“Pendidikan bukan sekadar urusan ruang kelas atau tumpukan kurikulum. Pendidikan adalah soal menjaga masa depan.” Kalimat itu sering terdengar dalam berbagai forum pendidikan, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa maknanya belum sepenuhnya dipahami. Di tengah berbagai program peningkatan mutu pendidikan, masih ada satu persoalan mendasar yang terus diabaikan: rokok di lingkungan sekolah. Ia tidak datang dalam bentuk ancaman besar yang langsung terlihat, tetapi menyusup perlahan melalui kebiasaan kecil yang dibiarkan. Ketika asap rokok mulai menjadi bagian dari keseharian siswa dan guru, sesungguhnya ada yang lebih berbahaya daripada asap itu sendiri, yaitu hilangnya kesadaran moral dalam pendidikan. Sebatang rokok yang menyala di area sekolah bukan hanya pelanggaran aturan, tetapi simbol dari pembiaran yang mengikis masa depan generasi muda secara perlahan.
Sekolah yang Diam dalam Asap
Tidak sulit menemukan jejak asap rokok di lingkungan sekolah. Di sejumlah sekolah menengah, area yang seharusnya steril dari perilaku menyimpang justru menjadi tempat persembunyian kebiasaan buruk ini: sudut belakang gedung, toilet yang jarang diawasi, hingga pos satpam. Di beberapa kasus yang sempat menjadi perhatian publik, asap rokok bahkan tidak hanya berasal dari siswa, tetapi juga dari orang-orang yang seharusnya menjadi panutan: guru dan pegawai sekolah. Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah rokok di sekolah sesungguhnya bukan sekadar pelanggaran tata tertib, tetapi cerminan tergesernya wibawa pendidikan dan menurunnya fungsi sekolah sebagai ruang pembentukan karakter.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul: bagaimana rokok bisa begitu mudah hidup berdampingan dengan papan tulis dan buku pelajaran? Jawabannya bukan karena aturan tidak ada, tetapi karena pelanggaran dibiarkan berulang tanpa komitmen penyelesaian. Budaya diam tumbuh ketika sebuah kesalahan tidak lagi dilihat sebagai masalah serius. Ketika pelanggaran tidak ditindak, ia akan menjadi kebiasaan. Ketika kebiasaan dibiarkan, ia akan berubah menjadi budaya. Dan ketika budaya salah sudah terlanjur diterima, maka kepekaan moral mulai memudar.
Padahal, perangkat hukum yang mengatur larangan merokok di sekolah sangat jelas. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2015 menetapkan sekolah sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Aturan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang melarang penjualan rokok batangan, menekan iklan rokok, dan menaikkan usia minimum pembeli rokok menjadi 21 tahun. Secara regulasi, negara telah hadir. Namun kehadiran regulasi tidak otomatis melahirkan perubahan jika hanya berhenti dalam bentuk spanduk imbauan, teks pidato upacara, atau dokumen resmi tanpa pengawalan.
Kesalahan lain yang sering terjadi adalah pendekatan penyelesaian masalah yang terlalu sederhana. Banyak sekolah menganggap razia dan penyitaan rokok sebagai bentuk penyelesaian. Hukuman fisik seperti push-up, sit-up, atau skorsing singkat masih digunakan sebagai reaksi spontan. Namun pendekatan semacam itu tidak pernah menyentuh akar persoalan. Alih-alih berhenti merokok, para siswa hanya memindahkan lokasi sembunyi mereka. Hari ini di toilet belakang, besok di warung dekat sekolah, lusa di lahan kosong tak terpantau. Permasalahan tidak selesai karena yang ditekan hanyalah gejala, sementara penyebabnya diabaikan.
Masalah rokok di sekolah bukan semata-mata masalah disiplin individu, tetapi persoalan sistem pendidikan yang belum serius menciptakan lingkungan sehat dan beradab. Selama penyelesaian hanya bersifat seremonial dan administratif, rokok akan tetap ada di sekolah—tidak lagi tampak sebagai pelanggaran, melainkan sebagai kebiasaan yang dibiarkan.
Generasi Muda dalam Bahaya Nikotin
Selama ini merokok kerap dianggap sebagai bagian dari “kenakalan remaja” yang wajar dan tidak perlu dipersoalkan secara serius. Cara pandang seperti ini membuat banyak orang menyepelekan dampak rokok terhadap tumbuh kembang anak. Padahal, merokok di usia muda bukan sekadar kebiasaan iseng, tetapi persoalan serius yang mengancam masa depan generasi Indonesia.
Data terbaru memperkuat kekhawatiran tersebut. Pada 2024, hampir 29 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas tercatat merokok dalam sebulan terakhir, menunjukkan bahwa konsumsi rokok telah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, 23,08 persen pemuda berusia 16–30 tahun tercatat sebagai perokok aktif dengan konsumsi rata-rata 12 batang per hari. Fakta ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok bukan hanya dimulai sejak usia muda, tetapi juga menguat pada kelompok usia produktif. Sementara itu, data terbaru juga merekam peningkatan prevalensi perokok muda berusia 10–18 tahun menjadi 3,68 persen pada 2024, menandakan bahwa rokok tetap merintis masuk ke lingkungan pendidikan dan usia sekolah.
Kebiasaan merokok di usia muda umumnya tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak anak mulai mengenal rokok sejak sekolah dasar melalui pengaruh lingkungan sebaya, paparan rokok di keluarga, rasa ingin tahu, atau minimnya pengawasan orang dewasa. Ketika merokok dipandang sebagai hal yang “normal”, risiko adiksi nikotin pada usia dini semakin besar. Hal ini berbahaya karena nikotin bersifat adiktif kuat dan terbukti memengaruhi perkembangan otak remaja. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga pada fungsi kognitif, termasuk kemampuan konsentrasi, pengendalian diri, dan pengambilan keputusan. Tidak heran, penelitian menunjukkan bahwa merokok sering menjadi pintu masuk menuju perilaku berisiko lainnya seperti konsumsi alkohol, perjudian, hingga penyalahgunaan zat adiktif.
Masalah rokok juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi ekonomi. Sejumlah penelitian menemukan bahwa tingkat konsumsi rokok cenderung lebih tinggi pada keluarga berpenghasilan rendah. Dalam banyak kasus, pengeluaran rumah tangga miskin untuk rokok bahkan lebih besar dibanding kebutuhan gizi atau pendidikan anak. Situasi ini menunjukkan bahwa rokok bukan hanya merusak kesehatan, tetapi juga memperlebar jurang kemiskinan karena menggerus anggaran keluarga yang semestinya digunakan untuk kebutuhan mendasar.
Ancaman rokok terhadap generasi muda semakin diperparah oleh lingkungan sosial yang permisif dan strategi pemasaran industri rokok yang terus menyasar anak muda. Iklan rokok kini tidak selalu hadir secara langsung, tetapi dikemas melalui promosi gaya hidup, konser musik, sponsor acara komunitas, hingga konten media digital yang dekat dengan dunia remaja. Rokok dipoles sebagai simbol pergaulan, keberanian, dan kebebasan, bukan sebagai zat adiktif yang mematikan. Lebih buruk lagi, ketika di rumah anak melihat orang dewasa merokok dan di sekolah mendapati guru melakukan hal yang sama, pesan yang mereka terima sederhana: merokok itu wajar. Pada titik inilah rokok bukan lagi sekadar benda yang dibakar, tetapi telah berubah menjadi persoalan budaya yang merasuki ruang pendidikan dan kehidupan sosial generasi muda.
Mengapa Sekolah Gagal Melawan Rokok?
Mengapa sekolah masih gagal menjadi ruang yang benar-benar bebas rokok meskipun aturan pelarangannya sudah jelas? Pertanyaan ini penting diajukan karena realitas di lapangan menunjukkan bahwa rokok tetap hadir di lingkungan pendidikan tanpa perlawanan yang sungguh-sungguh. Masalah ini tidak cukup dipahami sebagai pelanggaran tata tertib semata, tetapi mencerminkan lemahnya komitmen moral lembaga pendidikan. Regulasi sudah tersedia, tetapi keberanian untuk menegakkannya belum sungguh-sungguh diwujudkan. Akibatnya, sekolah yang idealnya menjadi tempat pembentukan karakter justru memberi ruang bagi perilaku yang merusak masa depan peserta didik.
Salah satu akar persoalan terletak pada hilangnya keteladanan. Tidak sedikit guru atau tenaga pendidik yang melarang siswa merokok, tetapi pada saat yang sama masih merokok di lingkungan sekolah. Situasi seperti ini meruntuhkan wibawa pendidikan itu sendiri, sebab nilai tidak mungkin ditanamkan hanya melalui kata-kata jika tindakan justru menyampaikan pesan sebaliknya. Pendidikan karakter hanya dapat hidup melalui contoh nyata. Ketika teladan melemah, disiplin berubah menjadi formalitas, dan aturan kehilangan makna di mata siswa.
Pendekatan sekolah terhadap persoalan rokok pun sering bersifat reaktif dan dangkal. Razia mendadak, penyitaan rokok, dan catatan pelanggaran di buku tata tertib kerap dijadikan solusi sesaat. Namun tindakan seperti ini tidak menyentuh akar masalah. Siswa bukan berhenti merokok karena sadar akan dampaknya, tetapi hanya menunggu waktu ketika pengawasan melemah. Pendidikan tidak dapat berhasil jika hanya bertumpu pada ancaman hukuman. Rokok tidak dapat dilawan dengan ketakutan, tetapi dengan penanaman kesadaran dan pembentukan kebiasaan baik.
Minimnya kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan lingkungan turut memperparah keadaan. Banyak orang tua masih memandang rokok sebagai masalah kecil, sehingga tidak terlibat aktif dalam pencegahannya. Di sekitar sekolah, kios penjual rokok masih beroperasi bebas, bahkan kerap menjual rokok batangan kepada pelajar. Penegakan kawasan tanpa rokok sering berhenti pada spanduk imbauan, tanpa pengawasan yang nyata. Celah ini semakin melebar karena sebagian sekolah bahkan terlibat dalam kerja sama tidak sehat dengan perusahaan rokok, entah melalui sponsorship kegiatan maupun bantuan fasilitas. Kondisi tersebut menimbulkan dilema moral serius dalam dunia pendidikan.
Meski demikian, jalan keluar tetap ada. Sekolah harus berani memulihkan kembali fungsinya sebagai pelindung perkembangan anak. Penegakan aturan harus disertai pembinaan yang berkesinambungan, bukan semata-mata hukuman. Gerakan sekolah bebas rokok harus melibatkan orang tua dan masyarakat, karena pola perilaku siswa tidak dibentuk di sekolah saja. Pemerintah daerah juga harus memastikan adanya penertiban toko yang menjual rokok di sekitar sekolah serta memastikan implementasi kawasan tanpa rokok berjalan nyata. Perubahan memang tidak tercipta seketika, tetapi selalu dimulai dari keberanian mengambil langkah pertama. Jika pendidikan benar-benar diyakini sebagai investasi peradaban, maka sekolah harus berdiri tegas membela kehidupan. Tidak boleh ada situasi sebatang rokok lebih berpengaruh daripada suara pendidikan yang membangun masa depan.