas dari diksi-diksi yang diusung oleh setiap kontestan. Yang telah disebut di atas adalah ”kemajuan” dan ”perubahan”.

Memang, istilah-istilah yang muncul sekarang tidak ”seheroik” masa lalu. Diksi ”perubahan” dan ”kemajuan” rasanya tidak seagresif ”revolusi”, ”reformasi”, atau bahkan ”pembangunan”. Kendati demikian, kedua diksi itu, ”perubahan” dan ”kemajuan”, tentu saja memiliki nuansa makna yang bertolak belakang.

Diksi ”perubahan” dilahirkan karena calon ini menyerap aspirasi sekelompok masyarakat yang menginginkan adanya perubahan dalam mengelola bangsa dan Negara Indonesia. Artinya, calon ini ingin mewakili perasaan orang-orang yang tidak pro pada pemerintah. Karena itu, arah diksi ini jelas, menyasar orang-orang yang tidak puas dengan kinerja pemerintah saat ini.

Dalam narasi yang diusung Koalisi Perubahan, pasangan Anies-Muhaimin menawarkan misi ”8 Jalan Perubahan”. Salah satu poinnya adalah memastikan ketersediaan kebutuhan pokok dan biaya hidup murah melalui kemandirian pangan, ketahanan energi, dan kedaulatan air.

Secara tidak langsung, pasangan ini menilai bahwa di era pemerintah sekarang harga bahan pokok serbamahal. Karena itu, mereka ingin mandiri secara pangan, energi, dan air –tiga entitas yang menjadi kebutuhan dasar manusia.

Yang juga akan dipulihkan oleh pasangan ini adalah berkaitan dengan demokrasi, hukum, dan HAM, yang dinilai kurang di masa pemerintahan sekarang. Begitu pula pemberantasan korupsi yang menjadi agenda utama dalam misi ini.

Dari delapan misi itu, pasangan ini menggunakan kata kerja yang lebih aktif. Antara lain ”memastikan”, ”mengentaskan”, ”mewujudkan”, dan yang paling mencolok adalah ”memulihkan”.

Di sisi lain, Koalisi Indonesia Maju, yang mayoritas berisi partai koalisi pemerintah, secara gamblang berupaya meneruskan kinerja Presiden Jokowi yang dinilai memuaskan. Pemilihan istilah yang sama dengan nama kabinet menjadi indikator yang tidak dapat dimungkiri.

Hal itu dipertegas dengan masuknya dua sulung dan bungsu presiden dalam koalisi ini. Bahkan, Gibran Rakabumung Raka akhirnya terpilih menjadi pendamping capres Prabowo Subianto.

Diksi ”maju/kemajuan”, saya pikir, merepresentasikan bahwa pemerintah kiwari sudah mengalami banyak kemajuan. Persis dengan Koalisi Perubahan, Koalisi Indonesia Maju juga menerjemahkan visi menjadi delapan misi yang dinamai: Asta Cita.

Dari delapan misi tersebut, rasanya tidak ada yang mengarah ke perubahan secara drastis. Ini cukup berbeda dengan kata kerja pilihan Koalisi Perubahan. Koalisi Indonesia Maju ”hanya” memakai kata kerja ”memperkokoh” (dari yang sudah kokoh), ”memantapkan” (dari yang sudah mantap), ”meningkatkan” (dari yang sudah ada), dan ”memperkuat” (dari yang sudah kuat). Yang paling kentara adalah diksi ”melanjutkan” dalam misi ”melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri”.

Dalam sebuah kesempatan dialog terbuka yang digelar Muhammadiyah beberapa waktu lalu, Prabowo Subianto beberapa kali juga sempat menyebut akan melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Presiden Jokowi –yang sebetulnya adalah lawan politiknya dalam dua kali pilpres.

Lantas, bagaimana dengan misi Ganjar Pranowo, capres lainnya yang urung memberi nama koalisinya, kecuali tim kampanye yang disebut Tim Pemenangan Nasional? Uniknya, pasangan ini juga memiliki delapan misi yang diterjemahkan ke dalam ”8 Gerak Cepat Ganjar-Mahfud”.

Menariknya, hanya ada satu kata kerja yang dipilih pasangan ini: ”mempercepat”. Mempercepat memiliki makna menjalankan lebih cepat dari kecepatan semua. Jika ditafsirkan, pasangan ini ingin melaksanakan program-program yang sebelumnya sudah ada, tapi dinilai kurang banter. Karena itu, mereka ingin program yang tengah berjalan atau problem yang dihadapi harus dituntaskan sesegera mungkin.

Sekarang nurani rakyat tinggal cenderung ke mana: ”perubahan”, ”kemajuan”, atau ”percepatan”?

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.